Ekonom Sebut Tarif PPh untuk UMKM Seharusnya Diturunkan
JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah diminta memperpanjang fasilitas tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5 persen bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Sebab, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018, kebijakan tarif pajak 0,5 persen untuk omzet di bawah Rp4,8 miliar berlaku hingga akhir 2024.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, insentif bagi UMKM ini mestinya diperpanjang.
Baca juga: Menenun Harapan UMKM Wanita NTT dengan Kredit Tanpa Bunga
Tidak hanya itu, Bhima mengusulkan agar pemerintah memberikan tarif yang lebih rendah sebagai stimulus kepada para pelaku UMKM agar usahanya tetap bisa berjalan.
“Jadi bukan hanya PPh 0,5 persen harus dicegah sehingga tidak naik tahun depan, tapi disarankan PPh UMKM itu diturunkan menjadi 0,1 sampai 0,2 persen dari omzet,” kata dia kepada media, Jumat (22/11/2024) pekan lalu.
Menurut Bhima, pertimbangan berikutnya adalah UMKM membutuhkan stimulus fiskal yang jauh lebih besar, karena UMKM akan terkena dampak secara langsung dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai tahun depan.
Selain itu, pertumbuhan kredit UMKM juga tengah melambat.
Baca juga: Lepas Ekspor Furnitur Senilai 70.000 Dollar AS, Mendag Budi: UMKM Harus Berani Inovasi dan Siap Adaptasi
“Jadi perlu dukungan stimulus perpajakannya berpihak kepada UMKM. Yang terpenting UMKM ini patuh dalam membayar pajak, jadi semakin rendah tarifnya dia semakin patuh membayar pajak. Kepatuhan dari sisi UMKM ini akan mendongkrak penerimaan pajak dibandingkan tarifnya dinaikkan,” ujarnya.
Sebagai motor penggerak perekonomian, Bhima menambahkan, UMKM harus benar-benar mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Apalagi dengan serapan 117 juta tenaga kerja atau 97 persen di sektor ini, ia berharap, insentif yang lebih rendah akan memberi kepastian bagi UMKM.
“Bukan hanya mencegah PPh UMKM dinaikan di 2025 tapi juga memastikan tarifnya lebih rendah lagi, sehingga serapan tenaga kerja di UMKM bisa meningkat untuk mengompensasi terjadinya PHK di sektor industri padat karya,” tutur Bhima.
Sementara itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto juga mengatakan, sebaiknya insentif PPh diperpanjang mengingat UMKM masih memerlukan dukungan fiskal, khususnya UMKM di sektor-sektor yang belum pulih dari pandemi.
Baca juga: Menakar Peran Securities Crowdfunding untuk Dukung Pembiayaan UMKM
Jika dicabut, maka beban UMKM akan bertambah dan semakin sulit bersaing dengan non UMKM.
“Insentif ini lebih ke UMKM, kalau ke pembeli/konsumennya ya sebaiknya PPN tidak perlu dinaikkan dulu, tunda sampai ekonomi membaik, tumbuh di sekitar enam persen” tambah Eko.
Sebelumnya, Kementerian UMKM berencana mengusulkan perpanjangan tarif pajak penghasilan (PPh) 0,5 persen untuk pelaku usaha mikro kecil dan menengah.
Kebijakan perpanjangan PPh 0,5 persen dianggap penting bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar supaya tetap mendapatkan insentif pajak yang meringankan beban usaha.
Baca juga: Bazar Pesona Indonesia Timur Digelar Libatkan 79 UMKM, Transaksi Sementara Capai Rp 112 Juta
Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyampaikan bahwa pihaknya sedang berdiskusi dengan Kementerian Keuangan yang dipimpin oleh Sri Mulyani untuk memperpanjang insentif pajak ini. Saat ini, aturan tersebut masih berlaku hingga akhir 2024 sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2018.
Adapun setelah masa tarif PPh Final berakhir, pelaku usaha dengan omzet hingga Rp4,8 miliar dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).
UMKM dengan omzet di atas Rp 4,8 miliar atau yang memilih tidak menggunakan NPPN akan dikenakan pajak berdasarkan tarif progresif dengan rincian sebagai berikut.
- 5 persen untuk penghasilan kena pajak hingga Rp 60 juta
- 15 persen untuk Rp 60 juta sampai Rp 250 juta
- 25 persen untuk Rp 250 juta sampai Rp 500 juta
- 30 persen untuk Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar
- 35 persen untuk lebih dari Rp 1 miliar