Review Film “Home Sweet Loan”, Ironi Kehidupan Anak Perempuan Bungsu
Jadi anak bungsu seringkali dianggap hidup enak. Penuh kasih saya dari orangtua. Ada kakak yang menjadi pelindung dan selalu mengalah.
Seringkali anak bungsu dianggap paling manja. Umur yang paling muda di keluarga dianggap paling dituruti maunya. Ingin sesuatu, tinggal meminta saja. Tak perlu berusaha lebih untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Merengek sedikit saja, orangtua dan kakaknya akan luluh begitu saja. Tak tega melihat anak bungsu menangis.
Semakin lengkap jika yang menjadi anak bungsu adalah perempuan. Dianggap paling lemah sehingga pendapatnya tak pernah di dengar. Segala keputusan dalam keluarga tak pernah ada campur tangan darinya. Ia hanya menerima keputusan, lalu menjalankannya saja. Mau atau tidak. Suka atau tidak.
Meski stigma manja melekat pada anak perempuan bungsu, bukan berarti bisa disamaratakan. Bukan berarti semua anak perempuan bungsu di dunia ini memiliki nasib yang sama.
Semua posisi, semua peran memiliki porsinya masing-masing. Begitu pun dengan ancaman, kendala, dan tantangan yang dihadapi.
Banyak yang menyebutkan bahwa jadi anak pertama harus tahan banting. Menjadi teladan bagi adik-adiknya. Jarang sekali ada yang membicarakan isi hati seorang anak bungsu. Benarkah ia selalu dimanja? Atau mungkin sebaliknya?
Kisah anak perempuan bungsu dengan segala kesemrawutan kehidupannya mencoba disampaikan lewat film Home Sweet Loan. Film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang serupa. Ditulis oleh Almira Bastari. Bukan kali pertama novel Almira Bastari diangkat ke layar lebar. Sebelumnya, novel best seller-nya yang berjudul Ganjil Genap pun sudah meramaikan bioskop Indonesia.
Kisah dari novel Home Sweet Loan semakin lengkap dengan hasil visual dari filmnya. Disutradarai oleh Sabrina Rochelle Kalangie yang sebelumnya dikenal lewat film Noktah Merah Perkawinan dan serial 90 Hari Mencari Suami. Film Home Sweet Loan sudah tayang di seluruh bioskop Indonesia sejak 26 September 2024.
Film Home Sweet Loan membawa penonton mengikuti perjalanan Kaluna yang diperankan oleh Yunita Siregar. Kaluna berusia tiga puluhan yang tinggal di Ibu kota. Sama seperti budak korporat Jakarta pada umumnya, yang bekerja sampai larut malam dan harus macet-macetan serta berdesakan di transportasi umum. Masih single dan masih tinggal di rumah orang tua.
Dengan gaji yang pas-passan, Kaluna harus menghidupi dirinya sendiri dan kedua orangtuanya. Termasuk memenuhi kebutuhan rumah. Seperti token listrik.
Padahal, bukan hanya Kaluna anak orangtunya yang tinggal di rumah itu. Kedua kakak Kaluna pun masih tinggal di rumah itu. Bahkan memboyong pasangan sahnya beserta anak-anaknya.
Kaluna merasa tidak diperlakukan adil. Ia harus rela berbagi tempat agar anggota keluarga yang lainnya bisa tinggal dan bertahan bersama. Ia bak seperti pembantu yang harus mengurusi seisi rumah. Padahal sama, ia juga sama-sama capek karena pulang bekerja. Ia juga yang membayar kebutuhan seisi rumah.
Kedua kakanya beserta kakak iparnya enggan membantu. Dalihnya karena mereka sudah punya anak. Selalu saja beralasan, “Nanti kalau kamu sudah nikah juga bakal kerasa punya anak seperti apa.” Kaluna sepertinya sudah muak dengan pernyataan itu.
Tak memiliki ruang di rumahnya sendiri, bahkan merasa diperlakukan sebagai pembantu, membuat Kaluna memiliki impian untuk weujudkan rumahnya sendiri. Ia ingin hidup sendiri. Menikmati kesendiriannya di tempat ternyaman yang ia ciptakan. Tanpa campur tangan orang lain. Menikmati jerih payahnya sendiri.
Beruntungnya Kaluna memiliki lingkungan pekerjaan yang membuat nyaman. Lingkungan pekerjannya suportif. Mendekatkan Kaluna dengan rekan kerjanya. Bisa dibilang mereka adalah geng yang terdiri dari empat orang. Kaluna, Danan, Tanish, dan Miya. Danan diperankan oleh Derby Romero, Tanish diperankan oleh Risty Tagor, dan Miya diperankan Fitria Anggraini.
Ketiga sahabatnya itu begitu suportif dan memahami kondisi Kaluna. Meski sebenarnya mereka pun memiliki permasalahan hidup yang beragam. Namun tetap saja, memang Kaluna yang kondisinya paling mengkhawatirkan. Namun Kaluna adalah yang paling kuat dan jarang meminta pertolongan atau merepotkan sahabatnya.
Dibantu teman-temannya, Kaluna mencari rumah yang cocok dengannya. Dari segi lokasi, lingkungan, dan tentunya harga yang sesuai budget. Meski tabungannya masih jauh dari harja jual sebuah rumah impiannya, tetapi ia berniat untuk mengambil cicilan. Dibantu dengan keringan yang dikhususkan bagi pegawai yang bekerja di perusahaan tempat ia bekerja.
