Karena Jodoh harus Diikhtiarkan
Saya sangat meyakini dan mengamini, kalimat “jodoh ada di tangan Tuhan’. Kalimat yang sekaligus menjadi pengakuan, betapa lemahnya makhluk yang namanya manusia. Meski sepintar, semenarik, sekaya raya apapun seseorang, tak mampu menentukan kedatangan jodohnya.
Kalimat “jodoh ada di tangan Tuhan”, bisa merepresentasikan sebuah kepasrahan. Tetapi sebaiknya, kalimat tersebut jangan disalahartikan. Mustilah dibarengi ikhtiar maksimal, setelah itu barulah di tahap pasrah. Yaitu sampai di kalimat, jodoh di tangan Tuhan”.
Jangankan soal jodoh, besok kita bernafas atau tidak sepenuhnya di tangan Tuhan. Kejadian satu dua menit ke depan, mutlak Tuhan mempunyai kuasa. Tetapi saya meyakini, bahwa manusia dilibatkan dalam kasih penciptaan-NYA.
Karenanya manusia dibekali akal pekerti, agar bisa memulia melebihi mahluk lainnya. Terhadap takdir Tuhan, manusia diberi ruang berupaya. Pun soal jodoh, dalam takdir juga melibatkan si manusia.
Ibarat manusia punya cita-cita, maka musti melakukan syarat-syratnya. Yang pengin punya mobil dan rumah, musti bekerja keras dan menabung. Upaya yang setia dilakukan, hingga cita-citanya bisa tercapai.
Tanpa usaha, maka cita-cita akan berhenti di angan semata. Keinginan punya mobil tapi tak ada gerak, benda mobil hanya ada di khayalan saja. Pengin pasangan tapi selalu menutup diri, maka pasangannya tiada kunjung tiba.
So, wajib hukumnya. Manusia berusaha nyata, agar cita-cita bisa digapai. Sehingga segala teori di kepala, mengejawantah dalam tindak laku. Agar cita-cita bisa terwujud.
—-
Jodoh itu, takdir muallaq.
Takdir muallaq adalah, takdir yang terkait sesuai bagaimana ikhtiar seorang hamba. Sayidina Ali berkata, “cinta itu tak dapat dinanti, ambil dia dengan penuh keberanian atau lepaskan dia dengan penuj keridhoan”.
Karenanya, di dalam takdir jodoh harus ada ikhtiar manusia. Dalam hal ini ikhtiar laki-laki, dan juga ikhtiar si perempuan. Ikhtiar paling standar adalah doa, kemudian musti dibarengi usaha nyata. Yaitu si laki-laki, mendatangi dan melamar dengan baik-baik.
Kemudian setelahnya, merencanakan pernikahan. Dan ingat selalu, besarnya pengorbanan (ikhtiar) bersua tambatan hati. Maka setelah menikah, janganlah orang tekasih disia-siakan.
Karena tanpa ikhtiar, jodoh akan berhenti di kalimat “jodoh itu di tangan Tuhan”.
Karena Jodoh Harus Diikhtiarkan
Soal jodoh, saya termasuk orang yang banyak jatuhnya sedikit bangun, jatuh lagi musti bersabar dan bangun. Target menikah di usia duapuluh lima, terpaksa lewat lima tahun kemudian. Masa penantian yang luar biasa, ibarat jatuh benar-benar sampai di dasar.
Semasa kuliah saya dibilang cukup selektif, beberapa teman perempuan mengaku jatuh suka. Pernah saya coba menerima (orang yang suka), jadinya saya sangat sedikit effort. Karena posisinya disukai bukan menyukai, keadaan ini sangat tidak mengenakkan.
Baru kemudian saya yang effort, menaksir adik kelas ketika semester tiga. Saking effortnya, saya memberanikan diri mendatangi rumahnya dan bertemu orangtua. Nasib berkata lain, perempuan dikejar membuka hati untuk laki-laki lain.
Setelah itu saya seperti trauma, tapi tetap terus berusaha. Kriteria yang pernah dipasang, lama-lama ditoleransi dengan sendirinya. Misalnya, sebelumnya pengin pasangan lebih muda, seketika diabaikan ketika kenalan dengan yang lebih tua.
Kemudian soal fisik, pernah diubah sedrastis mungkin. Sampai yang sebelumnya dihindari jauh-jauh, tiba-tiba mau menerima penuh kesadaran. Sampai pernah, saya naksir perempuan beda agama. Segala ikhtiar diupayakan sungguh, saya tidak pernah main-main. Saya ingin menunjukkan ke Tuhan, seserius itu keinginan menikah.
Dalam doa saya tegaskan berulang-ulang, tujuan menikah ingin mengikuti tuntunan Kanjeng Nabi. Menikah bagi seorang muslim, setara dengan menggenapkan agama.
Saya sama sekali tidak menyesal, mengerahkan usaha besar-besaran. Pergumulan di benak ini, kalaupun tidak sampai umur untuk menikah di dunia fana. Setidaknya tugas saya tertunaikan, menunjukkan keinginan besar menikah. Menjadikan syariat pernikahan, sebagai cara meneladani Baginda Nabi.
Di ujung kepasrahan itu, doa-doa panjang menunujukkan jawaban. Di ambang usia tigapuluh, melalui perantara teman kerja saya bertemu (saat itu) calon istri. Tak berpanjang waktu, minggu kedua perkenalan saya bertandang ke rumah camer. Alhamdulillah disambut baik, dan saya memberanikan diri melamar.
Perempuan yang saya nantikan kehadirannya, bersama hingga jelang duapuluh tahun pernikahan. Sayang menyia-nyiakan istri, kalau ingat perjuangan mendapatkannya. Waktu berjalan sangat cepat, semoga membawa kami sehidup sesurga–aamiin.
Karena jodoh harus diiktiarkan, demikian pula pernikahan. Semoga bermanfaat.