Informasi Terpercaya Masa Kini

Benarkah Nama Besar Sudirman Cuma Dimanfaatkan Para Presiden Indonesia?

0 30

[ARSIP]

Jenderal Sudirman adalah tokoh yang sangat dikenal dalam sejarah Indonesia. Bukan hanya digunakan sebagai nama jalan di berbagai kota, wajahnya juga pernah menghiasi uang kertas dan logam. Dalam buku pendidikan sejarah semasa Orde Baru, perjuangan gerilya sang Panglima Besar diceritakan “cuma” dalam beberapa halaman saja.

Penulis: Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, untuk Intisari edisi Oktober 2009

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Intisari-Online.com – Penggambaran Sudirman umumnya pun hanya satu dimensi: kurus, lugu, berjuang tanpa pamrih, sakit tapi pantang menyerah. Lihatlah patungnya yang terbuat dari perunggu setinggi 6 m, karya dosen ITB Sunaryo, senilai Rp6,5 miliar di Jl. Jend. Sudirman Jakarta, yang dibuat pada 2003.

Yang tampak hanya keteguhan tanpa emosi. Patungnya di depan gedung DPRD Yogyakarta yang dibuat seniman Hendra Gunawan dari Sanggar Pelukis Rakyat tahun 1950-an juga senada, walaupun terkesan agak jelata.

Padahal Sudirman memiliki nuansa lebih dari itu: ia seorang guru dan kepala sekolah yang bisa membuat sajak, pendiri koperasi, pemain sandiwara, dan pesepakbola (bermain sebagai pemain belakang pada Bond Banyumas). Juga pernah berpolitik dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Berkorban jiwa, raga, dan harta

Lahir pada 24 Januari 1916 di Purbalingga dan meninggal di Yogyakarta pada 29 Januari 1950, Sudirman merupakan pejuang yang mati muda (dalam usia 34 tahun). Pada umur 29 dia sudah menjadi panglima angkatan bersenjata (waktu itu bernama Tentara Keamanan Rakyat – TKR) yang uniknya terpilih secara demokratis di antara para komandan dari berbagai daerah.

Keraguan pimpinan negara terhadap Sudirman sirna ketika ia membuktikan kemampuannya mengusir pasukan Sekutu yang jauh lebih canggih persenjataannya dengan strategi “Supit Urang” yang menjepit musuh dari dua sisi di Ambarawa.

Sudirman bersimpati dengan kelompok Tan Malaka yang mempelopori Persatuan Perjuangan yang menuntut syarat perundingan dengan Belanda adalah “Merdeka 100%”. Sudirman mengatakan “Lebih baik kita diatom daripada tidak merdeka 100%.” Namun terdapat kontroversi dalam kasus 3 Juli 1946 ketika serombongan tokoh datang ke Istana di Yogyakarta menuntut pergantian kabinet.

Dalam sejarah resmi yang dituding terlibat adalah pendukung Tan Malaka. Pemerintah Sukarno-Hatta tidak menuduh Sudirman, jika ini dilakukan, tentu akan muncul reaksi keras dari para prajurit. Pada buku Harry Poeze mengenai Tan Malaka (jilid 2, tahun 2009) diuraikan tentang sejauh mana keterlibatan Sudirman dalam peristiwa tersebut.

Dalam buku karya Paul Stange, Kejawen Modern (2009), disebutkan Sudirman menghadiri pertemuan kebatinan Sumarah. Pada masa revolusi kelompok ini cukup banyak pengikutnya di kalangan tentara, yang dipercayai dapat memberi ilmu kebal atau tidak kelihatan oleh musuh.

Selama ini Sudirman dikenal sebagai aktivis Muhammadiyah dan kepanduan Hizbul Wathan, namun apakah ia juga mengikuti ajaran kebatinan Sumarah? Sampai kini masih menjadi tanda tanya.

Dia menderita sakit TBC dan dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Sebagai tanda terima kasih ia sempat menulis puisi “Rumah nan Bahagia” yang kemudian diabadikan pada salah satu ruangan tempat ia dirawat. Sebelah paru-parunya “diistirahatkan” dan ketika bergerilya setelah Agresi Militer II Desember 1948, ia ditandu dengan hanya sebelah paru-paru.

Ketika itu streptomisin baru ditemukan dan pemerintah berupaya mendapatkannya di Jakarta yang sudah dikuasai Belanda, untuk mengobati Sudirman. Namun karena uang rupiah tidak diakui Belanda, maka obat itu diperoleh secara susah payah dengan barter batik tulis halus dari Yogyakarta.

Sudirman sendiri membawa perhiasan istrinya agar dapat digunakan sebagai biaya hidup ketika bergerilya. Harta, jiwa, dan raga dikorbankannya demi republik tercinta.

