Informasi Terpercaya Masa Kini

Ekonom Sebut Tech Winter Hambat P2P Lending Cari Suntikan Modal

0 2

Bisnis.com, JAKARTA – Industri financial technology (fintech) P2P lending atau pinjaman daring saat ini dihadapkan tantangan berupa kewajiban pemenuhan ekuitas minimum yang dipersyaratkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Besaran syarat ekuitas minimal ini bertambah dari Rp7,5 miliar yang harus dipenuhi pada Juni 2024 menjadi Rp12,5 miliar yang harus dipenuhi pada Juni 2025.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai saat ini bagi sebagian perusahaan penyelenggara fintech P2P lending mungkin sulit dengan persyaratan itu. Per Desember 2024 saja, masih terdapat 11 penyelenggara yang belum memenuhi ekuitas Rp7,5 miliar. 

Baca Juga : P2P Samir Genjot Pendapatan, Bidik Ekuitas Minimum Rp12,5 Miliar

“Saat ini pendanaan bagi perusahaan digital tengah menurun. Dengan pendanaan yang tidak memadai, sulit bagi sebagian platform memenuhi ekuitas minimum tersebut. Kecuali platform tersebut melakukan konsolidasi untuk meningkatkan nilai ekuitas mereka. Konsolidasi tersebut dapat berupa merger dengan platform lain atau produk digital lainnya,” kata Huda kepada Bisnis, Rabu (15/1/2025).

Huda menjelaskan fenomena tech winter saat ini belum mereda, di mana pendanaan bagi tech company atau perusahaan teknologi seperti fintech P2P lending turun tajam. 

Baca Juga : : Pinjol Kurang Modal Makin Banyak, Asosiasi Beberkan Kondisi Industri P2P Lending Terkini

“The Fed masih menahan suku bunga acuan mereka di level tinggi yang mengakibatkan biaya untuk investasi masih tinggi. Sulit bagi perusahaan P2P lending untuk memenuhi hal tersebut dengan pendanaan yang sangat terbatas sumbernya,” kata Huda.

Kondisi yang serba sulit bagi penyelenggara P2P lending ini, menurut Huda juga perlu dilihat OJK untuk menimbang-nimbang implementasi POJK Nomor 10 tahun 2022 yang melandasi ketentuan ekuitas minimum ini bisa disesuaikan atau tidak.

Baca Juga : : Fraud di Pinjol KoinP2P, OJK Lakukan Pemeriksaan Khusus

“Apakah memang harus dinaikkan ke angka Rp12,5 miliar di tahun 2025? Atau bisa dimundurkan lagi? Mengingat krisis pendanaan sektor digital juga masih terjadi. Kemudian, mendorong platform melakukan konsolidasi dengan ekosistem digital atau keuangan lainnya,” kata Huda.

Opsi untuk melakukan konsolidasi dan merger yang Huda sebut juga nampaknya tidak gampang. Pasalanya, di dalam POJK 10/2022 juga mengatur satu perusahaan tidak bisa menyelenggarakan lebih dari satu platform P2P lending.

“Saya melihatnya salah satu dari platformnya harus dimatikan karena akan menjadi kanibalisme antar platform. Kecuali, yang satunya pinjaman daring, dan satu lagi Buy Now Pay Later (BNPL). Ini bisa mengisi pasar satu sama lain,” jelas Huda.

Menurutnya ketentuan satu perusahaan hanya dapat menyelenggarakan satu platform P2P lending tersebut masuk akal. Pikirnya, kenapa harus ada dua platform ketika satu platform bisa menawarkan produk yang serupa. 

“Konsolidasi dan merger horizontal kan sudah pasti akan mengurangi produknya. Kecuali konsumen yahg disasar beda, seperti di perbankan ada BCA dengan Blu Digital yang milik BCA, tapi pangsa pasarnya beda. BCA bagi nasabah konvensional, Blu Digital untuk menyasar anak muda,” pungkasnya.

Leave a comment