Menempuh Mulia Melalui Jalan Keayahan
Kompasianer yang menjadi ayah, saya yakin sudah atau pernah merasakan. Betapa menjadi ayah, butuh perjuangan hebat. Bahwa predikat ayah, bukanlah predikat sembarangan. Musti dibayar dengan kesungguhan, dijalani dengan stamina dan energi tak bertepi.
Ayah musti siap, mengalah semengalahnya. Karena ada istri dan anak diprioritaskan, meski di saat bersamaan ayah mengingini hal sama. Ayah musti tidak ragu merendah semerendahnya, bersedia menomor sekiankan kepentingan sendiri.
Ada fasenya ayah, merasa diri bukan siapa-siapa. Semua pencapaian di luar rumah, musti diletakkan dan mengutamakan keluarga di tanggungnya. Tidak gengsi bekerja apapun, demi asap dapur tetap mengebul.
Begitulah kehidupan mengatur, guna menguatkan pundak dan kuda-kuda ayah. Memang tidak mudah dan penuh challanging, tetapi menyimpan hikmah luar biasa.
—–
Sebagai ayah, saya sadar harus banyak belajar. Kadang ada kejadian, yang tidak sanggup dicerna logika saya. Mengalami kondisi sempit, disaat kebutuhan sedang banyak- banyaknya. Saya seperti tidak punya pilihan, kecuali menghadapi setiap ujian dengan kesabaran.
Sebagai ayah, saya tak henti berdoa dan berusaha. Melangitkan pengharapan yang besar, untuk datangnya keajaiban.
Jangan ditanya, soal peperangan di dalam diri. Ego seperti begejolak kencang, membisiki agar mengambil jalan pintas. Sehingga segala kesulitan, bsa selekasnya diselesaikan.
Ayah musti berpikir panjang, karena setiap tindakan berdampak pada istri dan anak. Ayah musti pandai memilih memilah, agar dampak baik terjadi di hari depan.
Predikat ayah, bisa disematkan pada siapa saja. Tetapi pengemban amanah keayahan, adalah perkara lain. Bagai ayah dengan ketetapan hati, sangat bisa menempuh mulia melalui jalan keayahan.
Menempuh Mulia Melalui Jalan Keayahan
Saya merasa sangat beruntung, memiliki ayah kandung seperti — almarhum– ayah saya. Lelaki yang semasa hidupnya tidak neko-neko, hidup sederhana dalam arti sebenarnya.
Sederhananya ayah — berarti keluarga kami juga–, bukan karena pilihan sikap. Tetapi keadaan, yang menuntut ayah berlaku demikian. Keadaan yang kemudian mempengaruhi, setiap sikap dan keputusan yang ayah ambil.
Kalau ayah makan dengan lauk tahu tempe, sangat jarang jajan di warung. Bukan karena tahu tempe adalah kesukaan, bukan karena jajan di luar diolah dengan tidak sehat.
Kalau ayah memilih jalan kaki, untuk berangkat dan pulang mengajar di sekolah desa tetangga. Bukan karena ingin banyak bergerak membakjar kalori, sehingga badan sehat didapatinya. Jalan kakinya dan hematnya ayah, semata tuntutan keadaan.
Saya masih ingat, di pertengahan 80-an ayah membeli motor buntut. Motor keluaran tahun 70-an itu, dengan cat biru tipis yang nyaris hilang warnanya.
Roda dua besi itu tidak pernah dipakainya, dipersembahkan untuk anak tertua yang kuliah di kota besar. Sejak hari itu, ayah dan ibu tertatih- tatih, membayar cicilan bulanan selama sekian tahun.
Ayah lelaki yang irit bicara, seperlunya tidak berlebihan. Tak segan mengerjakan apapun di rumah, sepulang dari mengajar. Suatu siang saya pernah diajak ayah, ke kebun kakek mencari kayu bakar.
Pohon tua yang hampir mati itu, tumbang dengan tiga kali tebas saja. Kemudian kayu kering dipotong ukuran sedang, agar tidak merepotkan saat dibawa. Si anak bungsu ini, beberapa kali bolak-balik mengangkut kayu.
Aman sudah, persediaan bahan bakar memasak. Beberapa hari ke depan, ibu tidak perlu mengisi minyak kompor. Lumayan berhemat seratus dua ratus perak, bisa untuk keperluan lain.
Kepada anaknya ayah selalu mengalah, dari hal kecil sampai besar. Misalnya sncak dan makanan saat rapat, dibawa pulang untuk saya. Sampai hal serius, seperti membeli motor untuk mbarepnya.
Taki bisa dipungkiri, sebagai manusia biasa ayah punya kekurangan. Ketika saya lulus SMA, kami pernah berselisih pendapat. Yang di kemudian hari, saya menyadari sayalah yang salah. Lepas dari kesalahan kecil itu, tertutupi oleh banyak kebaikannya.
Heroik-nya ayah berjuang untuk kami anak-anaknya, membekaskan selaksa kenangan. Saya sampai ingat secara detil, situasi saat ayah mengalah.
Bagi saya anaknya, ayah telah menempuh jalan keayahan dengan baik. Dalam keadaan sesempit apapun, beliau tak pernah lepas tanggung jawab. Siap sedia di garda terdepan, ketika anak istrinya dalam kesulitan.
Meski tidak semua keinginan terpenuhi, sekalipun kami tidak pernah ditelantarkan. Meski hidup tak bergelimang bendawi, kami tidak pernah merasakan kelaparan. Ayah — dan ibu pastinya–, adalah salah satu sosok saya teladani.
Nyaris dua puluh tahun sepeninggalnya, saya masih merasakan hangatnya kasih sayang ayah. Baik melalui sikap maupun ucap, sampai gesture-nyapun saya hapal. Lelaki sederhana itu, namanya terhunjam di kalbu.
Ya, setiap lelaki, bisa tersematkan predikat ayah. Tetapi tidak semua, lelaki menjalankan peran keayahan dengan baik. Faktanya, tidak sedikit anak istri terlantar.
Padahal, setiap ayah terbukakan jalan. Menempuh mulia, melalui jalan keayahan. Semoga bermanfaat.