Informasi Terpercaya Masa Kini

Maafkan Kami, Studio Ghibli

0 16

Mungkin karena masih terbawa suasana Ramadan, saya membaca kata AI Ghibli itu seperti alghibli. Wah, ini ustad dari mana, baru dengar namanya? 

Namun, bagi mereka yang akrab dengan akal imitasi alias AI pasti sudah mafhum dengan tren menjelang Idulfitri 1446 H, yakni tren mengubah foto menjadi ilustrasi ala Studio Ghibli.

Saya pun ikut-ikutan mengubah foto keluarga menjadi ala Studio Ghibli lalu menyematkan ucapan Selamat Idulfitri di situ. Gambar keluarga itu menjadi unik dan lucu.

Namun, putri saya yang sedang menimba ilmu DKV di salah satu kampus di Bandung langsung protes, “Papa jangan pakai-pakai AI, nggak boleh itu!”

Kalau begitu, maafkanlah kami Studio Ghibli dalam suasana Idulfitri ini karena menggunakan basis karyamu hanya untuk kesenangan belaka. Sama sekali bukan untuk dikomersialkan, sungguh. 

Pastilah di bidang ilmu seni seperti DKV menjadi dilema antara tetap mempertahankan cara manual dan tradisional atau menggunakan teknologi.

Namun, penggunaan teknologi secara bulat-bulat jelas akan menumpulkan kemampuan manusiawi yang luar biasa. Ya, jika sedikit-sedikit menggunakan teknologi maka kebergantunganlah yang terjadi.

Kemarahan Studio Ghibli

Soal animasi, Jepang memang rajanya. Maka dari itu, Studio Ghibli merupakan studio animasi legendaris asal Negeri Matahari Terbit itu.

Studio itu dikabarkan meradang karena fitur baru yang disematkan pada ChatGPT 4.o sehingga dapat mengonversi foto menjadi ilustrasi ala Studio Ghibli.

Salah seorang animator kenamaan asal Jepang, Hayao Miyazaki, sudah menyatakan ketidaksukaannya pada AI. 

“Siapa pun yang menciptakan hal-hal ini sama sekali tidak tahu apa itu rasa sakit. Saya benar-benar muak. Sya tidak akan pernah ingin memasukkan teknologi ini ke dalam karya saya sama sekali. Saya sangat merasa bahwa ini merupakan penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri,” begitulah Miyazaki mengomentari AI sebelum muncul tren AI Studio Ghibli.

Namun, hukum di Jepang kabarnya membolehkan perlatihan AI menggunakan basis suatu karya, termasuk karya seni.

Problem penggunaan AI yang terus mencuat, termasuk di dalam dunia penulisan adalah problem etisnya. Apakah etis menggunakan AI untuk publikasi, apalagi publikasi yang mempertaruhkan muruah penciptanya sebagai seorang akademisi? 

Faktanya di media sosial kini bertaburan iklan bagaimana membimbing seorang penulis mampu menulis buku dalam hitungan hari atau menulis artikel  terindeks Scopus dengan sangat mudah. Seperti halnya Miyazaki, maaf, saya juga merasa jijik dengan hal itu.

Apakah AI memang membantu kita untuk malas berpikir dan malas berkarya dari “rasa sakit” seperti ditengarai oleh Hayao Miyazaki? Entahlah karena makin ke sini, AI semakin digdaya, bukan hanya soal penulisan, melainkan soal karya seni seperti animasi ala Studio Ghibli.

Problem etis yang terus digemakan, terutama di dunia akademis, yaitu deklarasi penggunaan AI jika memang digunakan pada karya tulis.

AI seperti yang kita pahami ada banyak jenisnya, bukan hanya ChatGPT dan sekarang ditanamkan pada banyak aplikasi. Sekarang setiap saya membuat dokumen baru di Word 365 maka AI Copilot akan menawarkan bantuannya untuk menulis dokumen. Ini memang mengerikan, terutama bagi penulis seperti saya.

