Kepolisian dituduh menangkan calon kepala daerah tertentu, perubahan seperti apa yang dianggap terbaik untuk Polri?
Istilah “partai coklat” mencuat usai Pilkada 2024, merujuk pada tuduhan bahwa anggota korps Bhayangkara terlibat memenangkan kandidat tertentu. Tudingan yang telah dibantah ini diutarakan politikus PDIP, yang mengusulkan agar Polri tidak lagi ditempatkan di bawah presiden, melainkan masuk struktur kementerian.
Wacana ini menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang menolak usulan ini berpendapat, Polri di bawah presiden sudah tepat. Sebaliknya mereka yang pro menuding kepolisian rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Usulan mendudukkan Polri di bawah kementerian atau digabung kembali ke TNI bukan perdebatan baru.
Perdebatan tersebut setidaknya sudah mulai dibicarakan pada 2011, usai kasus kekerasan polisi di Mesuji dan Bima di NTB, saat Jokowi mengumbar janji kampanye 2014, sampai ketika patroli polisi mengelilingi gedung Kejaksaan Agung.
Pengamat menilai mengubah kedudukan Polri sudah mendesak, karena institusi ini “sangat strategis untuk bisa dimanfaatkan, mempengaruhi politik dalam negeri”.
Kenapa wacana mengubah kedudukan Polri di bawah kementerian berkali-kali mengemuka?
Apa itu Partai Coklat dan dari mana asal usulnya?
Sejauh ini tidak ada satu pun yang mengeklaim pertama kali menyebut istilah Partai Coklat alias Parcok.
Namun, istilah ini terekam keluar dari mulut Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto dalam sebuah wawancara yang diunggah pada 22 November lalu. Video ini telah ditonton 2,5 juta kali, per Senin (02/12).
Dalam salah satu pernyataannya, Hasto menuding aparat penegak hukum berada di bawah kendali kekuasaan. Menurutnya, kepolisian bisa digunakan untuk menekan orang-orang tertentu, demi kepentingan-kepentingan politik.
Hasto menuduh, Partai Coklat “bermain” dalam Pilkada.
“Kader-kader PDI Perjuangan begitu banyak tekanan. Di Sulawesi Utara Partai Coklat yang bermain, sama dengan di Jakarta, di Jawa Timur, di Sumatra Utara,” kata Hasto menuduh.
“Partai Coklat super powerful (sangat kuat),” kata Hasto dalam saluran YouTube Akbar Faizal Uncensored.
Tiga hari usai video Hasto itu muncul di media sosial, istilah Partai Coklat disinggung dalam rapat dengar pendapat di komisi I DPR. Saat itu, politikus NasDem, Yoyok Riyo Sudibyo, menyinggung netralitas aparat penegak hukum.
“Di media ini yang lagi kenceng-kencengnya, katanya ada partai baru, ‘partai cokelat’ tidak mungkin kalau kita enggak tahu,” kata Yoyok.
Hasto kembali kembali mengumbar tuduhan yang sama pada akhir November. Dia menuduh, penjabat kepala daerah dan kepolisian merupakan bagian dari sisi gelap demokrasi di Pilkada 2024 di Jawa Tengah, Sumatra Utara, Banten, dan Sulawesi Utara.
Di setiap provinsi itu, kandidat yang diusung PDIP kalah.
Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus, mengusulkan agar Polri tidak lagi bertanggung jawab langsung dengan presiden.
Dia mengaitkan usulan ini dengan tuduhan intervensi Polri dalam Pilkada 2024. Namun, PDIP tidak menunjukkan bukti yang mendasari berbagai tuduhan mereka itu kepada wartawan.
“Kami sedang melakukan kajian untuk mendorong Polri kembali berada di bawah Panglima TNI atau Kemendagri. Kepolisian sebaiknya fokus pada tugas pengamanan masyarakat, bukan hal-hal lain di luar itu,” kata Deddy.
