Tidak Ada Lagi Proses Berbelit untuk Dokter WNI Lulusan LN
KEMBALI ke tanah air setelah sekian lama belajar di negeri orang adalah impian banyak diaspora. Dekat dengan keluarga dan teman, suhu yang nyaman, makanan lezat, dan banyak faktor lagi yang memanggil untuk kembali.
Namun, ada kalanya terdapat rasa takut, apakah ketika di Indonesia bisa diterima dan mengembangkan diri? Apalagi, dari curhat sejawat dokter atau berita di media, mereka yang lulusan luar negeri mengalami proses yang rumit dan panjang untuk bisa praktik di Indonesia.
Ketakutan tersebut mendapatkan jawabannya ketika tahun lalu ada informasi tentang program adaptasi dokter warga negara Indonesia (WNI) lulusan luar negeri yang akan praktik di Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan juga memberikan kejelasan masa depan bagi kami diaspora di bidang kesehatan untuk berkarier di ’’rumah’’ sendiri.
Transformasi itu adalah panggilan bagi saya yang sejak awal bersekolah kedokteran hingga spesialis di Inggris dan tidak memiliki keluarga yang berprofesi dokter.
Reformasi Penuh Harapan
Sebagai seorang dokter yang kini tengah menjalani proses adaptasi di Indonesia, reformasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan merupakan langkah yang penuh harapan. Transformasi itu tidak hanya membuka jalan bagi dokter lulusan luar negeri seperti saya untuk berkontribusi di tanah air, tetapi juga menegaskan komitmen negara dalam meningkatkan transparansi serta efisiensi sistem kesehatan nasional. Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) dan Kolegium Kesehatan Indonesia dalam proses seleksi hingga sekarang masa adaptasi menunjukkan profesionalisme yang bagus.
Proses seleksi yang tidak berbelit itu bisa dicontohkan ketika Januari lalu mulai mendaftar untuk menjadi peserta dokter adaptan. Dengan sistem yang telah terintegrasi melalui platform www.lln.kemkes.go.id, dokumen yang diperlukan dapat diunggah dan tahapannya terpantau. Verifikasi dokumen dilakukan dalam waktu yang relatif cepat, yakni sekitar 2 bulan hingga akhirnya proses wawancara dengan Kolegium Dermatologi, Venereologi, dan Estetika.
Ujian kompetensi menjadi pengalaman yang sangat berkesan. Bersama para residen dermatologi lulusan dalam negeri, saya mengikuti ujian nasional yang sama. Hal itu menunjukkan adanya standar yang seragam.
Setelah dinyatakan lulus, saya ditempatkan di RSUD Sampang, Madura, untuk menjalani program adaptasi. Penempatan itu tidak berdasar pilihan pribadi, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan tenaga medis di daerah tertentu.
Meskipun awalnya hal itu terasa menantang, saya justru merasa bahwa pengalaman di daerah memberikan banyak pelajaran berharga, terutama dalam memahami dinamika pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan.
Kolegium Dermatologi, Venereologi, dan Estetika memiliki peran penting dalam mendampingi saya selama proses adaptasi. Mulai wawancara, ujian kompetensi, hingga penempatan di lapangan, kolegium berkolaborasi dengan Kementerian Kesehatan untuk memastikan seluruh proses berjalan lancar. Selain itu, pendampingan dari dokter spesialis senior di tempat saya bertugas sangat membantu dalam adaptasi tersebut.
Logbook dan Evaluasi
Salah satu hal yang saya apresiasi adalah adanya sistem logbook dan evaluasi 360 derajat. Logbook itu mencatat kasus-kasus yang saya tangani, sementara evaluasi melibatkan umpan balik dari dokter pendamping, perawat, serta pasien. Proses itu tidak hanya membantu saya untuk terus belajar, tetapi juga memastikan bahwa adaptasi dilakukan secara menyeluruh dan bertanggung jawab.
Selama bekerja di RSUD Sampang, saya sangat terkesan dengan penggunaan teknologi seperti rekam medis elektronik dan resep digital. Sistem tersebut tidak hanya menyederhanakan administrasi, tetapi juga memastikan kesinambungan perawatan pasien. Meskipun masih ada tantangan seperti keterbatasan akses terhadap beberapa obat tertentu, saya melihat bahwa Indonesia terus berusaha untuk sejajar dengan standar internasional.
Dalam hal pengembangan pengetahuan, kolegium juga telah berupaya untuk tetap mengikuti perkembangan terbaru di bidang dermatologi. Hal itu terlihat dari protokol-protokol yang diterapkan, yang sebagian besar telah disesuaikan dengan pedoman internasional. Saya yakin, dengan komitmen yang kuat, Indonesia dapat terus meningkatkan kualitas pendidikan dan pelayanan medisnya.
Dengan adanya reformasi ini, saya optimis persebaran dokter akan makin merata sehingga kekurangan tenaga medis di daerah dapat teratasi. Proses adaptasi yang lebih transparan dan efisien memberikan peluang bagi lebih banyak dokter diaspora untuk kembali dan berkontribusi.
Langkah itu juga mendorong peningkatan kolaborasi antara kolegium, KKI, Kementerian Kesehatan, Kemendiktisaintek, serta institusi pendidikan hingga DPR RI untuk menciptakan sistem kesehatan yang lebih inklusif dan berdaya saing tinggi.
Sebagai orang yang pernah merasakan sistem pendidikan kedokteran di luar negeri, saya merasa bahwa reformasi ini adalah langkah besar untuk memberikan layanan kesehatan yang menguntungkan bagi tenaga medis maupun masyarakat. (*)
*) DR SHENDY ENGELINA SPDVE, Dokter adaptan di RSUD Sampang, Madura; alumnus Joint Royal Colleges of Physicians Training Board (JRCPTB), Inggris