Tuban Bukan Kota Kabupaten Sembarangan, Disebut Lebih Tua dari Majapahit
Usia Kota Tuban setua Majapahit, bahkan konon ia lebih tua dibanding kerajaan yang pernah menguasa Nusantara itu. Ikonya: Ranggalawe dan Kalijaga.
Penulis: M Sulhi untuk Majalah Intisari September 2002
—
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
—
Intisari-Online.com – Bicara harta karun, yang terbayang barangkali kemilaunya permata, keramik antik, atau perabot zaman prasejarah. Sebagai kota tua, Tuban memiliki semuanya. Tengok saja koleksi Museum Kambang Putih di alun-alun Tuban.
Tapi rugi besar jika bertandang ke Kota Ronggolawe itu cuma untuk berburu keramik kuno. Karena ada “harta karun” yang jauh lebih berharga untuk dinikmati: cerita tentang Tuban itu sendiri!
Kota seluas 183.992,29 ha itu memang layak disinggahi. Selain memfasilitasi lahirnya Kerajaan Majapahit, Tuban menyimpan kisah dua dari Sembilan Wali (Wali Songo). Belum lagi “hubungan istimewa” mereka dengan bangsa Mongol dan Tiongkok.
Sepertinya, kawasan yang 65 km wilayahnya berbatasan dengan laut itu ditakdirkan sarat legenda dan menyimpan beragam misteri pantura Pulau Jawa.
Pemerintah Kabupaten Tuban, berdasar sumber tertulis, resmi berdiri saat raja pertama Majapahit, Raden Wijaya, melantik Ronggolawe sebagai Adipati Tuban, 12 November 1293. Tanggal itu kini diperingati sebagai hari lahir Kota Tuban. Namun, cerita yang berkembang di masyarakat dan terekam dalam “Babad Tuban” (sayang tak dilengkapi tanggal dan tahun yang jelas) menyebut, nama Tuban telah dikenal jauh sebelum Ronggolawe lahir.
Ceritanya, nenek moyang penguasa Tuban, Raden Arya Dandang Wacana, berniat membangun wilayah baru di sebuah tempat, saat itu bernama hutan Papringan. Saat giat-giatnya membuka hutan bersama para abdi, mendadak terlihat kucuran air dari mata air alami.
Penemuan ini sangat mengejutkan sekaligus menggembirakan Arya Dandang. Wilayah baru itu pun dinamai Tuban, singkatan dari bahasa Jawa, “me-TU-BAN-yune” alias keluar airnya.
Keratonnya jin
Konon, Dandang Wacana menjadi penguasa Tuban selama 30 tahun. Dia punya dua putra, Lanangjaya dan Hageng Ngeso. Lanangjaya memiliki putra yang kelak menjadi simbol kepahlawanan masyarakat Tuban, Raden Arya Ronggolawe. Dia tak cuma jago perang, tapi juga ahli strategi.
Saat Singasari di bawah pimpinan Kertanegara dihancurkan Jayakatwang penguasa Kediri, Ronggolawe menyelamatkan nyawa menantu Kertanegara, yaitu Raden Wijaya, dengan mengungsikannya ke Madura.
Sulit dibayangkan jika Ronggolawe (saat itu sudah menjadi penguasa Tuban, menggantikan sang kakek) tak bertindak sigap, nama Majapahit mungkin tak akan pernah terdengar di Bumi Nusantara.
Bersama Raden Wijaya dan tentara Tartar, Ronggolawe balas menghancurkan Jayakatwang. Sebenarnya, kehadiran pasukan Tartar di bawah pimpinan Shih Pi dan Kau Hsing untuk menghukum Kertanegara yang memotong telinga utusan mereka.
Namun, setiba di Pantai Boom, Tuban, Singasari sudah dikuasai Kediri. Pasukan Mongol itu pun dimanfaatkan Raden Wijaya dan Ronggolawe untuk memerangi Jayakatwang. Nah, saat tentara Tartar mabuk kemenangan, Ronggolawe ganti membantai mereka. Kabarnya, sebagian besar tentara Tartar mati terpanggang atau tenggelam.
Ronggolawe menjabat adipati selama 30 tahun, dengan pusat pemerintahan di barat Gua Akbar. Kalau ingin bernostalgia, sampai kini lokasi Ronggolawe melatih tentaranya (dalam bahasa Jawa disebut ngabar) diabadikan dalam bentuk kampung, Dusun Ngabar, dekat Gua Akbar. Lokasi gua ini sendiri sangat strategis, persis di tengah Kota Tuban. Panjangnya sekitar 1,2 km.
Di dalamnya dapat disaksikan sumber air alami dengan berbagai ikan hias. Gua yang terbentuk dari batu kapur sempat terlantar, bahkan menjadi tempat pembuangan sampah. Maklum, letaknya persis di belakang pasar tradisional Tuban. Baru tahun 1998 tempat itu dibenahi sekaligus dibuka sebagai tempat wisata.
