Informasi Terpercaya Masa Kini

Implikasi Pembatalan Kenaikan PPN Terhadap APBN dan Pasar Modal

0 4

Mendengar kabar bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen khusus diterapkan untuk barang mewah belaka, seperti yang diungkapkan Presiden Prabowo, beberapa jam menjelang pergantian tahun, sebenarnya cukup melegakan.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 131 tahun 2024, yang beredar di masyarakat keesokan harinya, disebutkan bahwa PPN tetap disebut naik 12 persen tapi dikalikan koefesien 11/12 sehingga PPN yang dibayarkan tetap 11 persen.

Khusus barang mewah, koefesiennya 12/12 yang artinya PPN untuk objek pajak barang mewah yang jenisnya seperti sudah diatur dalam PPnbm, dengan jumlah sangat sedikit.

Intinya, kenaikan PPN yang seharusnya dilaksanakan mulai 1 Januari 2025 secara umum dapat disebut dibatalkan.

Dampak Pembatalan Kenaikan PPN Secara Umum terhadap APBN

Alhasil keputusan di masa “injury time” itu, akan membuat potensi penerimaan negara akan berkurang dan defisit anggaran bakal semakin menganga.

Berdasarkan berbagai sumber informasi yang saya dapatkan, seandainya kenaikan PPN jadi diberlakukan, maka negara akan memperoleh tambahan pendapatan sekitar Rp75 triliun, seperti diungkapkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Fabio Kacharibu, beberapa waktu lalu.

Sedangkan tambahan penerimaan negara dari kenaikan PPN khusus barang mewah seperti yang diberlakukan saat ini, menurut Wakil Ketua DPR-RI Sufmi Dasco Ahmad diproyeksikan hanya akan meraup sekitar Rp3,2 triliun.

Di sisi lain, stimulus atau insentif yang dibetikan sebagai penyangga daya beli masyarakat akibat kenaikan PPN, masih tetap akan dilanjutkan, yang menurut catatan Kementerian Keuangan nilainya mencapai Rp38,6 triliun.

Dalam konteks Anggaran Pendapatan dan Belanja NNgara (APBN), dengan kondisi ini, pembatalan kenaikan PPN dan pemberian stimulus ekonomi akan membuat defisit bertambah sebesar Rp35,4 triliun.

Apabila potensi tambahan dari kenaikan PPN yang sebesar Rp75 triliun, tapi tak jadi terealisasikan tersebut, sudah dimasukan menjadi bagian pendapatan dalam APBN, maka pemerintah mau tidak mau harus mendapatkan pendapatan penggantinya

Pendapatan negara, menurut Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, terdiri dari pajak, bea dan cukai, pendapatan negara bukan pajak (PNBP), yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam, pendapatan dari kekayaan yang dipisahkan, pendapatan Badan Layanan Umum, pengelolaan barang milik negara dan terakhir pendapatan yang berasal dari hibah.

Nah, instumen pendapatan negara tersebut, pasti akan digunakan untuk menambal potensi defisit akibat batalnya kenaikan PPN, terutama lewat menggali lebih dalam potensi dari pajak penghasilan perseorangan maupun badan atau perusahaan.

Atau bisa juga dengan mengoptimalkan pemasukan dari PNBP. Dan kalau harga komoditas andalan Indonesia seperti baty bara atau kelapa sawit membaik, tambahan pendapatan bisa berasal dari situ.

Jika masih kurang juga, tak ada pilihan lain selain menambah utang yang sepertinya akan berupa penerbitan surat berharga negara (SBN).

Konsekuensinya, kalau pilihan tambahan pendapatannya berasal dari pajak, maka Wajib Pajak harus bersiap-siap menghadapi pemeriksaan konfirmasi yang lebih ketat atas harta yang belum terlapor.

Apabila fokus pendapatan tambahannya berasal dari PNBP serta bea dan cukai, bersiaplah menghadapi tarif impor yang sangar mungkin dinaikan.

Kalau, Pemerintah memutuskan berutang, ya berarti penerbitan SBN akan mengalami penambahan.

