Benarkan Orang tua Tak Pernah Salah? Menyikapi Ego Orang Tua dalam Hubungan dengan Anak
Mengapa Anak Sering Dipaksa Mengalah dalam Konflik dengan Orang Tua?
Konflik antara orang tua dan anak kerap berakhir dengan anak yang dipaksa mengalah. Meskipun perdebatan adalah bagian dari dinamika keluarga, situasi ini sering kali menekan anak untuk berkompromi atau menekan perasaannya demi menjaga kedamaian. Penelitian dari TCU Magazine dan American Counseling Association mengungkapkan bahwa dalam konflik berulang, anak cenderung mengalah karena pengaruh otoritas orang tua dan beban emosional dalam hubungan tersebut.
Orang tua, tanpa sadar, menciptakan pola ini ketika mereka tidak mendengarkan pandangan anak secara aktif atau dengan cepat mengabaikan pendapat mereka. Akibatnya, anak merasa harus mengalah untuk menghindari eskalasi konflik.
Kesenjangan Antara Kesadaran dan Tindakan
Survei American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa 70% orang tua mengakui pernah salah dalam mengasuh anak, namun hanya 30% yang secara eksplisit meminta maaf kepada anak mereka. Ini mencerminkan adanya kesenjangan antara kesadaran dan tindakan.
Penelitian lain juga menemukan bahwa anak-anak yang memiliki orang tua yang mau mengakui kesalahan cenderung lebih percaya pada orang tua, lebih bahagia, dan lebih sehat secara emosional (Sarah Ockwell-Smith, 2016).
Fenomena Pola Asuh Otoriter
Salah satu penyebab utama konflik ini adalah pola asuh otoriter yang masih banyak diterapkan, terutama di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan bahwa 3,73% balita di Indonesia mengalami pola asuh yang tidak layak, termasuk gaya otoriter. Penelitian lain di Makassar terhadap 400 remaja mencatat 71,5% berada dalam kategori pola asuh otoriter sedang, dan 13,75% dalam kategori tinggi (Journal Nusantara, 2023).
Pola asuh otoriter ditandai oleh kontrol berlebih, hukuman, dan kecenderungan mengabaikan pendapat anak. Gaya pengasuhan ini berdampak negatif terhadap perkembangan mental anak, mengurangi rasa percaya diri, serta kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan hidup.
Dampak Pola Asuh Otoriter Pada Kesehatan Mental Anak
Banyak orang tua yang kurang menyadari dampak buruk sikap otoriter terhadap kesehatan mental anak. Anak yang tumbuh dalam lingkungan otoriter sering merasa tidak dihargai, kurang percaya diri, dan kesulitan mengambil keputusan secara mandiri.
Menurut Dr. John Gottman dari Gottman Institute (2023), kesalahan dalam interaksi adalah hal yang wajar. Yang penting adalah bagaimana orang tua memperbaiki hubungan melalui konsep rupture and repair mengakui kesalahan, meminta maaf, dan membangun kembali kepercayaan. Jika hubungan tidak diperbaiki setelah konflik, luka emosional pada anak dapat bertahan lama.
Mengapa Orang Tua Sulit Meminta Maaf?
Penelitian psikologi menunjukkan bahwa banyak orang tua enggan meminta maaf karena khawatir melemahkan otoritas mereka. Sikap ini sering berakar pada pola asuh yang mereka alami semasa kecil, di mana meminta maaf dianggap sebagai tanda kelemahan. Selain itu, sebagian orang tua memandang diskusi sebagai ancaman terhadap kontrol mereka, sehingga komunikasi menjadi terhambat.
Padahal, kemampuan untuk meminta maaf dan berdiskusi secara terbuka justru membangun hubungan yang lebih sehat dan saling menghormati.
Bagaimana solusinya?
Terdapat salah satu pendekatan yang efektif adalah connection based parenting atau attachment parenting yang dipopulerkan oleh Dr. William Sears. Konsep ini menekankan pentingnya hubungan emosional yang mendalam antara orang tua dan anak untuk membangun rasa aman, kepercayaan, dan penghargaan dalam keluarga.
Penelitian dari Harvard’s Center on the Developing Child menegaskan bahwa hubungan positif antara anak dan orang tua merupakan kunci membangun ketahanan terhadap stres dan trauma. Menurut Dr. Kenneth Ginsburg dari The Children’s Hospital of Philadelphia, koneksi emosional yang erat membantu anak merasa aman, lebih percaya diri, dan mampu menghadapi situasi sulit.
Contohnya dengan melakukan diskusi terbuka dengan anak, memberikan rasa empati serta memvalidasi perasaan seorang anak. Dalam The Whole-Brain Child, Dr. Daniel Siegel menekankan bahwa mendengarkan secara aktif dan memberikan empati membantu anak mengenali emosinya, membangun regulasi emosi, dan meningkatkan kepercayaan diri. Dengan mengganti kebiasaan memarahi anak dengan bimbingan penuh kasih sayang, orang tua tidak hanya mendisiplinkan, tetapi juga memperkuat koneksi emosional.
Diperlukan juga bagi orang tua untuk merefleksikan diri dengan mengakui kesalahan bukanlah sebuah tanda kelemahan, melainkan langkah untuk membangun hubungan yang sehat dan setara. Menurut Dr. Shefali Tsabary dalam The Conscious Parent, ketika orang tua meminta maaf, mereka memberikan teladan penting tentang tanggung jawab emosional kepada anak.
dengan seperti itu dipercaya membuat hubungan antara orang tua dan anak menjadi lebih harmonis dan perlu diketahui artikel ini tidak memihak kepada anak maupun orang tua, melainkan mengajak kedua belah pihak untuk refleksi bersama. Pola asuh yang efektif adalah yang dibangun di atas dasar kasih sayang, saling menghormati, dan keberanian untuk mengakui kesalahan. Dengan demikian, orang tua dan anak dapat menciptakan hubungan yang harmonis dan saling mendukung.
“It is not perfection that children need from their parents, but a genuine connection that allows them to feel loved, safe, and valued even in moments of imperfection.” — Donald Winnicott.