Selain jalan setapak dan pagar besi di kanan-kiri, gua andalan Dinas Pariwisata Daerah (Diparda) Tuban ini juga dihiasi lampu warna-warni dan tata suara. Jadi, tak usah merasa takut, apalagi kesepian. Cahaya lampu, pijar dan dendang lagu pop, dangdut, hingga tembang khas Tuban siap menemani. Sebagai situs kaya sejarah, Gua Akbar jelas tak cuma jual tampang.
“Lebih penting, nilai sejarahnya bisa menjadi pelajaran buat generasi mendatang,” tutur Titik Maharti, Kasubdin Pengembangan Produk Pariwisata Tuban (artikel ini ditulis pada September 2002)
Berabad-abad lalu, gua ini dikenal dengan nama Luweng Ombo. Lokasinya yang terlindungi semak kaktus berduri, rumpun bambu, dan pohon Abar (sejenis beringin) tampak angker. Tak heran banyak orang menyebutnya keraton para jin! Di era Ronggolawe, Luweng Ombo dimanfaatkan sebagai tempat rapat dan menyusun strategi perang. Termasuk rapat operasi pembantaian tentara Tartar di Pelabuhan Boom.
Setelah menjadi adipati, Ronggolawe kembali menggunakannya untuk mempersiapkan pemberontakan terhadap Majapahit. Dia tak puas atas pengangkatan Nambi menjadi mahapatih, karena jasanya buat Majapahit dianggap tak seberapa.
Selepas era Ronggolawe, bertepatan dengan maraknya penyebaran Islam (sekitar abad ke-13), “penjahat budiman” di mana hasil rampokannya selalu dibagi-bagikan buat orang miskin yang bergelar Brandal Lokajaya alias Raden Mas Said, putra Adipati Tuban saat itu, Wilwatikta, menjadi penguasa baru gua ini.
Aksi perampokan terhenti setelah keberandalannya ditaklukkan Sunan Bonang, yang kemudian mengangkatnya sebagai murid sekaligus anggota Wali Songo dengan gelar Sunan Kalijaga.
Ada beberapa versi cerita mengapa nama Luweng Ombo berubah menjadi Akbar. Pertama, berasal dari Sunan Bonang yang menjadikan gua ini “markas” selepas insafnya Brandal Lokajaya. Wali yang makamnya terletak tak jauh dari alun-alun Tuban itu begitu kagum pada struktur gua, hingga menamainya Gua Akbar. Versi kedua, terkait dengan aktivitas Ronggolawe dan pasukannya yang kerap menjadikan gua itu sebagai tempat ngabar.
Gua Akbar memiliki beberapa jalan tembus yang tidak dibuka untuk umum, karena dianggap berbahaya. Misalnya Hawan Samodra, lorong sepanjang 1 km ke utara, konon ujungnya menembus Laut Jawa. Ada juga prapen (perapian dari batu untuk membuat senjata) milik pembuat senjata terkenal Empu Supa. Paling menakjubkan, Gawang Marabahaya, lorong sepanjang 20 m.yang berhubungan langsung dengan sumur bawah tanah sedalam 14 m.
Jika ditelusuri, sumur yang juga bagian dari sungai bawah tanah itu bakal tembus langsung ke Gua Ngerong, Kecamatan Rengel, sekitar 30 km dari alun-alun. Kini Goa Ngerong menjadi tempat wisata terpisah. Namun, tak seperti Gua Akbar, pengunjung tak berani masuk ke dalamnya, karena dialiri sungai bawah tanah dan dihuni ribuan ikan dan kelelawar yang dipercaya memiliki kekuatan magis. “Enggak ada yang berani makan ikannya, Mas,” ujar Titik Maharti.
Terbesar di Asia Tenggara
Selain kiprah dua wali dan keterkaitan dengan embrio Majapahit, Tuban juga dikenal baik oleh orang Tiongkok sejak zaman dulu. Menurut Dr. H.J. De Graaf dan Dr. Th. G. Pigeaud dalam bukunya Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, dari segi geografis Tuban sebenarnya tidak ditakdirkan menjadi kota pelabuhan penting. Buktinya, pada abad ke-15 dan 16 banyak kapal lego jangkar jauh dari pantai, karena lautnya mulai dangkal.
Namun, kondisi berbeda terjadi beberapa abad sebelumnya. Soalnya, sejak abad ke-11, para penulis Cina ternyata sudah kerap menyebut-nyebut Tuban sebagai kota pelabuhan. Hal itu menunjukkan, saat itu Tuban sudah kerap menerima kunjungan banyak kapal dagang asing, terutama dari Tiongkok. Alur perdagangan mereka tampaknya lancar-lancar saja.
Selain Gresik dan Surabaya, Tuban menjadi salah satu pintu gerbang perdagangan pantura Jawa, khususnya Jawa Timur. “Ma Huan, anak buah San Po, panglima Muslim Cina, bahkan bilang, sekitar tahun 1400-an sudah ada komunitas Cina di Tuban,” bilang Handjono Tanzah, humas Klenteng Kwan Sing Bio, Tuban.
