Siap-siap, Mulai Besok Harga Pulsa, Kuota Data, Netflix, dkk Naik
KOMPAS.com – Mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen.
Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung pembangunan ekonomi.
Kenaikan tarif ini dilakukan secara bertahap. Sebelumnya, PPN mengalami kenaikan dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022. Kini, kenaikan ke 12 persen akan mulai diterapkan di awal tahun 2025, meliputi berbagai jenis barang dan jasa.
Baca juga: Harga Netflix dan Spotify Naik Tahun Depan, Imbas PPN 12 Persen
Kenaikan tarif berlaku untuk barang dan jasa
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan bahwa kenaikan tarif ini mencakup seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan PPN 11 persen.
Namun, beberapa jenis barang dan jasa tetap mendapatkan pembebasan, terutama yang dianggap sebagai kebutuhan pokok masyarakat.
Beberapa contoh barang yang tidak terdampak langsung adalah minyak goreng curah merek “Kita”, tepung terigu, dan gula industri.
Untuk jenis barang ini, tambahan 1 persen PPN akan ditanggung oleh pemerintah melalui skema Ditanggung Pemerintah (DTP). Skema ini bertujuan agar harga barang tetap terjangkau oleh masyarakat, terutama kalangan bawah.
Layanan digital masuk daftar objek pajak
Selain barang fisik, layanan digital juga terkena dampak kenaikan tarif PPN. Layanan seperti Netflix, Spotify, YouTube Premium, dan platform streaming lainnya akan dikenakan tarif baru.
Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, menegaskan bahwa layanan ini termasuk dalam kategori jasa sistem elektronik sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60/PMK.03/2022.
Platform digital tersebut telah ditunjuk sebagai pemungut PPN sejak penerapan aturan sebelumnya.
Oleh karena itu, kenaikan tarif ini bukanlah penambahan objek pajak baru, melainkan penyesuaian dari tarif yang sudah ada. Oleh karena itu, langganan layanan streaming yang sebelumnya dikenakan tarif PPN 11 persen, mulai besok akan dikenakan tarif baru sebesar 12 persen.
Baca juga: Pemasukan Pajak Digital di Indonesia Naik Terus, Total Rp 9 Triliun
Dampak pada barang dan jasa lainnya Pulsa, token, dan voucer
Penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer, selama ini sudah dipungut PPN sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer.
Transaksi QRIS
Kebijakan pengenaan PPN 12 persen juga akan berdampak pada transaksi menggunakan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Namun, ada beberapa hal yang perlu dipahami agar masyarakat dan pelaku usaha tidak salah mengartikan kebijakan ini.
Berdasarkan PMK Nomor 69/PMK.03/2022, PPN atas jasa layanan pembayaran elektronik, termasuk QRIS, sebenarnya bukan merupakan objek pajak baru.
Pajak ini telah berlaku sebelumnya dan dibebankan kepada merchant atau pedagang yang menggunakan layanan tersebut. Dengan demikian, konsumen tidak secara langsung menanggung tambahan biaya akibat pajak ini dalam transaksi mereka.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dwi Astuti, menjelaskan bahwa transaksi menggunakan QRIS merupakan bagian dari jasa sistem pembayaran.
“Perlu kami tegaskan bahwa pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial,” ujarnya, dikutip dari Antara.
“Artinya, bukan obyek pajak baru,” sambungnya.
Top-up e-wallet
Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen juga berdampak pada layanan isi ulang dompet digital (e-wallet) seperti Ovo, GoPay, dan Dana. Namun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa dampak kebijakan ini terhadap harga barang dan jasa tidak akan signifikan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital selama ini sudah dikenakan PPN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022.
Dwi Astuti juga menekankan bahwa dasar pengenaan pajak bukanlah nilai nominal pengisian uang (top-up), saldo (balance), atau transaksi jual beli melalui e-wallet.
“Melainkan, jasa layanan penggunaan uang elektronik atau dompet digital yang menjadi obyek pengenaan tarif PPN 12 persen,” ungkapnya.
Ini berarti bahwa yang dikenai PPN adalah biaya administrasi atau jasa layanan yang dikenakan oleh penyedia layanan e-wallet, bukan transaksi utama seperti pembelian barang atau pengisian saldo.
Aturan teknis masih dalam pembahasan
Hingga akhir tahun 2024, atau sehari jelang pemberlakuan tarif PPN baru, pemerintah belum menerbitkan aturan teknis berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur detail penerapan PPN 12 persen.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, mengungkapkan bahwa PMK tersebut masih dalam tahap pembahasan bersama tim terkait.
“Aturan ini harus dirumuskan dengan cermat, mengingat sensitivitasnya terhadap daya beli masyarakat,” kata Deni kepada Kompas.com, Senin (30/12/2024).
PMK diperlukan untuk memberikan pedoman teknis yang jelas mengenai implementasi tarif PPN 12 persen.
Tanpa adanya PMK, pelaku usaha dan masyarakat akan mengalami kebingungan terkait mekanisme pengenaan pajak, potensi pengecualian, atau perlakuan khusus terhadap barang dan jasa tertentu.
Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian dalam transaksi ekonomi dan administrasi perpajakan. Selain itu, PMK berfungsi untuk memastikan bahwa penerapan tarif PPN yang baru tidak memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap daya beli masyarakat.
Dengan adanya aturan teknis yang rinci, pemerintah dapat mengatur strategi mitigasi, seperti penetapan barang dan jasa yang dikecualikan dari kenaikan tarif atau pemberian insentif tertentu, guna menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Kriteria barang dan jasa yang bebas PPN
Selain kebutuhan pokok, pemerintah juga memberikan pengecualian untuk beberapa jasa kesehatan dan pendidikan.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto barang dan jasa yang dibebaskan dari PPN 12 persen adalah sebagai berikut:
Barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN 12 persen adalah:
- Daging ayam ras
- Daging sapi
- Ikan bandeng/ikan bolu
- Ikan cakalang/ikan sisik
- Ikan kembung/ikan gembung/ikan banyar/ikan gembolo/ikan aso-aso
- Ikan tongkol/ikan ambu-ambu
- Telur ayam ras
- Cabai hijau, cabai merah, dan cabai rawit
- Sayuran
- Susu segar
- Bawang merah
- Gula pasir konsumsi
Selain itu, pemerintah juga membebaskan PPN 12 persen bagi beberapa jasa yang bersifat strategis, yaitu:
- Jasa pendidikan
- Jasa pelayanan kesehatan
- Jasa pelayanan sosial
- Jasa angkutan umum
- Jasa tenaga kerja
- Jasa keuangan
- Asuransi
- Vaksin polio
- Jasa pemakaian air minum
- Jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum
Dapatkan update berita teknologi dan gadget pilihan setiap hari. Mari bergabung di Kanal WhatsApp KompasTekno.
Caranya klik link https://whatsapp.com/channel/0029VaCVYKk89ine5YSjZh1a. Anda harus install aplikasi WhatsApp terlebih dulu di ponsel.