Informasi Terpercaya Masa Kini

Belajar dari Kasus Marion Jola, Apa yang Sebaiknya Dipersiapkan Interviewer?

0 5

Film drama fantasi musikal Wicked cukup menyita perhatian penonton Indonesia. Film yang dibintangi oleh penyanyi Ariana Grande ini bahkan digadang-gadang menjadi kandidat kuat nominasi Best Picture Oscar 2025.

Tapi di negeri gemah ripah loh jinawi ini, kehebohan lain terjadi. Tepatnya saat penyanyi jebolan Indonesian Idol, Marion Jola, didaulat untuk mewawancarai Jonathan Bailey dan Jeff Goldblum, dua aktor yang bermain dalam film Wicked.

Dalam wawancara yang diunggah oleh akun instagram Universal Pictures Indonesia pada 20 November 2024, Marion Jola mengatakan bahwa tidak ada teater musikal di Indonesia. 

Sontak pernyataan Marion Jola tersebut mendapat banyak reaksi dari warganet, terutama para pelaku seni teater musikal di Indonesia. Sebagian besar menyayangkan pernyataan tersebut, dan Marion Jola dianggap tidak memiliki pengetahuan yang cukup soal teater musikal di Indonesia.

Belajar dari posisi Marion Jola, apa yang sebaiknya dipersiapkan seseorang ketika menjadi interviewer orang lain terutama selebritas?

1. Riset mendalam soal narasumber

Soal kiprah di dunia musik Indonesia, Marion Jola pantas diapresiasi. Ia bisa bertahan dengan lagu centilnya di era teman-teman seangkatannya lebih banyak menghasilkan lagu galau. Tapi soal ia menjadi interviewer, itu lain cerita.

Ketika kita dipercaya sebagai interviewer, kita wajib melakukan riset soal siapa yang akan kita wawancarai. Seperti namun tidak terbatas pada latar belakang profesinya, konteks interview, hingga karya-karya yang dihasilkannya.

Bahkan kalau perlu diusahakan menikmati karyanya terlebih dahulu, agar ketika memberikan pujian saat interview, tidak terkesan basa-basi semata. 

Oktober 2024, saya dipercaya untuk mewawancara maestro musik Indonesia Erros Djarot, yang menerima penghargaan Lifetime Achievement Festival Film Bandung 2024.

Secara usia, tentu saya terpaut sangat jauh dengan Erros Djarot yang tahun ini usianya sudah lebih dari 70 tahun. Dengan kata lain, saya tidak hidup di era keemasannya. 

Tapi sebelum interview, saya lakukan beberapa hal. Mulai dari riset data yang melimpah ruah di google, membaca artikel-artikel lawas soal karya dan dirinya, hingga mendengarkan lagu-lagu ciptaannya. 

Bahkan dari riset ini saya menemukan hal baru. Semisal lagu “Badai Pasti Berlalu” yang saya tahu ketika dinyanyikan Ari Lasso pada tahun 2007, yang kemudian dirilis ulang Noah pada 2021. Ternyata pertama kali dinyanyikan oleh Berlian Hutauruk pada 1977 sebagai original soundtrack film laris berjudul sama.

2. Menyusun daftar pertanyaan

Mengapa riset penting dilakukan? Salah satu output dari riset adalah daftar pertanyaan. Menyusun daftar pertanyaan sangat penting sebagai guidance ketika kita melakukan interview agar tidak terlalu melebar dari topik yang seharusnya.

Dalam beberapa kasus interview khusus seperti Marion Jola ini, daftar pertanyaan bisa diberikan dahulu kepada narasumber untuk ditinjau dan menemukan kesepakatan bersama. 

Peninjauan daftar pertanyaan juga sebagai upaya mitigasi risiko menghindari pertanyaan yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan. 

Kita bisa melihat banyak contoh di Indonesia yang selalu menanyakan masalah pribadi si narasumber, padahal konteks interview sedang membahas karya si narasumber.

Jikalau ketidaknyamanan terjadi, pastilah suasana interview menjadi canggung. Atau lebih ekstrimnya, si narasumber malah menyudahi sesi interview tersebut di tengah jalan.

3. Tanamkan mindset interview bukan starstruck syndrome

Ketika Marion Jola ditanya soal lagu dan atau pertunjukan “jazz standard” oleh Jonathan Bailey dan Jeff Goldblum, ia tidak bisa menjawab. Kemudian ia beralasan dengan mengatakan bahwa pikirannya tidak bisa diajak ke sana (baca: ngomongin jazz) karena merasa terpukau oleh persona dua aktor tersebut.

Fenomena tersebut dikenal dengan istilah starstruck syndrome. Sebuah keadaan di mana otak dan pikiran kita akan nge-blank ketika berhadapan dengan selebritis yang kita kagumi.

Entah Marion Jola memang mengalami hal tersebut, atau hanya sekadar ngeles karena ketidaktahuannya soal musik jazz, saya bisa memahami hal tersebut.

Beberapa tahun silam, saya pernah dipercaya untuk interview Acha Septriasa. Dan itu menjadi momen pertama kalinya saya bakal bertemu dengan aktor idola yang biasanya hanya saya tonton di layar bioskop.

Tentunya beberapa hari sebelum hari H, perasaan saya nggak karuan. Ada perasaan takut salah ngomong, takut narasumber nggak nyaman, dan perasaan canggung lainnya berkecamuk dalam hati.

Tapi setelah itu saya coba kontrol pemikiran dan tanamkan dalam diri, bahwa posisi saya adalah sebagai interviewer bukan sebagai fans. Jadi saya harus tetap profesional menjalankan tugas saya. 

Alhasil walau deg-degan, saya bisa menuntaskan tugas saya dengan baik. Barulah setelah interview selesai dan kamera off, saya bisa lebih santai ngobrol dengan Acha sebagai fans dan idolanya.

Well, sebagai penutup, dari kasus Marion Jola ini banyak pelajaran yang bisa diambil. Selain dari sisi persiapan interviewer-nya, pihak rumah produksi atau distributor juga bisa mempertimbangkan pemilihan interviewer dari sisi pengalaman atau background yang sesuai dengan narasumber.

Pun semoga setelah wawancara ini viral, masyarakat Indonesia menjadi semakin ngeh lagi akan keberadaan teater musikal Indonesia yang sesungguhnya sedang mengalami progres yang luar biasa. 

Leave a comment