Joko Widodo merespons agar tuduhan keterlibatan polisi dalam pilkada dibuktikan melalui mekanisme ke Bawaslu atau permohonan sengketa di Mahkamah Konstitusi.
“Buktikan saja. Jangan hanya tuduhan-tuduhan. Kalau ada dilaporkan saja ke Bawaslu. Kan ada mekanismenya. Atau dibawa ke MK, kan ada mekanismenya,” tuturnya.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman dari Fraksi Gerindra menyebut tuduhan keterlibatan Parcok dalam Pilkada sebagai hoaks.
BBC News Indonesia meminta konfirmasi tuduhan ini ke kepolisian namun belum mendapatkan respons.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebelumnya berkata akan menindak anggotanya yang melanggar netralitas.
Dalam rapat di Komisi III DPR, dia membuat klaim telah menindak beberapa personelnya karena tidak netral dalam pilkada.
“Saat ini ada dua personel dari Sulut dan dua personel dari Sulsel (yang sudah ditindak),” katanya, Senin (11/11).
Listyo juga meminta agar dugaan pelanggaran polisi dilaporkan ke Propam, Bawaslu, atau lembaga berwenang lainnya.
Bagaimana nasib usulan polisi di bawah kementerian atau TNI?
Disinyalir kandas.
Hampir sebagian besar fraksi di DPR yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) memberi sinyal menolak usulan PDIP agar Polri berada di bawah TNI atau kementerian, seperti dikutip dari Detik.
Alasannya beragam. Mulai dari menguras banyak waktu, mengkhianati amanah reformasi, Kemendagri sudah banyak kerjaan, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri masih tinggi, usulannya masih mentah, dan posisi Polri di bawah presiden agar lebih mudah dikontrol.
“Usulan Deddy Sitorus soal Polri dikembalikan di bawah komando TNI atau Kemendagri benar-benar bentuk pembodohan publik. Usul tersebut jelas ahistoris karena sejarah membuktikan Polri jauh lebih baik setelah dikendalikan langsung oleh Presiden seperti saat ini,” kata Habiburokhman.
Ia juga menyinggung klaim survei mengenai tingkat kepercayaan publik yang masih tinggi terhadap Polri.
Litbang Kompas pernah merilis survei pada Juni 2024 yang menempatkan citra baik polisi (73,1%), nomor dua setelah TNI (89,8%).
Lembaga ini mencatat citra polisi di mata masyarakat lebih baik ketimbang lembaga atau instansi lain yaitu DPD (68,6%), Kejaksaan (68,1%), Mahkamah Agung (64,8%), DPR (62,6%), MK (61,4%), dan KPK (56,1%).
Di sisi lain, Anggota DPR dari PDIP, I Wayan Sudirta yang dihubungi BBC News Indonesia, enggan berkomentar. “Maaf, saya belum ada komentar,” katanya dalam pesan tertulis.
Usulan kontroversial yang timbul-tenggelam
BBC News Indonesia menggali secara sederhana usulan Polri di bawah kementerian yang sempat muncul dalam satu dekade terakhir di siaran media daring.
- 2011
Wacana posisi polri agar dikembalikan di bawah Kemendagri saat itu muncul dari kalangan politikus di Senayan dan mahasiswa.
Usulan ini terkait dengan dugaan kekerasan oleh anggota Polri dalam kasus yang menyedot perhatian publik saat itu yaitu Mesuji di Lampung dan Sumatra Selatan, serta Bima di Nusa Tenggara Barat. Keduanya terkait dengan konflik agraria. Korban tewas di antaranya karena ditembak dari jarak dekat.
Namun, usulan ini tak terdengar sampai terjadi peralihan kekuasaan dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo.
- 2014
Penataan ulang kewenangan Polri dan penempatannya yang berada di bawah kementerian, menjadi janji kampanye Jokowi-Jusuf Kalla dalam Pilpres 2014. Setidaknya hal ini yang dilampirkan dalam dokumen pendaftaran di KPU.