Tak cuma berdagang, bangsa Mongol pun sempat terlibat pertikaian politik dengan Kerajaan Singasari. Pendaratan pasukan Tartar tahun 1292 di Pantai Boom, Tuban, menjadi bukti. Selebihnya, cerita tentang besarnya peran bandar Tuban lebih sering tak jelas atau salah penanggalannya. Toh kenyataan seringnya nama Tuban disebut bisa menjadi indikasi betapa terkenalnya Tuban di kalangan pedagang Cina masa itu.
Maraknya hubungan masa lalu ini sempat menumbuhkan spekulasi di kalangan para pemburu harta karun. Apalagi perairan antara Surabaya dan Semarang dikenal dengan batu karang ganasnya yang sanggup menenggelamkan kapal besar, salah satunya kapal Belanda Van Der Wijk di Lamongan. .
“Dulu banyak kapal pemburu harta karun mencari rezeki di perairan Tuban hingga perbatasan Lamongan,” kata Titik Mahardi.
Tahun 1995 Pemda Tuban dan mitra swasta pernah melakukan praktik serupa. “Banyak keramik antik ditemukan, sebagian ada di Museum Kambang Putih. Ada yang ditawar Rp 1 miliar, lo,” cerita pemandu di Kembang Putih, yang emoh disebut nama.
Tapi Pemda tekor, karena mitra kami itu lebih banyak melarikan temuannya ke Jakarta,” komentar Titik Mahardi. Sejak itu, seperti disitir Kapolres Tuban, AKBP Drs. Oerip Subagyo, penggalian harta karun di perairan Tuban dinyatakan haram.
Sama seperti sisa peninggalan era Majapahit, bangunan berarsitektur Cina juga tak banyak lagi bisa dijumpai di Tuban. Hal itu menjadi ciri umum kota pesisir, yang masyarakatnya lebih heterogen dan cepat menerima perubahan. Beruntung, dua klenteng tua berumur ratusan tahun sampai kini masih tegak berdiri.
Bangunan paling kuno, Klenteng Tjoe Ling Kiong usianya diperkirakan mendekati 400 tahunan, terletak dekat alun-alun Kota Tuban, berdampingan dengan Masjid Agung Tuban dan Gereja Katolik di belakangnya. “Lihat, sejak zaman dulu masyarakat Tuban terbiasa hidup berdampingan secara damai, apa pun agama dan keyakinan mereka,” cetus Handjono Tanzah.
Walaupun lebih dulu berdiri, Tjoe ling Kiong tampaknya kalah pamor dengan Klenteng Kwan Sing Bio, terletak persis di pantai utara. Bersama makam Sunan Bonang, Kwan Sing Bio disebut-sebut sebagai andalan Tuban.
Konon, inilah satu-satunya tempat ibadah Tri Dharma di Indonesia yang pintu gerbangnya langsung menghadap ke laut, tanpa terhalang apa pun. Posisi geografisnya yang “aneh” menambah keramat tempat ibadah yang rata-rata dikunjungi 50 – 100 orang per hari itu.
Kepopuleran klenteng berlambang kepiting – lazimnya naga atau singa – itu bahkan sampai ke telinga pemerhatinya di mancanegara. Di acara sembahyang hari besar tertentu, seperti hari jadi Kwan Sing Tee Koen, bertepatan dengan Imlek Lak Gwee 24, jumlah pengunjung mencapai puluhan ribu orang. Tak salah jika banyak peziarah menyebutnya klenteng “terbesar di Asia Tenggara”. “Enggak perlu cari hotel, mereka semua kami tampung di bangunan belakang klenteng,” ujar Handjono, sembari menunjuk empat bangunan besar terpisah di belakang klenteng.
“Soal doa yang terkabul, feng shui, dan lainnya terpulang pada kepercayaan masing-masing, orang,” imbuh Handjono yang mengaku tak bisa memastikan faktor apa yang membuat klenteng itu begitu “diminati”. Yang pasti, dia berbahagia, karena di hari-hari sembahyang istimewa, berkah Kwan Sing Bio bisa dinikmati juga oleh masyarakat lain. Terutama sektor informal,, seperti pedagang kaki lima, hingga tukang parkir.
Masih berkaitan dengan situs sejarah, sekitar 200 m dari alun-alun ada Pantai Boom, pelabuhan kuno arena pendaratan sekaligus pembantaian pasukan Mongol. Kata boom konon berasal dari bahasa Belanda, artinya tonggak tempat kapal berlabuh. Rasanya, tak sempurna kunjungan ke Tuban tanpa sekilas menengok kuburan kapal perang itu.
Sayang, keindahan pantainya sendiri nyaris tak tampak. Selain banyaknya sampah mengotori pasir, daratan sepanjang 600 m menjorok ke laut – dulu sebagai tempat menambat kapal – pun dikitari “hiasan” bangunan semipermanen, mulai dari warung makan-minum kaki lima, hingga kios prostitusi tersembunyi.