Cara Mengatur Keuangan Menuju Hidup Sederhana yang Diajarkan Orangtua
Begitu membaca topik pilihan admin Kompasiana bertajuk Hidup Sederhana Terencana, membuat saya tersenyum-senyum. Pasalnya tema tersebut mengingatkan sebuah perjalanan hidup yang saya alami beberapa dekade lalu.
Kisah tersebut merupakan pengalaman hidup yang sangat berharga, sehingga mampu mengantarkan penulis menjadi sosok bersahaja, serta mampu mengelola keuangan dengan baik.
Seperti yang saya tulis sebelumnya, penulis pernah bekerja di sebuah perusahan tekstil ternama di Kabupaten Sukoharjo Makmur. Tepatnya di era 90-an.
Sebagai anak sulung dari keluarga yang tidak mampu, setelah lulus dari bangku Sekolah Dasar (SD) saya berkerja dengan tekad membantu perekonomian keluarga.
Berawal di Kota Semarang, hingga pada akhirnya saya terdampar di sebuah pabrik garment. Yah, itulah lika-liku kehiduan yang harus saya lalui di masa remaja.
Masa yang seharusnya dilalui di bangku sekolah, serta bermain dengan teman sebaya. Meski demikian saya tidak mengeluh, justeru hal tersebut menjadi guru kehidupan.
Singkat cerita, setelah sebulan bekerja tiba saatnya menerima gaji pertama. Tentu saja hati riang gembira. Pikiran pun melayang menyusun agenda perbelanjaan.
Sependek ingatan saya, ketika masih menjalani masa training gaji pertama cukup untuk biaya hidup sebulan serta bayar kos sebulan ke depan. Jika tersisa sedikit untuk orangtua.
Sebenarnya perusahaan menyediakan fasilitas (Mess karyawan) untuk pegawai luar kota. Tetapi saya dan kedua teman tidak menempati fasilitas yang disediakan.
Kami lebih memilih tempat yang memiliki fasilitas MCK layak, akses mobilitas mudah, serta tidak jauh dari pabrik. Dengan begitu, saat berangkat kerja di pagi hari bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Begitulah dari bulan ke bulan. Namun, pada akhirnya batin saya tergoda ingin memuaskan diri dengan cara membeli pakaian serta asesoris wanita (Tas).
Bapak (Almarhum) yang mengetahui saya kerap membeli baju, beliau melarang agar saya tidak menghamburkan uang sekadar menumpuk pakaian.
Beliau selalu bilang begini, nek ora kamohan, ora sah tuku klambi anyar. Kalimat di atas kurang lebihnya memiliki arti, jika baju tidak robek dan masih layak dipakai, sebaiknya tidak usah membeli yang baru.
Beliau juga menyarankan putri sulungnya untuk berhemat, serta mempertahankan gaya hidup sederhana. Dengan begitu bisa merencanakan masa depan yang lebih baik.
Keputusan beliau terkadang membuat saya tidak bisa menerimanya. Juga merasa iri dengan teman kos yang lainnya. Mereka bisa mengatur keuangan sesukanya. Meski demikian, pada akhirnya saya manut, nurut kehendak bapak.
Lantas, bagaimana saya mengatur keuangan menuju Hidup Sederhana dan Terencana? Artikel ini akan memaparkan kisahnya.
1. Menerapkan Hidup sederhana
Menerapkan hidup sederhana bukan berarti harus pelit atau makan seadanya. Namun lebih mengacu pada berperilaku yang tidak berlebihan.
Bekerja di pabrik garment yang sering melampaui batas jam kerja, (lembur) membuat saya harus menjaga kesehatan.
Dengan cara mengonsumsi makanan sederhana tetapi bernutrisi tinggi, sebagai contoh minuman susu, serta sumber pangan yang mengandung protein. Khususnya di pagi hari.
Mengapa hanya di pagi hari? Hal tersebut disebabkan santap siang hingga malam dijamin perusahaan.