Di tengah-tengah pencarian itu, Kaluna mengalami banyak hal. Mulai dari rasa sakit hati atas perlakuan keluarga kekasihnya yang selalu memandangnya rendah. Lalu kekasihnya sendiri yang meyebut dirinya pelit untuk membahagiakan dirinya sendiri. Padahal selama ini ia berusaha menabung. Daripada harus menghamburkan uang untuk memenuhi validasi dari orang-orang sekitar.
Puncaknya adalah ketika Kaluna sudah mendapatkan rumah impiannya dan tinggal membayar DP sesuai dengan tabungan yang ia miliki, Kaluna harus berhadapan dengan masalah keluarga. Kakak laki-lakinya tertipu saat pembelian tanah. Ia juga membeli tanah itu dengan meminjam pinjol dan menggadaikan sertifikat rumah kakek yang sejak kecil mereka tinggali.
Tak perlu berpikir panjang, film Home Sweet Loan menjadi film favorit yang saya tonton tahun ini! Bukan karena kemewahan yang disuguhkan. Justru karena kesederhanaan yang sampai ke hati penontonnya.
Pertama, film ini dibuka dengan berita program Tabungan Perumahan Rakyat yang disingkat dengan Tapera. Sangat relate dengan keadaan Kaluna yang sangat ingin memiliki rumah sendiri yang ia dambakan selama ini.
Namun, apakah benar program pemerinah ini membantu dan meringankan beban rakyat seperti Kaluna?
Kaluna menggambarkan potret nyata budak korporat di Ibu kota. Berangkat subuh dan pulang malam hari. Begitu saja setiap hari. Tidak ada uang lembur, tapi sering lembur sekalian menunggu macet di jalanan berkurang. Ia juga menghidupi kedua orangtuanya bahkan seisi rumah yang sebenarnya bukan tanggungjawabnya.
Saya rasa, di luar sana banyak Kaluna-Kaluna lain yang bernasib sama. Menjadi sandwich generation. Paling diandalkan. Paling dibutuhkan. Menopang kehidupan keluarga besar.
Rasa nyaman karena serba ada dan serba enak, membuat orang-orang disekeliling sandwich generation begitu terbuai dan tutup telinga serta mata. Bukan karena tak mampu bekerja. Bukan karena tak punya uang. Namun memilih mengalokasikan uangnya untuk kebutuhan yang menguntungkan diri sendiri daripada kebutuhan sekeluarga yang tinggal di rumah yang sama.
Jika membaca review film Home Sweet Loan di media atau website lain, banyak yang menyoroti sandwich generation yang dialami oleh Kaluna. Namun tidak dalam artikel review yang saya buat di Kompasiana.
Saya melihat sosok Kaluna sebagai anak perempuan bungsu yang berlawanan dengan stigma anak bungsu yang berlaku di masyarakat. Bukannya mendapatkan perhatin lebih apalagi dimanjakan, justru Kaluna yang memberikan perhatian kepada semua orang yang ada di rumah. Sampai-sampai ia lupa untuk memberikan perhatian kepada dirinya sendiri.
Film ini menyentil keluarga-keluarga di luar sana. Khususnya keluarga menengah ke bawah yang dalam satu rumah memiliki banyak kartu keluarga. Seolah menjadi pengingat bahwa pernikahan bukanlah hal yang mudah. Tidak bisa mengandalkan orang lain meski itu adalah saudara kandung sendiri. Orang tua yang paling bertanggung jawab akan kehidupan anak-anaknya. Suami yang memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya.
Ya, memang tidak mudah untuk memiliki rumah sendiri setelah menikah. Apalagi kini harga tanah dan rumah begitu melejit. Biaya sewa atau ngontrak pun kadang tak masuk akal. Lebih baik langsung membeli rumah. Dilemanya, uangnya yang belum cukup. Sebenarnya tak apa masih tinggal bersama orangtua, tapi bukan berarti bisa tinggal seenaknya saja. Bukannya dalam keluarga memang harus saling memahami ya? Bukan sebelah pihak yang terus menerus mengalah dan memahami.
Dalam review film kali ini, saya tak mau banyak memberikan kritik. Sebenarnya saya bingung apa yang kurang dari film ini. Sejak awal, tepatnya saat adegan Kaluna berjalan sepulang kerja lalu soundtrack film ini diputar, air mata langsung mengalir begitu saja. Sampai akhir cerita pun, tak bisa berhenti menangis.
Kesedihan yang dirasakan penonton didapatkan dari tontonan yang sederhana. Tidak perlu dramatisasi untuk mengundang tangis penonton, kesederhanaan film ini berhasil mengoyak-ngoyak isi hati penonton. Hanya adegan berjalan saja sudah mampu membuat saya sesak melihat Kaluna.
Khusus kali ini, saya tidak mau memberikan review lengkap terkait film Home Sweet Loan. Film ini sangat layak untuk dinikmati. Sulit untuk disampaikan lewat kata karena hanya bisa dirasakan sendiri. Film yang sangat cocok untuk sandwich generation, anak bungsu, anak perempuan bungsu, masyarakat kelas menengah ke bawah, dan penonton yang ingin paham isi hati orang-orang seperti Kaluna.
Untuk Kaluna-Kaluna di luar sana, suatu saat nanti kesabaran dan ketulusanmu akan berakhir indah. Semoga rumah ternyaman yang kamu impikan akan segera terwujud. Kamu hebat, kamu seorang pejuang, dan kamu berhak mewujudkan rumah impianmu sendiri!