Peneliti Temukan Perbedaan Besar Cara Berpikir Manusia dan AI
KOMPAS.com – Meskipun kita tahu bahwa kecerdasan buatan (AI) tidak berpikir seperti manusia, sebuah penelitian terbaru mengungkapkan sejauh mana perbedaan itu dan bagaimana hal ini bisa berdampak nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian yang diterbitkan pada Februari 2025 di jurnal Transactions on Machine Learning Research ini menyoroti perbedaan mendasar antara cara manusia dan AI memproses informasi, terutama dalam kemampuan membuat analogi — yaitu membandingkan dua situasi atau pola yang berbeda tapi serupa secara logika.
Ketika Manusia Unggul dalam Membuat Analogi
Dalam penelitian ini, para ilmuwan menguji kemampuan manusia dan AI, khususnya model bahasa besar (Large Language Models/LLM), dalam menyelesaikan soal analogi sederhana dan masalah pola angka digital. Hasilnya cukup mencolok: manusia mampu menyelesaikan soal-soal tersebut dengan baik, sementara performa AI menurun tajam.
Contohnya terlihat dalam soal analogi huruf. Menurut Martha Lewis, asisten profesor AI neurosimbolik di Universitas Amsterdam sekaligus penulis studi tersebut, “Jika ‘abcd’ berubah menjadi ‘abce’, lalu ‘ijkl’ berubah menjadi apa? Sebagian besar manusia akan menjawab ‘ijkm’, dan AI biasanya menjawab hal yang sama.”
Namun, ketika soal dibuat sedikit lebih kompleks, AI mulai kesulitan. “Misalnya, ‘abbcd’ menjadi ‘abcd’, lalu ‘ijkkl’ harus menjadi apa? Manusia cenderung menjawab ‘ijkl’ karena melihat pola penghapusan elemen yang berulang. Tapi kecerdaan buatan GPT-4 seringkali gagal menjawab benar pada tipe soal seperti ini,” jelas Lewis.
Baca juga: China Ciptakan AI yang Mampu Mengambil Keputusan Sendiri
Kelemahan AI: Tidak Mampu Belajar Tanpa Contoh
Salah satu temuan kunci dari penelitian ini adalah bahwa model AI belum memiliki kemampuan “zero-shot learning”, yaitu kemampuan untuk mengenali dan memahami pola dari kelas data yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Ini adalah kemampuan alami manusia dalam menyusun logika dan membuat kesimpulan dari situasi baru tanpa harus melihat contoh yang serupa sebelumnya.
Lewis menekankan bahwa manusia bisa menggeneralisasi dari pola tertentu menjadi aturan yang lebih umum, sementara AI hanya mampu mencocokkan pola yang sudah dikenal. “AI bagus dalam mengenali dan mencocokkan pola, tapi buruk dalam membuat generalisasi dari pola tersebut,” ujarnya.
Baca juga: Penelitian: Jawaban AI Tidak Selalu Benar dan Netral
Mengapa Ini Penting?
Kelemahan ini bukan sekadar masalah teknis — implikasinya bisa sangat luas, terutama karena AI sudah mulai banyak digunakan di bidang-bidang penting seperti hukum. AI dipakai untuk membantu riset hukum, menganalisis yurisprudensi, bahkan memberikan rekomendasi hukuman. Namun, jika AI tidak mampu membuat analogi dengan baik, ada risiko besar bahwa ia gagal menerapkan preseden hukum pada kasus yang sedikit berbeda tapi relevan.
Studi ini memperingatkan bahwa kita perlu mengevaluasi AI bukan hanya berdasarkan akurasinya, tapi juga dari kemampuannya dalam berpikir dan menalar. Kemampuan berpikir analogis adalah bagian penting dari kecerdasan manusia yang belum bisa ditiru sepenuhnya oleh mesin.
Penelitian ini menjadi pengingat penting bahwa meskipun AI berkembang sangat pesat, masih ada jurang besar antara kecerdasan manusia dan mesin. “Ini bukan sekadar soal seberapa banyak data yang dimiliki, tapi bagaimana data itu dipahami dan digunakan,” kata Lewis.
Dengan kata lain, kita perlu berhati-hati saat mengandalkan AI dalam pengambilan keputusan penting. Sebab, seperti yang ditunjukkan oleh studi ini, AI belum bisa “berpikir” seperti kita — dan mungkin tidak akan bisa dalam waktu dekat.
Baca juga: Studi Ungkap AI Bisa Timbulkan Miskonsepsi yang Berbahaya