Informasi Terpercaya Masa Kini

Pak Presiden, Pemberontakan Sudah Mulai di Solo Raya

0 23

Oleh: Andi Dewanto, Jurnalis Kompas TV

Ratusan pria tua dan muda itu mengenakan busana tahun 70 an. Celana cutbray, baju dada terbuka, lengan dilinting, kaca mata hitam cenderung bulat melebar, rambut gondrong atau bertopi flat cap, koboi dan sejenisnya. 

Mereka berduyun-duyun, bergerombol membawa berbagai properti-properti jadul yang mengundang senyum.

Baca Juga: Inul Ungkap Alasannya Mau Pensiun dari Dunia Dangdut

Satu komando, satu suara, bersatu tak terkalahkan, mereka bergerak merangsek ke satu titik. 

Serempak tubuh mereka bergerak joged dangdut 80 an, ketika terdengar suara kendang, seruling, gitar, bas, organ, dan tentu saja finger print dangdut 80 an, yaitu mandolin dipetik. 

Gerombolan berkostum jadul itu goyang sambil mengangkat ban bekas, tape recorder lawas, bahkan ada kompresor angin mereka angkat-angkat. 

Mereka goyang syahdu menikmati Orkes Melayu Lorenza (OM Lorenza), sekelompok musisi dangdut asal Sukoharjo, yang belakangan viral di medsos. 

Lagu berjudul Tambal Ban, sebagai ekspresi realitas sosial kehidupan masyarakat kelas bawah membuat masa berjoged semua. 

“Aku iki tukang tambal ban

Uripe Sak ndalan-ndalan

Golek Duit, duit sing halal

Penting cukup kanggo sandang lan pangan”

Itu sepenggal lagu tambal ban, yang menggerakkan massa berpakaian retro tersebut. 

Tua muda, pria wanita bergoyang jadul, asik dengan diri sendiri. Tak ada senggolan, tak ada perkelahian. Seperti terlempar ke masa lalu yang penuh damai, asik, dan khusuk berdendang.

Musik ini sudah tidak asing lagi bagi rakyat Indonesia. Musisinya terus berinvoasi, berkreasi, sehingga landscape musik ini bisa berubah mengikuti jaman. 

Baik dari sisi teknologi alat musik, kreatifitas joged, hingga tema lirik lagu. 

Dulu dikenal sebagai musik kelas bawah, kini dangdut melebarkan sayap dinikmati siapa saja.

Tidak hanya di dalam negeri, bahkan bule-bule di mancanegara pun bergoyang. 

Tengok saja di Youtube, bagaimana mereka terkesima, tersenyum, sampai tak sadar kepala bergoyang menikmati dangdut.

Baca Juga: Alan Walker Main Musik Koplo, Remix “Who I Am” dengan Sentuhan Dangdut

Salah satu contohnya bisa cek di akun Youtube Koplo Time. Tak hanya lagu berlirik Indonesia yang di buat dangdut koplo. 

Deretan lagu hits mancanegara pun di aransemen secara dangdut koplo. Sebut saja lagu Lily (Alan Walker), Canon Rock, Zombie (Cranberries), dan masih banyak lagi.

Bagi para bule ini, apa yang mereka dengar seperti musik dari planet lain, ada pemberontakan kultur di situ. 

Ya… di situ ada pemberontakan terhadap kultur musik yang jamak. Lho…. kok disebut ada pemberontakan? Iya betul ada pemberontakan di sana.

Tidak hanya musik rock dan metal yang disebut musik pemberontakan. 

Presiden Indonesia ke-4, Abdurrahman Wahid atau akrab disebut Gusdur menyebut ini musik pemberontakan.

Ia melihat hal ini bentuk ekspresi perlawanan masyarakat kelas bawah terhadap kondisi sosial dan ekonomi yang mereka hadapi.

Terlebih lirik lagu dangdut jamak akan gambaran kehidupan yang keras, kemiskinan, ketidakadilan, dan masalah sosial lainnya. 

Lagu bertema minuman keras, narapidana, penjara, orang tak punya, perjudian, tak lupa nasehat agama acap kali menjadi lirik lagu dangdut.

Sudah barang tentu dalam perjalanan evolusi musik ini ada juga yang menyerempet masalah percintaan. 

Uniknya, semua tema itu bisa dinikmati sambil berjoged. Intinya, perihal ini suara masyarakat kelas bawah menyuarakan keluhan, aspirasi dan masalah sosial. 

Nah… itu pendapat Presiden ke 4, Gus Dur lho. Klop dengan lagu-lagu OM Lorenza yang mengaransemen lagu Tambal Ban. 

Lagu Tambal Ban merupakan realitas sosial masyarakat yang acapkali dijumpai di pinggir jalan. 

Para tukang tambal ban menawarkan jasa menambal ban sepeda motor yang bocor. 

Keberadaan tukang tambal ban dibutuhkan para pengguna jalan yang ban motornya bocor dan harus ditambal agar bisa melanjutkan perjalanan.

Dalam genre musik, hal itu sudah menjadi subkultur sendiri. Subkultur genre musik yang menunjuk kelompok orang yang memiliki minat dan ketertarikan yang sama terhadap genre musik tertentu. 

Mereka tidak hanya menikmati musik tersebut, tetapi juga menjadikannya bagian dari identitas dan gaya hidup. 

Subkultur ini biasanya memiliki nilai-nilai, norma, simbol, dan perilaku yang khas, membedakan mereka dari kelompok masyarakat lainnya.

Kalau bicara masalah genre musik dangdut, mereka tak sengaja melakukan pemberontakan kepada warna musik yang ada. 

Bicara dangdut saja, ada dangdut elektronik, dangdut campursari, hingga dangdut koplo yang belakangan digemari hingga ke manca negara.

Baca Juga: Pesta Rakyat di Brebes Berlangsung Meriah dengan Expo UMKM dan Konser Koplo

Namun tiba-tiba publik dangdut kaget atas kemunculan OM Lorenza dengan dangdut jadul. 

Kemunculan mereka diperkuat dengan gaya penonton yang “ngibing” menggunakan baju 70 an. 

Hasilnya, viral lah komunitas ini di media sosial, menjadi fenomena yang melempar netizen ke jaman dahulu. 

Makin meluas tidak hanya di kalangan pecinta dangdut, tapi juga kalangan yang lebih luas. Asyik didengar, unik dilihat, outputnya netizen tersenyum. 

Kalau diotak-atik gathuk, lirik lagu Tambal Ban, yakni menambal kebocoran agar bisa melanjutkan perjalanan. 

Esensi lirik yang klop dengan efisiensi pemerintah sekarang. Presiden melakukan efisiensi, agar tidak terjadi kebocoran, keborosan, sehingga pemerintahan bisa terus melanjutkan perjalanan. 

Pak Prabowo, gerakan Om Lorenza ini terus meluas di dunia maya, tidak hanya di Solo Raya. 

Jika mereka konser, terjadi perputaran uang di sana. Ada transaksi rakyat kecil terjadi, mulai tiket, makanan minuman, asesoris. 

Bahkan, ada satu mall di Solo Raya yang sengaja menjual baju jadul sebagai kostum saat hadir di konser OM Lorenza. 

Mungkin bapak mau menemui mereka, sekedar bergoyang pelan, agar tersenyum dan fresh. 

Bukannya bapak juga dulu waktu kampanye suka berjoged?

Baca Juga: Fenomena Remix TikTok, DJ Desa X Madara Dusal Trending Berkat Dangdut Koplo

Leave a comment