Namun, setelah menang dan dilantik menjadi presiden, Jokowi mengatakan: “Saya sampai detik ini tidak berpikir ke arah itu (Polri di bawah Kementerian),” kata Jokowi seperti dikutip dari Detik.
Wacana mendudukkan Polri di bawah Kemendagri juga dilontarkan oleh Basuki Tjahaja Purnama yang saat itu sebagai penjabat Gubernur DKI Jakarta, menggantikan Jokowi. Menurutnya, dengan Polri di bawah Kemendagri akan lebih mudah bekerja sama dengan pemerintah daerah.
Menurutnya, kewenangan Polri juga terlampau besar. Satu-satunya yang dapat mengontrol Polri hanyalah lembaga kepresidenan.
“Saya tidak bisa bantu ibu kalau urusannya sama polisi. Saya tidak bisa mengatur polisi karena polisi itu paling hebat di Indonesia, sebab dia hanya di bawah presiden,” kata Ahok.
Ahok menyampaikan hal ini dalam konteks menerima keluhan sekelompok ibu-ibu karena kasus investasi bodong.
Di tahun yang sama, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga membandingkan Polri dengan TNI. TNI berada di bawah Kementerian Pertahanan, kata dia, cepat atau lambat Polri akan mengikutinya.
“Kalau TNI kan sudah ada (di bawah) Kemenhan. Saya bilang kemarin itu, lambat atau cepat, polisi nanti akan di bawah kementerian juga karena di seluruh dunia sudah begitu,” kata Ryamizard di Istana Bogor, Jumat (28/11/2014).
Dalam responsnya, Kepala Kepolisian Indonesia, Sutarman menolak institusinya di bawah Kemendagri. Menurutnya, polri akan lebih rawan ditarik ke pusaran politik.
- 2015
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengusulkan agar Polri berada di bawah kementerian menyusul dugaan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK yaitu Bambang Widjajanto, Adnan Pandu Praja dan Abraham Samad.
Menurut PBHI posisi Polri yang tak dibenahi saat itu telah menimbulkan konflik “Cicak vs Buaya“ yang pernah terjadi di era SBY. Selain itu, kasus ini juga memberatkan presiden selaku pihak yang dipertanggungjawabkan oleh Polri.
“Sehingga pendelegasian wewenang kepada menterinya dapat mengurangi beban di pundak Presiden. Ketiga, banyak contoh di berbagai negara yang menempatkan kepolisian di bawah sebuah departemen Kementerian. Contoh ini juga dapat mencegah para pejabat kepolisian terlibat atau diseret ke dalam urusan atau kepentingan politik suatu partai,” kata pengurus PBHI, Suryadi Radjab.
Di tahun yang sama, Kementerian Pertahanan yang dipimpin Ryamizard Ryacudu kembali menyuarakan usulan mendudukkan Polri di bawah kementerian.
- 2021–2022
Di penghujung 2021, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Agus Widjojo mengusulkan agar dibentuk Dewan Keamanan Nasional dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri.
Kementerian Keamanan Dalam Negeri ini nantinya akan menaungi Polri. Ini merupakan hasil kajian internal di Lemhanas, kata Agus.
Menurutnya, usulan ini agar beban presiden berkurang, dan bisa fokus mengurusi persoalan kebangsaan lainnya.
Usulan ini sempat membetot perhatian publik, politisi DPR dan pejabat negara saat itu.
Dalam responsnya, Polri melalui Analis Kebijakan Madya Penmas Divisi Humas Polri, Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan, “Polri dalam hal ini masih pada koridor amanah Undang-Undang, sebagaimana amanah Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini tentang Kepolisian Republik Indonesia.”