2. Belajar hemat
Nasihat bapak selalu bergema di telinga, sekalipun saya memegang uang sendiri, saya bertekat untuk belajar hemat, serta pandai memilah-milah. Salah satu contoh, boleh membeli minuman atau susu untuk menjaga kesehatan.
Tetapi tidak diperbolehkan membeli minuman bersoda, terutama yang menjadi larangan agama.
Selain itu, saya dan kedua teman patungan untuk membeli bahan pangan, kemudian bahan dimasak ketimbang jajan. Cara ini bisa diterapkan untuk berhemat.
2. Memiliki impian
Jika seseorang bekerja tentunya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan harian saja. Tetapi ia pasti memiliki impian. Begitupun dengan saya. Impian saya bisa memiliki sepeda Federal.
Sehubungan keluarga kami tergolong tidak mampu, jangankan membeli barang lain, untuk kebutuhan sehari-hari masih jauh dari kata cukup.
Lantas saya menarjetkan untuk membeli sepeda Federal yang sempat mendunia di era 1980 an. Alhamdulillah, dalam hitungan bulan, sepeda Federal warna hijau muda dalam rengkuhan. Dan, beberapa bulan kemudian sepeda Jengki Phonix untuk orangtua pun terbeli.
2. Mengatur keuangan
Seperti yang saya tulis di atas, usai gajian, saya membaginya menjadi tiga bagian. Pertama-tama bakal digunakan untuk membayar kos serta biaya hidup selama satu bulan ke depan.
Sebagian buat orangtua, sisanya disisihkan untuk dana darurat. Dana darurat yang saya maksud, jika suatu ketika mendapat undangan pernikahan, serta bersosialisasi.
3. Membeli barang yang diperlukan
Seperti yang saya tulis di atas, sebagai anak sulung saya begitu “peduli” dengan keadaan rumah. Tempat tinggal kami berpagar dinding dari anyaman bambu. Orang Jawa menyebut dengan sebutan omah gedek.
Sedangkan dinding dalam rumah sebagian dari teriplek. Tiada hiasan yang menghiasi ruangan apalagi jam dinding yang menggantung di tembok.
Sependek ingatan, saya membeli barang yang diperlukan sebagai hiasan dinding berupa jam yang bisa dijadikan tolak ukur orang beraktivitas. Serta menunda membeli barang yang tidak begitu penting.
Apakah saya juga menabung?
Bagi orang yang bekerja cukup lama di pabrik, tentu ia mempunyai uang simpanan. Besarnya tabungan bisa disesuaikan dengan perolehan gaji setiap karyawan. Lantas apakah saya juga menabung? Ya. Saya bisa menyisihkan.
Bekerja di pabrik sama halnya mencurahkan waktu dan pikiran hanya hanya untuk perusahaan. Kerapnya bekerja melebihi batas waktu membuat kesehatan saya terganggu. Dan akhirnya, saya hanya bertahan satu tahun di perusahaan.
Sekalipun hanya bekerja dalam waktu singkat, saya bersyukur dapat membatu ekonomi orangtua. Bisa membeli sesuatu yang dibutuhkan keluarga itubseduatu banget.
Terpenting dengan bekerja sejatinya bisa melatih diri agar bisa hidup mandiri, berpegang teguh pada wejangannya, pula bisa menerapkan hidup sedeharna, serta bisa merencanakan masa depan yang lebih baik.
Dan, semua itu berjalan hingga saat ini. Penulis mampu mengangkat keluarga dari kubangan kemiskinan. Alhamdulillah, ucapan syukur senantiasa menghiasi bibir atas nikmat yang tercurah.
Kebutuhan hidup satu persatu terpenuhi. Kami juga tidak lupa untuk meningkatkan ibadah.
Nah, itulah sekelumit kisah nyata cara hidup sederhana terencana yang diajarkan orangtua kepada kaki anak-anaknya.
Semoga kisah ini bermanfaat bagi sesama. Terima kasih sudah singgah, salam sehat selalu.
#CaraHidupSederhana
#ArtikelYuliyanti
#Klaten, 08 Februari2024
#Tulisanke-544
#MenulisdiKompasiana