Naftali Felle, Penjaga Tradisi Gerabah Kampung Abar di Papua yang Bertahan 17 Tahun
JAYAPURA, KOMPAS.com- Naftali Felle (62) dengan senyum ramahnya menyambut kedatangan Kompas.com di Rumah Gerabah, Kampung Abar, Kabupaten Jayapura, Papua, Sabtu (6/2/2025).
Dengan mengunyah pinang, lelaki tua yang akrab disapa Naftali ini bersalaman, sambil memeluk.
“Apa kabar? Sudah lama tidak ke Abar?” tanya Naftali sambil tersenyum.
Setelah berbincang sejenak, Naftali kembali masuk ke dalam Rumah Gerabah, sambil melihat-lihat peserta yang sedang melatih membuat gerabah.
Baca juga: Cerita Rudi Selamatkan Diri dari Kebakaran Ruko Cengkareng, Sempat Terpisah dari Istri-Anak
Pria berusia 62 tahun itu, terlihat dengan sabar bersama beberapa anggota kelompoknya mengajari beberapa orang untuk membuat gerabah.
Tak terasa, sudah 17 tahun Naftali menjaga tradisi gerabah, peninggalan leluhurnya di Kampung Abar.
Ia mendirikan sebuah kelompok yang diberi nama Pengrajin Gerabah Tradisional Titian Hidup sejak 2008, hingga eksis sampai saat ini.
“Kita di 139 kampung dan 5 kelurahan yang ada di Kabupaten Jayapura, hanya kampung Abar yang punya bahan baku untuk membuat gerabah,” ungkapnya kepada Kompas.com.
Punya Nilai Budaya
Gerabah memiliki nilai budaya tersendiri bagi warga masyarakat yang mendiami pesisir Danau Sentani.
Ada 23 kampung yang mendiami wilayah Danau Sentani, sehingga tak asing dengan fungsi dan kegunaan gerabah.
Pria kelahiran 5 Mei 1963 ini menyebut bahwa ada empat peralatan dapur yang dimiliki oleh masyarakat yang mendiami Danau Sentani.
Empat peralatan dapur itu adalah sempe, belangga masak ikan, tempayan penyimpanan sagu, dan cetak bakar sagu.
“Empat peralatan dapur ini dibuat menggunakan tanah liat yang ada di Kampung Abar,” ucap Naftali.
Suami Petronela Wally ini melihat, saat ini empat peralatan dapur yang dibuat menggunakan tanah liat, sudah tidak ada di kampung-kampung yang berada di Danau Sentani.
Terutama sempe sebagai alat tradisional yang digunakan sebagai tempat pembuatan papeda (kuliner khas Papua). Justru kebanyakan masyarakat membuat papeda dengan bokor yang terbuat dari aluminium dan plastik.
“Kami bentuk kelompok ini, agar empat peralatan dapur yang terbuat dari tanah liat bisa dikembali dipertahankan, sebab memiliki nilai budaya yang ada di wilayah Danau Sentani,” ungkap Naftali.
Sebagai salah satu kepala suku di Kampung Abar, Naftali menginginkan agar masyarakat tidak menghilangkan empat peralatan tradisional yang secara turun-temurun ada di 23 kampung yang mendiami Danau Sentani.
“Lewat kelompok ini, kami sebar benda-benda gerabah yang memiliki nilai tinggi ini ke masing-masing kampung yang ada di Danau Sentani,” ujarnya.
Baca juga: Tangis Perajin Gerabah Tertipu Rp 900 Juta demi Anak Masuk Polisi
Mengikuti Berbagai Pelatihan
Sejak 2008 membentuk kelompok Pengrajin Gerabah Tradisional Titian Hidup dengan 20 anggota yang terdiri dari ibu-ibu yang ada di Kampung Abar.
Pada tahun 2010 dilaksanakan Festival Danau Sentani (FDS), maka ada kunjungan ke kampung-kampung wisata, dimana Kampung Asei Pulau dengan ukiran kulit kayu dan Kampung Abar adalah penghasil gerabah tradisional.
Dalam FDS ini ada seorang pengusaha dari Manado bernama Melki Tumbelaka, saat itu mengunjungi Kampung Abar dan melihat adanya gerabah yang dihasilkan oleh kelompok yang dibentuk oleh Naftali.