Baca Juga:
- Praktik sogokan di kepolisian disebut ‘hampir semua sektor dengan pola berbeda’ – Kasus penjual bubur ayam ‘setor’ uang ratusan juta dan ‘ditipu’ oknum polisi
- Setidaknya 15 anggota TNI dan Polri dipecat ‘karena homoseksual’, organisasi HAM: ‘Pemecatan itu tidak adil dan harus dibatalkan’
- Pro kontra Komjen Iriawan gubernur sementara Jabar, kebijaksanaan pemerintah diuji
Di tahun yang sama, Dosen Universitas Muhammadiyah, A. Junaedi Karso membuat tulisan yang menentang wacana Polri di bawah kementerian. Menurutnya, “Kalau keberadaan polisi dibawah kementerian akan menjadi alat politik penguasa, sehingga akan timbul raja-raja kecil di pusat-daerah.”
Beberapa bulan setelah polemik ini muncul, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Mahfud MD mengaku sudah mengetahui wacana ini sejak lama. “Ranjau-ranjaunya banyak,“ katanya.
Wacana ini kembali kandas di DPR. Politisi yang duduk di kursi wakil rakyat meminta agar wacana ini dikaji lebih mendalam.
Sebagian dari mereka juga mengkhawatirkan jika posisi polri di bawah kementerian akan membahayakan kehidupan politik dan demokrasi. Apalagi kementerian tersebut dipimpin menteri dari partai politik.
- 2023
Bagaimanapun, Prabowo Subianto tak menginginkan kebijakan menempatkan Polri di bawah kementerian. Hal ini ia ungkapkan bahkan sebelum Pilpres 2024 berlangsung.
“Presiden kan lebih gampang kalau dia kasih instruksi dia pegang full,” kata Prabowo seperti dikutip Detik.
Namun, terjadi anomali, karena setelah menjabat presiden, Prabowo mengeluarkan Perpres No.139/2024 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Merah Putih Periode 2024-2029.
Dalam Pasal 24 disebutkan, Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan bertugas untuk mengkoordinasikan sejumlah instansi termasuk Polri. Di sisi lain, Undang Undang No.2/2002 tentang Kepolisian Negara RI masih mempertahankan instansi ini berada di bawah presiden.
BBC News Indonesia berupaya menanyakan hal ini ke Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi. Namun, sampai berita ini diturunkan belum ada komentar darinya.
- Mei 2024
Di bulan ini, usulan agar Polri berada di bawah kementerian juga mengemuka setelah polemik penguntitan jaksa muda bidang pidana khusus di Kejaksaan Agung.
Di bulan yang sama, pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie mengunggah wacana agar Polri berada di bawah Kementerian Pertahanan. Hal ini ia sampaikan dalam konteks Hari Kebangkitan Nasional.
- November 2024
PDIP mengusulkan Polri di bawah kementerian atau TNI. Hal ini menyusul tuduhan mereka lantaran “Partai Coklat” mengintervensi Pilkada 2024. Hal yang dibantah oleh politisi KIM di DPR.
‘Polri tak bisa mengawasi dirinya sendiri‘
Dari sejarahnya, kedudukan Polri di Indonesia selalu berubah-ubah. Misalnya pada awal kemerdekaan, Polri berada dalam lingkungan Kemendagri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab soal administrasi, sedangkan operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung (1945-1946).
Lalu Polri juga berada di bawah perdana menteri/presiden periode 1946-1959. Di periode berikutnya (1959-1061), kedudukan Polri berada di bawah departemen tersendiri atau kementerian kepolisian.
Dan, selama periode orde baru (1961-1999), kedudukan Polri bersama ABRI di bawah menteri pertahanan dan keamanan. Di era reformasi tepatnya 2002, kedudukan Polri dikembalikan di bawah presiden melalui UU Polri.
BBC News Indonesia kembali berbincang dengan Agus Widjojo, Gubernur Lemhanas 2016-2022.
Menurutnya, usulan mendudukan posisi Polri di bawah kementerian “masih relevan”. Kata dia, cara ini bisa mengurangi beban kerja presiden.
