Turki Sebelum Utsmaniyah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pegunungan Altai terbentang sepanjang 2.000 kilometer (km) di Asia Tengah, tepatnya pada titik temu per batasan empat negara modern, yakni Mongolia, Republik Rakyat Cina (RRC), Kazakhstan, dan Rusia. Lembah pegunungan tersebut diyakini sebagai tempat bangsa Turki berasal
Sejak lebih dari 2.000 tahun silam, bangsa itu umumnya hidup nomaden sebagai kelompok-kelompok pengembara. Persebarannya cukup merata di kawasan yang sangat luas di Dataran Tinggi Mongolia (timur) hingga Laut Hitam (barat) serta Siberia (utara) dan Pegunungan Hindu Kush (selatan).
Pada pertengahan abad keenam,suku-suku bangsa Turki bersatu dan membentuk federasi pertama yang disebut Kekhanan Gokturk (552-581 M). Berbagai manuskrip Cina pada masa itu menyebutnya sebagai Tujue (harfiah: ‘helm perang’). Pasalnya,bentangan Pegunungan Altai tempat mereka tinggal dipandang menyerupai sebuah penutup-kepala pasukan pertempuran.
Meskipun sempat dilanda perpecahan politik bahkan perang saudara, Kekhanan Gokturk kembali sta bil menjelang akhir abad ketujuh. Sejak tahun 682 M, pusat pemerintahan bangsa Turki itu pindah ke Otuken, dekat Sungai Orkhon sekitar 350 km arah barat Ulan Bator. Wilayahnya membentang di seluruh Mongolia hingga Transoxiana.
Sementara itu, dari arah barat daya negeri tersebut kekhalifahan Islam berkembang sangat pesat. Sejak pertengahan abad ketujuh, Khalifah Umar bin Khattab memimpin upaya penaklukan atas Imperium Sasaniyah di Persia (Iran). Misi tersebut akhirnya sukses pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, tepatnya tahun 650 M. Tamatlah riwayat kerajaan yang telah berusia lebih dari empat abad itu.
Musnahnya Sasaniyah membuka jalan bagi perkembangan dakwah Islam di wilayah seberang Sungai Jaihun atau Amu Darya di Asia Tengah. Syiar agama ini juga diterima dengan tangan terbuka oleh suku-suku bangsa Turki yang menghuni kawasan tersebut. Sejak era Mu’awiyah bin Abu Sufyan pendiri Dinasti Umayyah Muslimin berhasil menguasai Asia Tengah lebih jauh hingga ke Samarkand.
Jumlah orang Turki yang masuk dalam lingkaran elite pemerintahan Islam makin banyak pada zaman Dinasti Abbasiyah. Mereka mengisi berbagai jabatan dan peran, termasuk ilmuwan, birokrat, tentara, hingga komandan militer
Khalifah Abbasiyah kedelapan, al-Mu’tashim Billah, mengawali tradisi perekrutan pengawal pribadi dari kalangan orang-orang Turki. Mereka diberikan berbagai kedudukan penting, bahkan tak jarang turut memengaruhi kebijakan negara.
Dengan kebijakannya itu, putra Sultan Harun ar-Rasyid tersebut berupaya menyingkirkan pengaruh orang-orang Persia dalam jajaran pemerintahan. Hal itu lantas mengundang polemik, sampai-sampai sang khalifah memindahkan ibu kota Abbasiyah ke sebuah kota baru, Samarra di Irak Tengah.