Pakar IT UGM: Jangan Sampai Mapel Coding Bebani Siswa dengan Target Muluk-muluk
Pakar Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Ridi Ferdiana menyoroti langkah pemerintah yang berencana memasukkan mata pelajaran (mapel) coding dan pemrograman Artificial Intteligence (AI) ke sekolah dasar. Ia paham, pemerintah berupaya mempersiapkan generasi digital sejak dini.
Tapi, menurut Ridi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum penerapan kebijakan ini. Jangan sampai, pelajaran ini justru membebani siswa dengan target yang muluk-muluk.
“Jangan sampai keputusan pemerintah ini menggeser kita mendorong adik-adik siswa makin tertekan. Sudah stres matematika, suruh belajar pemrograman. Kurikulumnya harus disesuaikan jika ini akan diwajibkan,” kata Ridi melalui sambungan telepon, Rabu (13/11).
Menurut Ridi, Indonesia perlu belajar dari negara-negara yang sudah terlebih dahulu menerapkan pembelajaran coding dan AI di sekolah dasar.
“Indonesia harus belajar implementasi dari negara-negara yang sudah menerapkan, Amerika, Singapura, Finlandia, yang mana tingkat pembelajaran AI dan codingnya untuk menengah dan dasar itu berbeda dengan pembelajaran AI yang ada di perguruan tinggi,”
Ridi mencontohkan pembelajaran di tingkat dasar dan menengah adalah bahasa pemrograman visual. Maka, teknologi pemrograman yang digunakan untuk pembelajaran anak-anak harus pas.
“Jadi memang berbeda dengan pemrograman yang umumnya pakai kode-kode seperti JavaScript,” katanya.
Harus dipahami pula target pendidikan dasar menengah berbeda dengan pendidikan tinggi atau vokasi. Target pembelajaran coding di SD bukan untuk membuat software.
“Pada pendidikan dasar dan menengah, target belajar coding itu bukan membuat software seperti halnya membuat software yang kita lihat seperti Gojek, Facebook atau apa pun itu. Tapi untuk melatih pemahaman pola pikir kritis, melatih pemecahan masalah,” bebernya.
Tidak Bisa Diwajibkan ke Semua Sekolah
Ridi sepakat dengan wacana pemerintah, jika mata pelajaran ini tak bisa diaplikasikan ke semua sekolah. Sebab, latar belakang masyarakat yang beragam hingga sumber daya di sekolah yang belum merata seperti infrastruktur, SDM guru, hingga konektivitas internet.
“Untuk saat ini sampai kondisi konektivitas kita terjamin, SDM sudah dilatih. Kecuali pemerintah mengambil langkah berani yakni mempersiapkan SDM secara lebih luas. Artinya semua dilatih dalam kerangka waktu 2 minggu sampai 6 bulan untuk memahami konsep coding di level dasar sampai menengah,” katanya.
Sebelumnya, Mendikdasmen, Abdul Mu’ti, mengatakan mata pelajaran coding menjadi salah satu mata pelajaran tambahan untuk SD dan SMP. Soal coding ini, Mu’ti mengaku sempat mendapat beberapa kritik.
Mu’ti mengatakan mata pelajaran coding ini pilihan dan tidak serta merta diterapkan di semua tingkat kelas di SD.
“Mungkin nanti akan ada penambahan mata pelajaran pilihan untuk SD dan SMP, coding dan AI. Tapi ini pilihan bukan wajib dan itu tidak dari kelas 1 (SD), karena sudah ada yang kritik saya, wong baca belum bisa kok suruh coding,” kata Mu’ti saat di SMAN 2 Wates, Kabupaten Kulon Progo, Rabu (13/11).
Lanjutnya, pelajaran coding dan AI ini mungkin akan diberikan kepada siswa kelas 4 sampai 6 SD. Kelas di bawahnya belum akan mendapatkan pelajaran tersebut.
“Coding dan AI ini kita mulai dari SD mungkin mulai kelas 4, 5, atau 6 dan SMP dan itu pilihan bukan wajib karena sekolah kita kemampuan berbeda-beda dan ini tidak sama sekali baru. Beberapa sekolah di Indonesia sudah ada coding dan AI,” bebernya.