“Bayangkan, apakah memang betul presiden itu punya waktu, punya sisa pemikiran untuk memikirkan polisi pada tingkat operasional… Jangan ganggu Presiden untuk hal-hal semacam itu. Karena tugas-tugas operasional, fungsi pemerintahan sudah terbagi habis untuk portofolio-portofolio yang dibikin oleh menteri,” katanya.
Alasan lainnya, kata Agus, dengan kementerian khusus yang membawahi Polri, akan terjadi “check and balance” dalam operasional.
“Justru harus ada lembaga politik yang mengawasi sepak terjang dan praktek operasional dari Polri. Dan inilah yang dimaksud nantinya pada tingkat menteri. Polri tidak bisa mengawasi dirinya sendiri,” katanya yang berpendapat saat ini DPR dan Kompolnas tidak cukup menjadi pengawas Polri.
Selain itu, tata kelola anggaran juga bisa lebih terawasi oleh kementerian atau lembaga tertentu, kata Agus yang menolak Polri berada di bawah TNI karena itu “kesalahan besar”.
Senada dengan Agus, Pengamat Kepolisian dari Institute for Security Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminta juga menilai pengawasan dan kontrol DPR serta Kompolnas terhadap kepolisian “sangat lemah”.
Misalnya dalam polemik dua jenderal polisi yang menjadi penjabat gubernur dalam Pilkada 2018, tapi tidak banyak dipersoalkan.
“Ada pelanggaran undang-undang yang jelas tampak di mata, terkait dengan Pasal 28 ayat 3 Undang Undang (No.2) tahun 2002, bahwa personal kepolisian itu dilarang berdinas di luar struktur, kecuali mengundurkan diri atau pensiun dini,” kata Bambang.
Pada prinsipnya, kata Bambang, keberadaan Polri selama era reformasi “sangat strategis untuk bisa dimanfaatkan, mempengaruhi politik dalam negeri”.
“Potensi untuk kepolisian digunakan sebagai alat politik kekuasaan presiden, itu sangat besar,” katanya. Oleh karena itu, ia juga mendukung adanya perubahan kedudukan Polri “untuk membatasi peran politik-kepolisian”.
“Makanya memang harus ada upaya untuk membatasi potensi kepolisian untuk digunakan sebagai alat kekuasaan ini, seperti itu. Salah satunya memang menempatkan kepolisian di bawah kementerian,” katanya.
Dari aspek peran Porli memiliki dua fungsi yang berbeda yaitu pelayanan (eksekutif) dan penegakan hukum (yudikatif). Dengan demikian, masing-masing fungsi ini bisa ditempatkan di bawah kementerian tertentu. “Makanya memang harus ada kajian terkait itu,” kata Bambang.
Sejauh ini ia melihat kecil kemungkinan ada kemauan politik dari legislatif maupun eksekutif untuk memposisikan Polri di bawah kementerian. Selain komposisi PDIP yang kecil di DPR, “Tentu di internal kepolisian akan mendapatkan resistensi,” katanya.
Selain itu, kalangan politisi juga enggan mengubah kedudukan Polri karena masih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan kekuasaan.
Namun, ia khawatir jika kedudukan Polri tetap dipertahankan seperti ini, maka “Kepolisian malah menjadi alat politik, menggantikan ABRI di order baru”.
Di sisi lain, kalangan aktivis HAM baru-baru ini juga menyoroti tindakan berlebihan anggota polisi tertentu seperti tuduhan pembunuhan di luar proses hukum. Amensty International Indonesia, misalnya, menyoroti bagaimana prosedur penggunaan senjata api oleh polisi yang memakan korban jiwa dalam setahun terakhir.
- Revisi UU Polri: ‘Perubahan aturan seharusnya fokus hentikan munculnya korban salah tangkap atau kekerasan polisi’
- Repetisi ‘brutalitas polisi’ dalam demonstrasi revisi UU Pilkada, mengapa terus berulang?
- Alat sadap ‘Pegasus’ buatan Israel diduga digunakan polisi Indonesia, ICW desak Polri buka data – mengapa aktivis khawatir?