Sebulan sebelum Sudirman meninggal, Bung Karno pernah menulis surat meminta maaf karena tidak sempat pamit kepada Sudirman di Yogyakarta, ketika pemerintahan pindah ke Jakarta setelah penyerahan kedaulatan. Dalam surat lain, Sukarno menuturkan bahwa saing ikan duyung (konon lebih bagus dari gading gajah) yang merupakan hadiah dari Sultan Kotawaringin sudah dimasukkan ke dalam peti dan dikirim tadi pagi ke Jakarta.

Bila barang itu sampai, dia akan langsung membawanya kepada tukang pembuat pipa rokok terbaik di ibukota untuk selanjutnya dihadiahkan kepada Sudirman. Mungkin pipa itu tidak sempat dikirimkan karena Sudirman sudah berpulang tanggal 29 Januari 1950. Dia dimakamkan keesokan harinya di Makam Pahlawan Yogyakarta dengan prosesi yang diiringi puluhan ribu rakyat.

Sejak dulu dimanfaatkan para presiden

Ternyata, menurut pengamatan saya, para Presiden Indonesia, mulai Sukarno, Soeharto, sampai Susilo Bambang Yudhoyono memanfaatkan Sudirman untuk kepentingan pencitraan politik mereka.

Ketika Belanda menyerang Yogyakarta 19 Desember 1948, Sukarno-Hatta dan beberapa anggota kabinetnya ditawan Belanda. Sedangkan Sudirman memutuskan bergerilya. Sudirman kecewa karena Bung Karno sebelumnya sudah berjanji bila perlu akan berjuang masuk hutan.

Namun di sisi lain, keputusan untuk tetap tinggal di Yogyakarta merupakan keputusan kabinet. Lagi pula menurut T.B. Simatupang, bila Sukarno-Hatta ikut bergerilya, diperlukan pengawal yang sangat banyak untuk menjaga keselamatannya.

Mungkin sampai satu batalion dan kita tidak memiliki personil sebanyak itu khusus untuk keperluan tersebut. Tertawannya para pemimpin oleh Belanda di sisi lain membuat peluang untuk berunding selalu tersedia ketimbang berada di tengah rimba.

Hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, ibukota negara Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sedang sakit menolak anjuran Presiden Sukarno untuk tetap berada di dalam kota untuk istirahat dan berobat.

Sebaliknya, Sudirman memutuskan untuk meneruskan perjuangan bersenjata prajuritnya dengan dukungan rakyat. Setelah mengeluarkan Surat” Perintah Kilat (dikenal sebagai Perintah Siasat No. 1/Stop/1948) kepada seluruh prajurit yang disiarkan melalui RRI Yogyakarta, ia meninggalkan kota.

Sesuai dengan rencana, Jenderal Sudirman akan memusatkan perlawanan dari Kota Kediri. Tanggal 20 Desember 1948 dari kelurahan Grogol, ia harus naik tandu yang diusung secara bergantian oleh penduduk setempat. Perjalanan menuju Kediri dilalui dalam beberapa etape. Dalam perjalanan gerilya tersebut, pada tanggal 31 Maret menjelang 1 April 1949, rombongan sampai di rumah Karsosemito di Dukuh Sobo, Pakis, Nawangan, Pacitan.

Sebelumnya, karena perjalanan masih menuruni tebing gunung yang curam, atas permintaan Kepala Desa Pakis, rombongan Sudirman berhenti di punggung Gunung Gandrung untuk mengganti tenaga pendukung tandu, sekaligus memperbaiki tali temali pengikat kursi tandu.

Dalam perjalanan menuju Sobo, Jenderal Sudirman mengenakan destar hitam di kepala, berbaju kaos tebal yang dilapisi jas hujan, sebuah keris terselip di pinggang, memakai selop, duduk di atas tandu sambil memegang tongkat. Sobo ternyata menjadi tempat Jenderal Sudirman memimpin gerilya paling lama sebelum kembaii ke Yogyakarta (1 April 1949 – 7 Juli 1949).

Setelah kesepakatan Roem-Royen ditandatangani, pemerintahan dikembalikan ke Yogyakarta. Namun Sudirman masih enggan turun dari markasnya. Gatot Subroto menulis surat untuk membujuk sang jenderal.

Letkol. Soeharto yang didampingi fotografer Frans Mendur (IPPHOS) dan wartawan Rosihan Anwar ditugaskan menjemput Jenderal Sudirman dari markasnya di daerah Wonosari. Esok harinya, Frans Mendur ikut rombongan Sudirman yang bertolak menuju Yogyakarta.

Dalam perjalanan menembus hutan dan bukit inilah ia membuat seri foto terkenal yang menggambarkan Sudirman ditandu prajuritnya. Di Yogyakarta, Sukarno dan Hatta menanti di beranda depan kediaman Presiden yang luas.

