Utang Pernikahan, Salah Kaprah Memandang Pernikahan
Utang pernikahan, demi siapa sebenarnya?
Beberapa tahun lalu, hadir di pernikahan seorang saudara jauh. Pernikahan digelar secara adat dan bisa dikatakan mewah.Pernikahan bukan di gedung tapi di rumah saja sebenarnya . Kabarnya rangkaian acara adatnya ini yang membuat mahal.Karena paling tidak ada “persyaratan” yang harus dipenuhi, termasuk tokoh adat yang menyatakan sah atau tidak pernikahan itu.
Tokoh adat ini juga memutuskan bila adat yang dilanggar. Mahalnya pernikahan ditambah dengan perayaan yang bisa mencapai 7 hari dan melibatkan “panitia” sekampung.
Banyak dari warga kampung yang ingin mengadakan nikah anaknya ini sampai harus menjual asetnya, misalnya tanah atau sawah. Demi apa? ya demi memenuhi tuntutan acara tersebut. Bila tidak cukup juga? ya hutang jadi solusinya. Apalagi bagi yang berprofesi Pegawai negeri Sippil, menggadaikan SK buat acara-acara besar seperti ini sudah dianggap sangat biasa dan wajar.
Siapapun tahu, pernikahan memang membutuhkan biaya. Bukan hanya anak yang mau menikah yang biasanya harus menyiapkan sejumlah dana, orang tua juga tentu mau tidak mau harus berpikir soal dana pernikahan.
Namun sebenarnya, mau seperti apa jalannya pernikahan, megah atau sederhana, kembali pada pilihan. Bisa saja tuntutan keluarga besar atau masyarakat seperti itu. tetapi bila memang, ingin sederhana saja, tentu bisa saja.Sekali lagi ini pilihan saja.
Termasuk soal hutang tadi. Menikah tanpa berhutang juga pilihan. Misalnya calon mempelai memutuskan hanya menggunakan sebagian dana tabungan mereka buat acara pernikahan sederhana dan sisanya buat awal kehidupan tentu sah-sah saja. Mereka memlih tidak berhutang karena memang tak ingin repot dikemudian hari, tentu pilihan yang baik.
Tetapi bagi sebagian yang lain , yang ingin nikahnya besar-besaran, mungkin juga ada alasan khusus. Misalnya menjaga “marwah” atau nama baik keluarga yang selama ini dipandang sekitar sebagai keluarga mampu. Kemudian ada juga yang merasa ini merupakan momen sekali seumur hidup dan harus dirayakan semaksimal mungkin. Intinya masing-masing keluarga mempunyai pilihan.
UTANG SEBAIKNYA DIHINDARI
Godaan buat merayakan pernikahan dengan kemewahan tentu saja ada. Apalagi bagi mereka yang hidup di suatu daerah dimana adatnya memang mengharuskan demikian. Mau tidak mau memang harus tetap dilakukan. Atau bagi mereka yang latar belakang keluarganya memang mempunyai kebiasaan demikian.
Namun, bagaimana bila memiliki dana terbatas? haruskah berhutang? menurut opini penulis, sebaiknya tetap jangan. lebih baik menahan “malu” sedikit karena pernikahan semampu kita daripada di kemudian hari menanggung hutang akibat pernikahan megah?
Mengapa? ada beberapa alasannya
# Komentar orang sesaat
Orang sebenarnya hanya melihat pada saat acara saja. Mereka tak pernah tahu perjuangan yang sudah dilakukan di belakang layar. begitu pula dengan komentar yang dilontarkan orang lain, hanya saat itu saja dan kemudian akan terlupakan.
#Siapa yang menanggung hutang?
Bukan orang lain tapi yang menikah atau orang tuanya. Orang lain tidak akan pernah ikut memikirkan utang-utang yang menumpuk setelah usai acara pernikahan.
#Hidup kedepan masih panjang
Ini yang jauh lebih penting dari semuanya.Hidup kedepan masih sangat panjang dan kebutuhan hidup masih banyak list-nya. Kalau uang dipakai buat membayar sejumlah hutang, apalagi hutang pernikahan, bisa dibayangkan kondisi keuangan kedepannya akan berpotensi mengalami gangguan.
#Bisa memicu pertengkaran keluarga
Masa awal pernikahan adalah masa adaptasi. Bahkan sampai 2-3 tahun menikah bisa dikatakan sebagai masa adaptasi bagi pasangan. Nah bila belum apa-apa sudah menanggung hutang dengan jumlah yang tak sedikit,lagi-lagi berpotensi memicu pertengkaran dan kondisi tidak sehat dalam rumah tangga.
Demikian beberapa alasan logis mengapa hutang harus dihindari untuk mewujudkan pernikahan megah.Sekali lagi, pilihan tentu pada masing-masing orang dan tentu setiap orang memiliki alasan kuat ketika memutuskan berhutang atau tidaknya.
Semoga bermanfaat.