Informasi Terpercaya Masa Kini

Jangan Main-main dengan Suara Konsumen; Kisah Terpuruknya Unilever yang Berjaya Sejak Indonesia Belum Merdeka

0 25

Sejak 5 Desember 1933, Unilever Indonesia telah tumbuh menjadi salah satu perusahaan Fast Moving Consumer Goods (FMCG) terkemuka di Indonesia yang senantiasa menemani keseharian masyarakat melalui beragam produknya, seperti Pepsodent, Lux, Lifebuoy, Dove, Sunsilk, Clear, Rexona, Vaseline, Rinso, Molto, Sunlight, Wall’s, Royco, Bango, dan masih banyak lagi.

Dengan demikian, Unilever Indonesia telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Sejak sebelum Indonesia merdeka, produk-produk mereka telah mengisi rak-rak rumah tangga, dari sabun, sampo, hingga makanan sehari-hari.

Unilever Indonesia pertama kali menawarkan sahamnya kepada publik pada 1981 dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia sejak 11 Januari 1982. Saat ini, Unilever Indonesia yang berkantor pusat di Tangerang memiliki lebih dari 40 brand dan juga 9 pabrik yang bertempat di area industri Jababeka, Cikarang dan Rungkut, Surabaya.

Pabrik serta produk-produknya juga telah mendapatkan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lebih dari 4.000 karyawan turut berkontribusi dalam perkembangan bisnis perusahaan ini.

Namun, kejayaan yang dibangun selama hampir satu abad itu kini menghadapi tantangan berat. Raksasa industri ini mulai terguncang, terperosok dalam pusaran perubahan yang sebagian besar dipicu oleh suara konsumen yang semakin lantang dalam menghadapi tantangan besar yang menguji ketangguhan bisnisnya.

Kinerja Keuangan yang Menurun Drastis

Unilever Indonesia (UNVR) mencatat penurunan laba yang signifikan pada tahun 2024. Laba bersihnya hanya mencapai Rp3,36 triliun, turun 29,83% dibanding tahun sebelumnya. EBITDA pun menyusut 26,83% menjadi Rp5,29 triliun.

Penurunan ini bukan sekadar angka, tetapi cerminan dari ketatnya persaingan di industri Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) dan perubahan preferensi konsumen yang mulai beralih ke produk-produk lokal serta yang lebih ramah lingkungan.

Di pasar modal, saham UNVR terus melemah. Terdepaknya UNVR dari indeks MSCI Global Standard hanya memperburuk situasi, membuat sahamnya anjlok 3,51% ke level Rp1.375 per lembar. Secara year to date (YtD), sahamnya sudah turun 27,06%. Kondisi ini menjadi tanda bahwa pasar dan investor mulai meragukan prospek pertumbuhan perusahaan yang dulu begitu dominan.

Faktor-Faktor yang Membawa Unilever ke Titik Ini

Sejumlah faktor eksternal dan internal telah mempercepat kemunduran Unilever di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah:

Boikot Konsumen dan Isu Geopolitik

Dalam era digital, konsumen memiliki kekuatan yang lebih besar dibanding sebelumnya. Berbagai kampanye boikot, baik karena alasan politik, etika, maupun preferensi pribadi, telah menggoyahkan banyak merek besar, termasuk Unilever. Efek dari boikot tidak hanya berdampak pada penjualan tetapi juga pada reputasi perusahaan dalam jangka panjang.Persaingan Ketat dari Merek Lokal

Produk-produk lokal semakin inovatif dan memiliki keunggulan dalam memahami selera konsumen Indonesia. Dengan harga yang lebih kompetitif dan pemasaran yang lebih dekat dengan budaya masyarakat, banyak produk lokal berhasil merebut pangsa pasar yang sebelumnya dikuasai Unilever.Perubahan Preferensi Konsumen

Konsumen saat ini semakin sadar akan sustainability dan mulai beralih ke produk yang lebih ramah lingkungan, bebas dari bahan kimia berbahaya, serta memiliki transparansi dalam proses produksinya. Jika Unilever tidak cepat beradaptasi, mereka akan semakin tertinggal.

Belajar dari Kesalahan: Kasus Serupa di Dunia Bisnis

Apa yang dialami Unilever bukanlah sesuatu yang baru. Sejarah telah mencatat beberapa perusahaan besar yang mengalami kemunduran karena gagal memahami perubahan perilaku konsumen:

Nokia pernah merajai industri ponsel tetapi jatuh karena lambat beradaptasi dengan tren smartphone layar sentuh.Kodak mengabaikan potensi kamera digital, meskipun mereka sendiri yang menemukannya, sehingga akhirnya kalah oleh pesaing baru.BlackBerry kehilangan pasarnya karena terlalu lama bertahan dengan keyboard fisik, sementara dunia beralih ke layar sentuh.

Dari kasus-kasus ini, jelas bahwa kesuksesan masa lalu tidak menjamin kejayaan di masa depan jika perusahaan tidak mendengarkan dan beradaptasi dengan kebutuhan konsumennya.

Langkah yang Harus Diambil Unilever untuk Bangkit

Jika Unilever ingin kembali berjaya, mereka harus bergerak cepat dan merancang strategi yang lebih relevan dengan tren saat ini. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

Memperkuat Engagement dengan Konsumen

Unilever harus lebih aktif mendengarkan suara pelanggan, baik melalui media sosial, survei, maupun komunitas online. Perusahaan perlu merespons dengan cepat terhadap kritik dan keluhan yang muncul.Berinovasi dengan Produk yang Lebih Ramah Lingkungan

Produk berbasis sustainability bukan lagi sekadar tren, tetapi kebutuhan. Mengurangi plastik, menggunakan bahan alami, serta memastikan rantai pasok yang etis adalah langkah-langkah yang bisa meningkatkan kembali kepercayaan konsumen.Meningkatkan Efisiensi Operasional

Dengan persaingan yang semakin ketat, Unilever harus mencari cara untuk meningkatkan efisiensi tanpa mengorbankan kualitas. Digitalisasi dalam rantai pasok dan distribusi bisa menjadi solusi untuk tetap kompetitif.Memanfaatkan Digital Marketing secara Maksimal

Era pemasaran tradisional sudah bergeser. Unilever perlu lebih agresif dalam memanfaatkan influencer marketing, content marketing, dan strategi berbasis data untuk menjangkau audiens yang lebih luas.

Kesimpulan: Jangan Remehkan Kekuatan Konsumen

Kasus Unilever ini adalah pengingat keras bagi seluruh pelaku industri: suara konsumen adalah kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Perusahaan yang gagal mendengarkan konsumennya akan menghadapi konsekuensi yang serius, tak peduli seberapa besar mereka di masa lalu.

Kepercayaan pelanggan adalah aset yang sangat berharga bagi perusahaan seperti Unilever, dan sekali hilang, sulit untuk dikembalikan. Perubahan preferensi pasar, daya saing yang semakin ketat, serta faktor eksternal seperti geopolitik dan boikot dapat berdampak besar pada keberlanjutan bisnis.

Strategi transformasi Unilever Indonesia masih dalam tahap awal, dan efektivitasnya perlu diuji dalam beberapa kuartal ke depan.

Jika Unilever ingin kembali ke puncak kejayaannya, perusahaan ini harus mendengarkan suara konsumen dengan lebih serius, beradaptasi dengan perubahan pasar, berinovasi secara agresif, dan benar-benar memahami apa yang diinginkan konsumen.  

Mampukah Unilever bangkit dari keterpurukannya? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Penulis: Merza Gamal (Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture)

Leave a comment