Miskonsepsi tentang Agile: IT Vs. Non-IT
Sebagai seseorang yang telah cukup lama berkecimpung dalam dunia Agile, saya sering menemui anggapan yang keliru bahwa Agile adalah pendekatan yang hanya cocok untuk dunia teknologi informasi (IT). Banyak orang berpikir bahwa Agile eksklusif digunakan oleh para pengembang perangkat lunak dan bahwa metode ini tidak relevan di luar dunia IT.
Metode Agile sejatinya adalah sebuah pendekatan manajemen proyek yang menekankan adaptabilitas, kolaborasi, dan iterasi berkelanjutan untuk menghasilkan produk atau layanan yang memenuhi kebutuhan pelanggan dengan lebih baik.
Agile digunakan untuk memungkinkan tim bekerja lebih efisien dengan menyederhanakan proses, meningkatkan komunikasi, dan fokus pada peningkatan kualitas secara iteratif, yang tercermin tidak hanya dalam tools yang digunakan, namun juga pada pola pikir dan ways of working.
Alhasil, miskonsepsi Agile yang hanya relevan di dunia IT perlu diluruskan. Faktanya, Agile memiliki akar yang jauh lebih luas dan mendalam daripada yang mungkin diketahui oleh sebagian besar orang. Asal-usulnya berasal dari Lean Manufacturing, sebuah pendekatan manajemen produksi yang dibawa oleh Toyota di Jepang.
Lean sendiri adalah sebuah pendekatan manajemen yang bertujuan untuk memaksimalkan nilai bagi pelanggan dengan meminimalkan pemborosan, yang selanjutnya menekankan pada prinsip-prinsip seperti menghargai manusia, mengoptimalkan alur kerja, dan perbaikan berkelanjutan (Kaizen).
Dalam konteks ini, Lean bukan hanya metode produksi, tetapi juga sebuah filosofi yang menekankan pentingnya menciptakan nilai dan menghilangkan aktivitas yang tidak memberikan kontribusi langsung terhadap nilai akhir bagi pelanggan.
Dari sini kita dapat melihat adanya ikatan antara filosofi Agile dan Lean. Ikatan kedua metode ini berawal dari pendekatan Lean yang dikembangkan oleh Toyota Production System (TPS) pada pertengahan abad ke-20. TPS memfokuskan pada efisiensi, pengurangan limbah, dan penghargaan terhadap orang-orang yang terlibat dalam proses produksi. Pendekatan ini sangat selaras dengan prinsip-prinsip Agile yang menekankan kolaborasi, peningkatan berkelanjutan, dan fleksibilitas dalam menghadapi perubahan.
Filosofi ini mengedepankan pemberdayaan tim untuk bekerja secara mandiri, memberikan tanggung jawab penuh, serta memastikan bahwa setiap individu di dalam tim memiliki kontribusi penting untuk proses. Pendekatan inilah yang kemudian menjadi inspirasi bagi pengembangan Agile yang saat ini kita kenal di berbagai sektor.
Dalam pengalaman saya, Agile dan Lean adalah dua saudara yang tidak bisa dipisahkan. Toyota mengajarkan kita pentingnya mengurangi pemborosan dalam produksi, menekankan kolaborasi, dan selalu berfokus pada peningkatan berkelanjutan.
Prinsip-prinsip ini sangat selaras dengan pendekatan Agile, yang mengutamakan iterasi, adaptasi, dan respon cepat terhadap perubahan. Banyak perusahaan, terutama di luar IT, yang masih belum memahami bahwa pendekatan Lean yang dibawa oleh Toyota sebenarnya adalah cikal bakal Agile.
Saya sering mendapati perusahaan di bidang non-IT yang menganggap Agile tidak relevan dengan kebutuhan mereka. Namun, ketika saya mulai memperkenalkan prinsip Lean dan Agile dalam konteks mereka, banyak yang akhirnya menyadari bahwa ini bukan hanya tentang mengembangkan perangkat lunak. Akan tetapi lebih tentang bagaimana mengelola proses dan tim dengan lebih efektif.
Misalnya, dalam proyek perbaikan operasional di sebuah pabrik, saya menerapkan pendekatan Agile untuk membentuk tim lintas departemen, dengan tujuan mempercepat alur produksi dan mengidentifikasi titik-titik bottleneck. Dengan menggunakan prinsip iterasi dari Agile, tim ini mampu mengembangkan solusi dengan cepat dan melakukan penyesuaian di setiap tahap, serupa dengan konsep Kaizen dalam Lean Manufacturing.