“Ketika kami tiba, suasana sangat tegang,” tutur Tjokropranolo, pengawal pribadi Sudirman. Sudirman hanya berdiri kaku dengan sebelah tangannya memegang tongkat, lalu Sukarno merangkul sosok yang ringkih itu. Seketika itu pula matanya menangkap sosok Frans Mendur yang memegang kamera.

“Momennya dapat tidak?” tanya Bung Karno kepada Frans Mendur. Fotografer IPPHOS itu menggeleng. “Terlalu cepat,” jawabnya. “Kalau begitu diulang adegan zoentjes-nya,” ujar Bung Karno.

Frans Mendur mengikuti perintah Presiden. Demikian pula Sang Jenderal. Foto itu diperlukan Bung Karno untuk mencitrakan “rangkulan” antara sipil-militer dan antara pihak prodiplomasi versus perang gerilya.

Monumen sejarah crash program

Sudirman diangkat menjadi pahlawan nasional tahun 1964 pada masa jayanya ideologi Nasakom, bersama dengan Kepala Stafnya Urip Sumohardjo, pendiri NU (Hasyim Asy’ari dan Wahid Hasyim – kakek dan ayah Gus Dur), tokoh Muhammadiyah (Mas Mansyur dan Fachrudin), tokoh perempuan (Kartini, Tjut Nyak Dien, Tjut Meutia), serta tokoh PKI Alimin.

Pada masa Orde Baru, citra Sudirman itu juga diperlukan oleh penguasa. Pada tahun 1997 Soeharto sudah berada di puncak kejayaannya, apalagi yang belum dipunyainya? Maka lingkaran di sekelilingnya mengusulkan agar ia diangkat sebagai Jenderal Besar (bintang lima). Soeharto yang seperti biasa “risih” untuk menerima gelar kehormatan itu sendirian “didampingi” oleh A.H. Nasution dan almarhum Sudirman.

Era reformasi mengubah peran politik ABRI namun para purnawirawan memiliki kesempatan untuk bersaing memperebutkan kursi Presiden. Itulah yang terjadi tahun 2009 ketika pemilu presiden diikuti beberapa jenderal pensiunan. Siapa di antara mereka yang paling mempedulikan Sudirman, Panglima Besar yang dikagumi dan dihormati tentara di seluruh negeri?

Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang berkuasa tidak menyia-nyiakan kesempatan mengembangkan Monumen Sudirman di Pacitan. Pembangunan monumen jelas berkaitan dengan faktor historis yang ingin diingat atau nilai-nilai perjuangan yang ingin dilestarikan di tengah masyarakat yang sedikit banyak berhubungan dengan tokoh yang membangun monumen tersebut.

Monumen ini diresmikan tanggal 15 Desember 2008 di Pacitan, Jawa Timur. Perluasan monumen Panglima Besar Sudirman di Desa Pakis, Nobo, Nawangan, Pacitan merupakan program kilat di bidang sejarah.

Medio 2008 Presiden menugaskan Menteri PU, Menteri Kebudayaan dan Parawisata, serta Panglima TNI untuk melaksanakan crash program yang harus selesai akhir 2008. Pasukan zeni dan alat-alat beratnya ikut membantu agar proyek itu bisa selesai tepat waktu.

Departemen PU membangun infrastruktur, sedangkan Departemen Sejarah dan Pariwisata bekerja sama dengan Pusat Sejarah TNI mempersiapkan data kesejarahan yang digunakan sebagai relief. Diorama baru akan dibangun pada tahap kedua.

Agustus 2008 diadakan semiloka di sebuah hotel berbintang di Jakarta, membicarakan tentang sejarah perjuangan dan pembuatan relief perluasan monumen Panglima Besar Sudirman. Sekian relief dipersiapkan yang menggambarkan perjuangan Sudirman (1916 – 1950).

Tentu saja tidak dimasukkan dukungan Sudirman kepada Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka atau sejauh mana keterlibatan Sudirman dalam Peristiwa 3 Juli 1946 di Yogyakarta. Namun secara keseluruhan gambar-gambar tersebut sudah didiskusikan secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pesan yang ingin disampaikan ialah ibukota Yogyakarta diserang, Presiden dan Wakil Presiden ditawan, namun Sudirman tidak kenal menyerah. Sungguhpun kondisi kesehatannya lemah, ia bergerilya dengan satu paru-paru diusung di atas tandu. Apa jadinya republik ini jika TNI tidak berperan di saat menentukan?

Hal ini juga untuk menunjukkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono peduli terhadap Panglima Besar Sudirman. Peringatan Hari Juang Kartika 15 Desember 2008 yang dipimpin Kepala Staf Angkatan Darat pun dilakukan di sana.

Monumen sejarah itu “sukses” dibangun, walaupun pemberitaan pers tidaklah begitu besar karena terhimpit informasi lain.

Leave a comment