Mahfud Bongkar Keanehan Sikap Hakim Usai Vonis Harvey Moeis Selesai Dibacakan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Vonis 6,5 tahun penjara terhadap terdakwa terkait kasus korupsi PT Timah, Harvey Moeis menuai kontroversi lantaran dinilai ringan jika dibandingkan nilai kerugian negara yang mencapai ratusan triliun rupiah. Mantan Menko Polhukam Mahfud Md menjadi salah satu yang mengkritisi vonis itu termasuk sikap para hakim pengadil.
Lewat akun resmi X-nya, Kamis (2/1/2025), Mahfud mengunggah video momen seusai Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta membacakan vonis Harvey Moeis. Mahfud menilai ada keanehan dalam momen itu.
“Tatibnya, saat hakim masuk dan keluar ruang sidang pengunjung bersikap sempurna. Tapi sidang pengucapan vonis Harvey ini aneh. Setelah mengetukkan palu vonisnya hakim malah tetap duduk dan membiarkan Harvey bersukaria di depan majelis. Harusnya hakim keluar dulu, baru yang lain boleh berdiri,” ujar Mahfud.
Jika menilik kronologi dari potongan video yang diunggah Mahfud, memang terlihat ketidaklaziman sikap hakim dalam suatu sidang khususnya, sidang perkara korupsi. Alih-alih segera meninggalkan ruang sidang begitu palu diketuk hakim ketua, para majelis hakim tampak menyaksikan momen di mana Harvey dan istrinya, Sandra Dewi, berpelukan tak lama setelah vonis dibacakan.
Dalam video itu terlihat, semua hakim tampak tersenyum saat Harvey memeluk Sandra Dewi lalu mencium tangan istrinya itu. Majelis hakim juga masih duduk di bangkunya masing-masing saat satu per satu anggota keluarga atau kerabat mengucapkan selamat kepada Harvey.
“Hakimnya malah ikut cengar-cengir seperti ikut gembira dan ingin mengucapkan selamat kepada Harvey. Apa-apaan ini?,” kata Mahfud.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan pada Senin (23/1/2024), Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menilai tuntutan pidana penjara yang diajukan jaksa penuntut umum selama 12 tahun terhadap terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) terlalu berat. Hakim Ketua Pengadilan Tipikor Jakarta Eko Aryanto menyatakan Harvey tidak berperan besar dalam hubungan kerja sama peleburan timah antara PT Timah Tbk dan PT RBT maupun dengan para pengusaha smelter peleburan timah lainnya yang menjalin kerja sama dengan PT Timah.
“Jika dibandingkan dengan kesalahan terdakwa sebagaimana kronologis perkara maka majelis hakim berpendapat tuntutan pidana penjara yang diajukan penuntut umum terlalu tinggi dan harus dikurangi,” ujar Hakim Ketua dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.
Oleh karena itu, majelis hakim menjatuhkan hukuman 6 tahun dan 6 bulan penjara kepada Harvey, lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum. Sebagaimana kronologis perkara yang dipertimbangkan majelis hakim, Hakim Ketua menyampaikan pada mulanya Harvey terkait dalam bisnis timah berawal dari kondisi PT Timah Tbk yang sedang berusaha untuk meningkatkan produksi timah dan penjualan ekspor timah.
PT Timah merupakan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) penambangan timah di wilayah Bangka Belitung. Di sisi lain, Hakim Ketua mengungkapkan terdapat perusahaan smelter swasta di Bangka Belitung yang juga sedang berusaha meningkatkan produksinya, salah satu smelter swasta tersebut adalah PT RBT.
Apabila ada pertemuan dengan PT Timah, lanjut Hakim Ketua, Harvey tampil mewakili dan atas nama PT RBT, namun Harvey tidak termasuk dalam struktur pengurus PT RBT, baik komisaris, direksi, serta pemegang saham.
“Terdakwa beralasan hanya bermaksud membantu temannya, yaitu Direktur Utama PT RBT Suparta karena terdakwa memiliki pengalaman mengelola usaha tambang batu bara di Kalimantan,” ucap Hakim Ketua.
Lantaran Harvey bukan pengurus perseroan PT RBT, maka Hakim Ketua berpendapat Harvey bukan pembuat keputusan kerja sama peleburan timah antara PT Timah dan PT RBT. Harvey juga dinilai tidak mengetahui administrasi dan keuangan, baik pada PT RBT dan PT Timah.
Di sisi lain, majelis hakim mempertimbangkan bahwa PT Timah dan PT RBT bukan merupakan penambang ilegal karena memiliki IUP dan izin usaha jasa pertambangan (IUJP).
“Pihak yang melakukan penambangan ilegal adalah masyarakat yang jumlahnya ribuan orang,” kata Hakim Ketua menambahkan.
Komik Si Calus : Kerugian Lingkungan – (Republika/Daan Yahya)
Vonis 6,5 tahun penjara majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta untuk Harvey Moies di kasus korupsi timah memang menui protes luas, bahkan sampai disinggung Presiden Prabowo Subianto. Mahkamah Agung (MA) pun meminta semua pihak bersabar.
“Jadi, mohon bersabar karena perkara itu diajukan banding oleh jaksa sehingga kami tunggu karena dengan diajukan banding maka putusan pengadilan menjadi belum inkrah, belum berkekuatan hukum tetap,” kata Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Yanto di Gedung MA, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Yanto menjelaskan bahwa vonis untuk terdakwa kasus korupsi tidak mengenal hukuman pidana hingga 50 tahun penjara. “Kalau masalah hukuman yang 50 tahun, hukum positif kita kan mengenalnya minimal setahun, terus maksimalnya bisa penjara seumur hidup. Kemudian kalau Pasal 2 ayat (1) (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) kan empat tahun, bisa 20 tahun. Atau seumur hidup dan dalam keadaan tertentu kan bisa hukuman mati,” jelasnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu, seperti korupsi saat terjadi bencana alam, krisis moneter, maupun pada terjadinya perang.
“Jadi, kita tunggu saja putusan banding seperti apa,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional, di Jakarta, Senin (30/12/2024), mengkritik hakim-hakim yang menjatuhkan vonis ringan kepada koruptor. “Kalau sudah jelas-jelas melanggar, mengakibatkan kerugian triliunan, ya semua unsur, terutama hakim-hakim, vonisnya jangan ringanlah,” kata Presiden.
Presiden mengatakan bahwa rakyat mengerti kalau melakukan tindak pidana korupsi hingga ratusan triliun maka seharusnya vonisnya sekian tahun. “Vonisnya ya 50 tahun, begitu kira-kira,” ujar Presiden.