Membuat Orang Kehilangan Pekerjaan

Impak AI yang paling terasa pada begitu banyak orang atau profesi adalah kehilangan pekerjaan karena tergantikan oleh AI. Pengalaman empiris saya tidak usah jauh-jauh. Saya punya kenalan desainer buku yang biasa membantu saya membuat kover buku. Namun, kini saya hampir tidak pernah lagi menggunakan jasanya. 

Saya lebih suka mendesain sendiri dengan bantuan Canva berbayar yang tentu dapat menghasilkan desain kover buku dengan resolusi tinggi. Itu baru satu contoh yang terjadi pada orang seperti saya—Gen X yang terpengaruh juga dengan teknologi.

Di Pusat Perbukuan, ketika saya masih berkhidmat sebagai salah seorang anggota komite penilaian buku, saya memberi pandangan larangan menggunakan AI pada ilustrasi buku.

Mengapa? Alasannya sederhana. Pusat Perbukuan sebagai lembaga perbukuan resmi di Indonesia, salah satu tugas dan fungsinya adalah melakukan pembinaan pelaku perbukuan.

Karena itu, membolehkan penggunaan AI pada ilustrasi sama saja dengan membuat ilustrator “mati pelan-pelan”. Para penerbit akan mengambil jalan pintas menggunakan ilustrasi berbasis AI. 

Satu dekade lalu ilustrasi AI belumlah sesempurna saat ini. Tapi, sekarang makin ke sini AI makin mampu melatih dirinya menjadi lebih sempurna dan “lebih manusiawi” dalam menghasilkan karya.

Saya terbayang juga pada sosok putri saya yang sedang menimba ilmu DKV. Ia seorang ilustrator sejati yang menghasilkan karya dengan imajinasi dan tangannya.

Wajar jika ia menolak mentah-mentah teknologi AI untuk menghasilkan ilustrasi meskipun ia seorang Gen Z yang akrab betul dengan teknologi digital terkini.

Di penghujung Ramadan, saya masih menyelesaikan satu buku (sudah 80%) tentang penggunaan markah koreksi (correction marks). Markah dan simbol ini masih digunakan dalam penyuntingan tradisional pada bahan (naskah) tercetak.

Saya masih mempertahankan cara manual dan tradisional ini agar mampu mengasah intuisi kepenyuntingan para editor. Dulu semasih mengajar tentang penyuntingan, saya memaksa para mahasiswa menguasai penggunaan markah koreksi. 

Mengapa? Tangan yang bergerak dan motorik halus yang bekerja sebagaimana hasil penelitian akan menambah kecerdasan, apalagi dalam konteks penyuntingan naskah terjadi proses membaca dan berpikir.

Seorang penyunting akan menimbang apakah teks dan gambar yang dibacanya perlu disunting atau tidak. Jika perlu disunting, apa yang harus diperbaikinya?

Ada “rasa sakit” seperti yang dikatakan oleh Miyazaki soal mengasah kemampuan menyunting, termasuk menulis.

Namun, tiba-tiba muncul AI berbasis penyuntingan yang memudahkan pencarian kesalahan-kesalahan di dalam naskah dan memperbaikinya secara otomatis. Akankah penyunting, termasuk penulis yang berwujud manusia bakal kehilangan juga pekerjaannya?

Saya pun akan meradang dengan penetrasi AI seperti saat ini. Namun, imbauan soal etis tidaknya seperti gema di ruang kosong. Jika dibilang terlalu khawatir, saya belum merasa demikian.

Sentuhan manusiawi dalam tulisan dan suntingan tidak akan terkalahkan, tetapi perlu bagi penulis dan penyunting terus mengasah kemampuannya. 

Jika penulis dan penyunting akhirnya harus bergantung terus pada AI, bersiaplah ia mengalami kelunturan kemampuan hakikinya sebagai manusia penulis dan penyunting. Betul apa benar?

Sekali lagi, mohon maaf lahir dan batin, Studio Ghibli.

Leave a comment