“Bapak Melki Tumbelaka ini punya daerah di Manado juga penghasil gerabah, sehingga dilakukan kerjasama dengan Pemda Kabupaten Jayapura dan pada tahun 2011 mereka kirim 10 ibu-ibu dari Kampung Abar belajar di Pulutar Tondano,” jelasnya.
Usai mengikuti pelatihan, para 10 ibu-ibu ini membawa hasil kerajinannya dari Tondano ke Jayapura menggunakan kapal laut. Sampai di Sentani, Jayapura, dilakukan pameran untuk memamerkan hasil karya gerabah yang dihasilkan oleh para ibu-ibu usai mengikuti pelatihan di Tondano.
Naftali mengatakan, saat itu Bupati Jayapura adalah Habel Melkias Suwae, sehingga ia memerintahkan seluruh pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD) untuk membeli gerabah, hasil kerajinan ibu-ibu dari Kampung Abar.
Baca juga: Momen Imlek, Warisan Budaya di Kampung Pecinan Kapasan Dalam
Tak hanya itu, Habel Melkias Suwae juga memerintahkan OPD teknis seperti Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindakop) dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak untuk memberikan perhatian terhadap Kelompok Gerabah Tradisional yang dibentuk oleh Naftali dan anggotanya di Kampung Abar.
“Pada tahun 2014, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak mengirim 7 ibu-ibu ke Bantul, Yogjakarta untuk belajar khusus pembuatan sovenir-sovenir. Pada tahun 2015, Dinas Perindakop kirim lagi 4 ibu-ibu ke Bantul belajar lagi,” ungkapnya.
Terakhir, ayah dua anak ini pada tahun 2023, Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial membuat pelatihan tentang pembuatan keramik, sehingga dari kampung Abar ada 11 anggota kelompok yang mengikuti pelatihan tersebut.
Tak hanya mengikuti pelatihan, namun Kementerian Sosial melalui Balai Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial juga memberikan bantuan berupa mesin pembuatan gerabah dan oven pakai gas yang digunakan untuk pembakaran gerabah yang sudah dibuat tersebut.
“Kalau dulu masyarakat secara manual mencetak gerabah, kini sudah ada mesin dan oven, sehingga proses pembakarannya bisa dilakukan dengan mudah,” kata Naftali.
Ide Membuat Festival
Meskipun usianya tak mudah lagi, namun semangatnya masih terus terasa hingga saat ini. Naftali lewat idenya, ia mampu membuat Festival Heley Mbay Hote Mbay yang dilamngsungkan pada tanggal 28-30 September setiap tahun.
Saat ini, pelaksanaan festival ini sudah berlangsung selama lima tahun berturut-turut. Sempat terhenti setahun, lantaran wabah Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia.
Kehadiran Festival yang digagas oleh Naftali bersama anggota kelompoknya sangat memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat yang mendiami Kampung Abar.
Sebab, hasil kerajinan tangan seperti gerabah dan sovenir lainnya bisa dibeli oleh setiap pengunjung dan wisatawan yang datang menikmati festival yang diselenggarakan tersebut.
“Arti Helay Mbay Hote Mbay adalah makan papeda dalam gerabah,” kata Natfli.
Pelaksanaan festival ini telah berlangsung sejak tahun 2017, sehingga kedepan akan dilaksanakan.
Baca juga: Ronde Titoni, Warisan Rasa yang Terjaga sejak 1948
“Sejak 2019 telah dicanangkan sebagai salah satu festival tahunan di Kabupaten Jayapura,” ujarnya.
Uniknya festival ini menurut Naftali, setiap pengunjung dan wisatawan yang datang akan disunguhkan dengan papeda dan ikan dalam sempe, sehingga bisa menikmatinya.
“Kalau sudah makan selesai, bisa bawa pulang sempe dan garpu sebagai kenang-kenangan,” ungkapnya.
Dia berharap, gerabah sebagai salah satu benda budaya yang ada di Kampung Abar dan Danau Sentani bisa terus dipertahankan, sehingga menjadi salah satu tradisi yang terus dilestarikan dari tahun ke tahun.
“Saya berharap, tradisi gerabah ini terus dipertahankan, sehingga menjadi salah satu benda budaya yang terus dijaga dan dilestarikan kedepannya,” harapnya.