Informasi Terpercaya Masa Kini

Dorongan Oknum Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan agar Masyarakat “Sakit”

0 5

Beberapa hari yang lalu, saya melakukan fieldstudy di salah satu rumah sakit yang ada di daerah Gresik. Saat fieldstudy, saya mendapati peristiwa yang menarik perhatian saya. Saat itu, saya melihat seorang pasien dan keluarganya sedang berbicara dengan dokter yang ada di ruangan. Pembicaraan di antara mereka tidak terdengar begitu jelas saat itu. Kalau saya tidak salah dengar, pasien itu mengalami sakit pada perutnya dan dokter menyarankan agar pasien dirawat inap di rumah sakit. Saya tidak mengetahui penyakit yang diidap oleh pasien saat itu. Pihak keluarga pasien menjelaskan bahwa mereka berharap agar pasien bisa dirontgen. Akan tetapi, dokter menolak permintaan mereka dan menjelaskan bahwa tidak semua penyakit perlu dirontgen. Pasien dan keluarganya pun menerima penjelasan dari dokter tersebut.

Dari peristiwa tersebut, saya teringat bahwa saya juga pernah mengalami penolakan permintaan ketika mengunjungi tempat praktik dokter gigi. Gigi graham belakang saya berlubang cukup besar dan terasa sakit ketika digunakan untuk mengunyah makanan. Saya pun bermaksud untuk mencabut gigi saya. Akan tetapi, permintaan saya ditolak. Dokter tersebut hanya memberikan obat dan meminta saya untuk kembali beberapa hari kemudian untuk melakukan pencabutan gigi. Dokter gigi itu menjelaskan bahwa obat yang diberikan berfungsi untuk mematikan syaraf gigi, sehingga tidak menimbulkan efek yang lebih buruk ketika pencabutan dilakukan. Meskipun dokter tersebut melakukan tindakan yang sesuai prosedur, ada orang di sekitar saya yang mengatakan bahwa itu cuma ‘akal-akalan’ dokter tersebut untuk menjual obat.

Seorang tenaga medis atau tenaga kesehatan memang harus memiliki ketegasan. Mereka  harus bertindak sesuai prosedur, sehingga mereka akan menolak permintaan pasien yang tidak sesuai dengan prosedur yang ada. Penolakan permintaan ini memang tidak jarang menimbulkan kekecewaan pada pasien awam. Meskipun tenaga medis dan tenaga kesehatan telah menjelaskan alasan penolakan dengan baik, pasien awam terkadang merasa dirinya tidak dilayani dengan baik, bahkan dirugikan. Beberapa pasien awam berpikir bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan sedang ‘mencari untung’ dari sakit yang mereka alami apabila prosedur yang dijalankan tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Pendapat mereka terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan memang bisa jadi benar. Beberapa oknum tenaga medis dan tenaga kesehatan memang melakukan kelicikan. Salah satu bentuk kelicikan tersebut adalah menerima suap dari perusahaan farmasi. Praktik suap antara oknum dengan perusahaan farmasi memang bukanlah hal baru. Dikutip dari kompas.com, Wakil Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), Sabir Alwi mengatakan bahwa praktik suap tersebut memang sudah menjadi rahasia umum. “Pada prinsipnya, dokter tidak boleh menerima imbalan pabrik farmasi yang pengaruhi dia menulis resep dan obat tertentu. Namun, itu bukan persoalan baru. Persoalan lama itu,” kata Sabir.

Perusahaan farmasi berlomba-lomba untuk ‘mendekati’ oknum tenaga medis dan tenaga kesehatan, terutama oknum yang memiliki banyak pasien. Biasanya, kesepakatan dengan para oknum sangat mudah didapatkan karena para oknum tersebut meminta suap. Berdasarkan penelitian Majalah TEMPO, biaya promosi obat di Indonesia mencapai angka 40% dari biaya produksi. Biaya promosi tersebut bukan sekadar digunakan untuk iklan tetapi juga untuk membiayai sponsorship dokter dalam mengikuti pelatihan/seminar/workshop/kongres serta memberikan gratifikasi/hadiah kepada dokter atas penulisan resep yang telah dilakukan (Winda, 2018). Bagaimana suap tersebut tidak menggiurkan para oknum? Suap tersebut bermacam-macam bentuknya, mulai dari uang tunai, liburan, smartphone, mobil, hingga PSK.

Kasus di atas adalah masalah serius yang dapat merusak integritas profesi dan berdampak buruk pada kualitas pelayanan kesehatan. Suap semacam ini bisa memengaruhi keputusan medis, seperti memilih obat atau perawatan tertentu berdasarkan insentif finansial, bukan berdasarkan kebutuhan pasien. Hal ini berisiko menurunkan kualitas pengobatan, meningkatkan biaya perawatan, dan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap sistem kesehatan.

Tulisan ini tidak bermaksud menjelekkan salah satu pihak, tetapi lebih sebagai peringatan kepada semua pihak. Seorang tenaga medis dan tenaga kesehatan sudah seharusnya menjunjung tinggi kode etik, memprioritaskan kebutuhan pasien, dan tidak menerima suap. Pasien harus bersikap kritis. Pasien mungkin merasa tidak memiliki pengetahuan untuk mempertanyakan keputusan medis, tetapi hal ini seharusnya tidak menjadi penghalang. Apabila ada hal-hal dalam keputusan medis atau rekomendasi pengobatan yang tidak dimengerti, pasien sebaiknya tidak ragu untuk bertanya atau mencari informasi. Pasien juga perlu mempertimbangkan pendapat lain apabila mereka merasa ragu atau tidak puas dengan diagnosis atau rekomendasi yang diberikan. Apabila pasien merasa atau bahkan menemukan penyalahgunaan atau kecurangan, pasien boleh melaporkan hal tersebut kepada lembaga atau organisasi yang berwenang. Sedangkan, pemerintah harus memperkuat sistem pengawasan dan regulasi untuk mencegah praktik suap dan memastikan bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan bertindak sesuai dengan kode etik dan standar profesi masing-masing. Jangan sampai kita membiarkan para oknum berhasil mendorong kita untuk ‘sakit’.

Leave a comment