Utang Jumbo Era Jokowi Tak Sejalan dengan Pertumbuhan Ekonomi, Cek Datanya
Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Bright Institute Awalil Rizky mengungkapkan bahwa penumpukan utang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama satu dekade belakangan tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Awalil mengaku tidak habis pikir dengan argumentasi pemerintah yang menyatakan bahwa utang dipakai untuk keperluan yang produktif. Padahal, sambungnya, data tidak membuktikan demikian.
Menurutnya, setidaknya ada empat indikasi yang menunjukkan bahwa jumlah utang yang terus naik tidak sebanding lurus dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga : Ekonom Ingatkan Prabowo Tak Teruskan Kebijakan Pembangunan Berbasis Utang ala Presiden Jokowi
“Pertama, kenaikan pendapatan negara itu tidak signifikan dengan penambahan atau kenaikan utang,” ujar Awalil dalam diskusi Forum Insan Cita secara daring, dikutip pada Selasa (17/9/2024).
Dia menunjukkan, rasio utang pemerintah atas pendapatan negara sebesar 315,81% pada 2024. Jumlah tersebut jauh lebih besar daripada ketika Jokowi pertama kali menjadi presiden atau pada 2014 yaitu sebesar 168,27%.
Baca Juga : : Utang Warga RI di Paylater Bank Rp18,01 Triliun, Lampaui Paylater Multifinance
Kedua, dari tahun ke tahun kenaikan nilai aset tetap pemerintah juga tidak tidak sejalan jumlah peningkatan utang pemerintah. Data terakhir pada 2023, utang pemerintah pusat mencapai sekitar Rp8.144 triliun sementara nilai aset tetap pemerintah hampir mencapai Rp7.000 triliun.
Meski perbedaannya tidak terlalu signifikan, tetapi Awalil menjelaskan itu bisa terjadi karena pada 2017 hingga 2018 pemerintah melakukan revaluasi aset tetap pemerintah sehingga sempat terjadi lonjakan nilai hingga tiga kali lipat pada 2019.
Baca Juga : : Sri Mulyani: Desain Defisit APBN 2025 Didesain Jaga Eksposur Utang
“Akibatnya kalau kita lihat itu berartikan utang itu tidak cukup besar menjadi aset tetap. Misalnya jalan, jalan yang bertambah itu jalan tol, kalau jalan nasional itu bertambahnya lebih sedikit dibandingkan era SBY [Susilo Bambang Yudhoyono],” katanya.
Ketiga, posisi investasi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dibandingkan dengan posisi utang pemerintah pusat. Menurut Awalil, pemerintah kerap menyatakan utang digunakan agar BUMN bisa menjalankan proyek strategis nasional.
Pada kenyataannya, lanjutnya, data terakhir pada 2023 menunjukkan utang pemerintah pusat mencapai sekitar Rp8.144 triliun sementara nilai penyertaan modal pemerintah pada BUMN tidak sampai Rp3.000 triliun.
“Jadi enggak ada, tidak terbukti utang itu membuat investasi pemerintah membaik signifikan di BUMN,” ucap Awalil.
Keempat atau terakhir, laju pertumbuhan ekonomi juga tidak berbanding lurus dengan kenaikan posisi utang. Awalil menunjukkan, kenaikan posisi utang tidak membuat pertumbuhan ekonomi menjadi lebih cepat daripada ketika berhutangnya lebih sedikit.
Pada kesempatan yang sama, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini juga mengkritisi penumpukan utang pemerintah selama eta Presiden Jokowi.
Dia mengakui bahwa rasio utang pemerintah masih di bawah 40% terhadap produk domestik bruto (PDB). Kendati demikian, dia merasa fakta tersebut kerap menjadi alasan pemerintah bahwa posisi utang pemerintah masih aman.
“Kalau di Jepang meskipun 100% [rasio utang pemerintah terhadap PDB] tapi kalau bunganya 0,7%—0,9%, punya utang 500 triliun dia cuma membayar 30 triliun [bunganya]. [Indonesia] punya utang Rp8.500 triliun, kita harus bayar Rp500 triliun [bunganya saja],” jelas Didik.