Agile Untuk Semua Miskonsepsi tentang Agile yang hanya diperuntukkan bagi orang IT mungkin juga terjadi karena Agile Manifesto yang muncul pada tahun 2001. Pendekatan ini memang disusun oleh sekelompok profesional di bidang perangkat lunak (IT) untuk mengatasi tantangan yang mereka hadapi dalam pengembangan perangkat lunak.
Namun, perlu diingat bahwa prinsip-prinsip dasar Agile, seperti kolaborasi, fokus pada hasil nyata, dan adaptabilitas, sebenarnya dapat diterapkan di berbagai sektor lain, bukan hanya IT. Misalnya, prinsip “individuals and interactions over processes and tools” serta “responding to change over following a plan” adalah konsep yang dapat membantu organisasi di berbagai bidang untuk beradaptasi dengan dinamika pasar yang selalu berubah.
Sebagai seorang Agile Coach, saya sering mengajak tim non-IT untuk memahami bahwa Agile adalah tentang cara berpikir yang lebih fleksibel, bukan sekadar serangkaian proses atau alat yang khusus untuk teknologi. Filosofi Agile dapat membantu tim pemasaran merencanakan dan menyesuaikan strategi mereka sesuai umpan balik pasar; dapat membantu tim operasional meningkatkan alur kerja dengan lebih efisien; atau bahkan dapat diterapkan dalam pendidikan, di mana guru dan siswa bekerja bersama untuk terus meningkatkan proses belajar.
Contoh ini menunjukkan bahwa esensi dari Agile, yakni kolaborasi, iterasi, dan adaptabilitas, sangat relevan dan bahkan dibutuhkan di banyak sektor di luar IT. Ketika Toyota menerapkan Lean Manufacturing, mereka tidak hanya menciptakan sistem produksi yang efisien, tetapi juga membangun budaya pemberdayaan dan kolaborasi.
Begitu juga dengan Agile; ini bukan sekadar tentang mengadopsi framework seperti Scrum atau Kanban, melainkan lebih kepada membangun pola pikir (mindset) yang mengedepankan kerjasama tim, pengurangan “limbah” (eliminate waste), dan peningkatan terus-menerus. Oleh karena itu, pemahaman bahwa Agile hanya milik dunia IT merupakan penyederhanaan yang tidak adil terhadap nilai-nilai yang dibawa oleh Agile itu sendiri.
Dari pengalaman saya, ketika tim non-IT berhasil mengadopsi prinsip Agile, hasilnya sangat luar biasa. Saya pernah bekerja dengan tim SDM di sebuah perusahaan besar, di mana kami mengadopsi prinsip Agile untuk memperbaiki proses rekrutmen. Mereka berhasil mengidentifikasi, bahwa proses kerjasama tim adalah hal yang paling utama di dalam kegiatan bisnis mereka, sehingga mereka mengubah proses wawancara yang tadinya dilakukan oleh para manager menjadi dilakukan oleh para rekan sejawat sesama tim.
Alhasil, proses rekrutmen menjadi lebih efisien dan kandidat mendapatkan pengalaman yang lebih baik. Dengan memahami akar Agile yang berasal dari Lean Manufacturing, kita dapat melihat bahwa Agile adalah tentang memberdayakan tim dan berfokus pada peningkatan berkelanjutan. Sebuah prinsip yang tidak terbatas pada dunia teknologi informasi.
Penting bagi kita untuk mengubah persepsi ini dan mulai melihat Agile sebagai pendekatan universal yang dapat membantu berbagai jenis organisasi untuk beradaptasi dan berkembang dalam lingkungan yang selalu berubah.
Dengan memahami sejarah dan filosofi Agile yang sebenarnya, kita semua, terlepas dari bidang pekerjaan kita, bisa mulai mengadopsi pola pikir yang lebih kolaboratif, fleksibel, dan adaptif. Karena pada akhirnya, seperti yang diajarkan oleh Toyota, sukses bukan hanya soal teknologi, tapi soal manusia dan cara kita bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama.
Penulis adalah seorang pakar di bidang Business Process Reengineering, Agile Coach, serta Scrum Master