Dalih Napoleon Tundukkan Mesir dan Dampaknya bagi Muslim
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pada permulaan abad ke-18 M, tiga kerajaan besar Islam di dunia mengalami kemunduran. Di Timur Tengah, Turki Utsmaniyah terpukul kekalahan demi kekalahan saat berupaya meneguhkan pengaruhnya di gelanggang Eropa.
Kemenangan aliansi kerajaan Kristen dalam Perang Lepanto pada 1571 M disebut-sebut mengawali degradasi militer Utsmani. Sementara di dataran Persia Dinasti Safawi kian digerogoti serangan suku-suku Afghan. Adapun kekuasaan Mughal di India semakin lemah karena pelbagai pem berontakan dalam negeri.
Pada 1789 M, Revolusi Prancis mengguncang Eropa. Kemudian, Napoleon Bonaparte naik sebagai pemimpin Prancis. Dalam waktu relatif singkat, perwira yang lahir di Pulau Korsika itu menjadikan negerinya sebagai kekuatan yang sangat disegani di seluruh Benua Biru.
Napoleon sempat menguasai banyak negara di Eropa. Hanya Inggris yang menjadi rival tersisa bagi Prancis. Untuk mengancam kekuasaan Britania Raya di Asia, utamanya India, kaisar Prancis itu menjalankan misi pendudukan atas Mesir pada 1798 M. Dalam rombongannya, ia tidak hanya menyertakan pasukan militer, tetapi juga kelompok ilmuwan.
Saat dikunjungi Napoleon, Kairo berpenduduk sekira 263 ribu orang. Seperti umumnya wilayah Mesir saat itu, kota tersebut secara de facto dipimpin sekelompok elite. Pemerintah pusat Utsmaniyah memang mengangkat seorang gubernur (wali) untuk masyarakat setempat, tetapi kekuasaan wakil Istanbul itu formalitas belaka.
Dalam arti, mereka bisa mempertahankannya apabila suka dan menjatuhkannya kalau wali itu tidak lagi disenangi. Begitu besarnya pengaruh kelompok minoritas ini sehingga mereka cenderung semena-mena terhadap rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim.
Napoleon dan pasukannya mendarat di Iskandariyah pada 4 Juli 1798. Balatentara ini membawa persenjataan yang lebih modern dibanding apa-apa yang dimiliki pihak wali Kairo.
Mulanya, kedatangan pasukan Prancis disambut simpati masyarakat lokal sebab, Napoleon telah memaklumkan kepada mereka, Paris berkomitmen membebaskan rakyat Mesir dari segala bentuk penindasan atas prinsip kesetaraan manusia. Ia pun membawa-bawa sentimen agama dengan mengeklaim bahwa dirinya menghormati kitab suci Alquran.
Beberapa pekan kemudian, pasukan Inggris tiba di Teluk Abu Qir, dekat Iskandariyah. Dari London, Pemerintah Britania mengirimkan utusan kepada Istanbul untuk menawarkan kerja sama dalam melawan Napoleon.
Pada 5 Januari 1799, disepakatilah terbentuknya aliansi Inggris- Turki. Demi menyelamatkan reputasinya, kaisar Prancis itu pun meninggalkan Mesir pada 31 Agustus 1801.
Menurut Yayat Suryatna dalam artikelnya di Jurnal Inspirasi (2011), Prancis saat itu memang gagal mencaplok Mesir, tetapi ekspedisi Napoleon menimbulkan dampak yang signifikan, khususnya bagi kaum intelektual Muslim.
Para cendekiawan kian menyadari, betapa tertinggalnya umat Islam dibandingkan dengan bangsa-bangsa Barat, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi.
Salah satu inisiatif yang diambil Napoleon adalah mendirikan lembaga ilmiah bernama Institute d’Egypte, yang terdiri atas empat departemen, yakni kajian ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi dan politik, serta sastra dan seni.
Bersamaan dengan itu, beberapa percetakan juga disediakannya di Iskandariyah dan Kairo. Walaupun institusi tersebut bubar begitu sang pemimpin militer kembali ke negerinya, itulah untuk pertama kalinya rakyat Mesir mengenal macam-macam produk dunia modern, termasuk publikasi cetak semisal majalah atau surat kabar.
Maka, sejak abad ke-19, muncul arus intelektual Muslim baru yang berpusat di Mesir, khususnya Kairo. Inilah kelak yang melahirkan pemikiran modernisme Islam hingga abad ke-20.
Yudi Latif dalam Genealogi Inteligensia (2013) mengatakan, modernisme Islam merupakan titik tengah antara Islamisme dan sekularisme.
Gerakan ini berasal dari generasi Muslim terpelajar yang terpengaruh Barat untuk menyesuaikan diri dengan peradaban modern, tetapi pada saat yang sama mempertahankan kesetiaan terhadap kebudayaan Islam.
Jamaluddin al- Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849- 1905), dan Sayyid Rasyid Ridha (1865-1935) merupakan beberapa tokoh besar yang menyebarkan paham tersebut. Pengaruhnya terasa hingga ke Indonesia di masa kolonial.