Namun, sepertinya, untuk menutupi kemungkinan defisit anggaran tersebut Pemerintah akan membagi rata burden-nya tersebut.

Walaupun untuk pastinya, hingga saat ini belum tahu apa pilihan Pemerintah untuk menambal defisit anggaran tersebut.

Terlepas dari pilihan Pemerintah nantinya, kondisi tersebut paling tidak akan mendorong persepsi pasar bahwa Pemerintah Indonesia saat ini membutuhkan pembiayaan yang cukup besar.

Dampak Pembatalan PPN terhadap Pasar Modal

Alhasil, pasar keuangan terutama para investor obligasi akan membaca peluang, untuk meminta tambahan imbal hasil atau yield lebih tinggi yang dampaknya akan mendorong harga obligasi stagnan cenderung menurun.

Namun demikian,menurut sejumlah sumber dan analisis sederhana yang saya lakukan,  tren penurun harga obligasi yang dipicu oleh dampak defisit APBN tak akan berlangsung lama, hanya di awal APBN mulai disusun dan diberlakukan. 

Ketika APBN sudah beberapa waktu berjalan, faktor ekspektasi terhadap inflasi, tren tingkat suku bunga domestik, dan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed akan lebih memiliki dampak terhadap pasar keuangan terutama obligasi atau SBN.

Sementara terhadap perdagangan saham, jika PPN jadi dinaikan maka harga jual akhir produk dari para emiten atau perusahaan yang telah menjual sahamnya di pasar modal, pasti akan terkerek naik.

Kenaikan harga tersebut, tentu saja akan direspon oleh publik dengan mengerem pembeliannya, akibatnya permintaan akan turun, yang bagi emiten bersangkutan ujungnya akan mengutangi pendapatan dan otomatis akan mengurangi volume keuntungannya.

Dengan pembatalan kenaikan tarif PPN ini tentu saja menjadi angin segar bagi emiten-emiten di pasar modal Indonesia, karena komplikasinya akan lebih sederhana, sehingga penyesuaian harga karena kenaikan PPN tak perlu dilakukan.

Tapi ingat, kondisi ini berdasarkan asumsi dari lingkup sebatas kenaikan PPN saja, diluar implikasi lain.

Asal tahu saja, naik turunnya kinerja emiten juga sangat bisa dipengaruhi beberapa faktor lain seperti misalnya manajemen perusahaan, situasi industrinya, kondisi ekosistem bisnis, kebijakan pemerintah lainnya, tak hanya naik turunnya PPN.

Selain itu, lantaran begitu banyaknya emiten di Bursa Efek Indonesia yang menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebanyak 943 perusahaan dengan beragam sektor dan industri, agak sulit untuk menentukan dampak negatif atau positif dari pembatalan kenaikan PPN secara umum.

Agak berbeda, dengan obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah dampaknya akan terukur dari sisi suplainya.

Biasanya semakin besar defisit APBN maka akan sebesar itu pula pemerintah menerbitkan SBN. Defisit APBN diukur dari besaran pendapatan dikurangi belanja negara.

Jadi intinya, pembatalan kenaikan PPN secara umum, akan berpengaruh terhadap APBN berupa potensi melebarnya defisit.

Situasi defisit anggaran, sangat potensial menambah utang negara yang biasanya di-generate melalui penerbitan SBN.

Semakin pemerintah kelihatan butuh, maka pasar akan merespon dengan meminta imbal hasil yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Kondisi ini bakal menyebabkan cost of fund pembiayaan APBN menjadi lebih mahal. Oleh sebab itu sudah sepatutnya APBN digunakan secara efisien.

Penutup

Pembatalan kenaikan PPN di last minute telah menciptakan tekanan tersendiri di pasar modal. Investor akan lebih berhati-hati dalam mengalokasikan dana mereka karena khawatir akan potensi peningkatan risiko. 

Kenaikan defisit anggaran dapat mendorong pemerintah untuk menerbitkan lebih banyak SBN, yang dapat menekan harga obligasi dan meningkatkan yield. 

Selain itu, ketidakpastian fiskal juga dapat mengurangi minat investor asing untuk berinvestasi di pasar saham Indonesia.

Leave a comment