Memutus Rantai Generasi Sandwich, BPJS Ketenagakerjaan Bisa Jadi Solusi
KOMPAS.com – Lintang, ibu dua anak di Yogyakarta, rela tidak healing atau bersenang-senang demi menghidupi keluarganya.
Pegawai swasta berusia 29 tahun tersebut harus membagi pendapatannya untuk membiayai keperluan rumah yang juga dihuni oleh kedua orangtuanya, bersama dia, kedua anaknya yang masih kecil, dan suaminya.
“Soalnya kan pemasukannya itu tetap, misal pun naik pun kan enggak terlalu signifikan gitu, cuman kadang-kadang ada pengeluaran yang tidak terduga, misalkan kaya ada undangan, ada acara sekolah,” kata Lintang mengungkapkan kesulitan mengatur finansialnya, ketika dihubungi Kompas.com pada Kamis (14/11/2024) pagi.
Baca juga: Peran Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk Menekan Jumlah Generasi Sandwich di Indonesia
Ia dan suaminya sama-sama bekerja, tetapi kondisi keluarga yang sedemikian rupa harus membuatnya pintar-pintar mengelola keuangan.
Skala prioritas akhirnya dibuat. Lintang selalu mendahulukan pengeluaran rutin, seperti cicilan, biaya sekolah anak, tagihan listrik, dan Wi-Fi.
“Terus nanti kalau misal cuma sisa dikit doang ya kita enggak ke mana-mana gitu. Misal kaya njajan-njajan itu dikurangin,” lanjutnya.
Kondisi tak jauh berbeda juga dialami GH, pegawai swasta berusia 30 tahun di Malang yang belum menikah.
Hidup bersama ibunya yang sudah tidak bekerja, GH harus memutar otak berkali-kali untuk membeli barang-barang keinginannya demi memenuhi kebutuhan keluarga terlebih dahulu.
“Kalau misalnya ada pengeluaran yang misalkan berdasarkan keinginan itu mikirnya panjang banget. Kalau untuk pengeluaran untuk kebutuhan yang tidak terencana itu juga mikirnya panjang,” ucap GH kepada Kompas.com, Kamis (14/11/2024) malam.
“Jadi sulitnya adalah ketika aku butuh sesuatu barang atau melakukan sesuatu yang membutuhkan uang, itu beratnya di situ,” lanjutnya.
Kondisi-kondisi yang dialami Lintang dan GH tersebut dikenal sebagai fenomena generasi sandwich (roti lapis), yaitu orang-orang yang harus membiayai anggota keluarga di atas dan atau di bawah generasinya.
Baca juga: 5 Artis yang Jadi Sandwich Generation, Dara The Virgin hingga Enzy
5 jenis generasi sandwich
Perencana keuangan Erlina Juwita menerangkan, ada lima jenis generasi sandwich berdasarkan anggota keluarga siapa saja yang harus dibiayainya.
1. Open-faced sandwich
Jenis generasi sandwich pertama ini adalah orang yang sudah bekerja dan belum menikah, tetapi harus membiayai orangtua, atau bahkan adik/kakak kandung.
2. Extended open-faced sandwich
Orang yang belum menikah, menanggung orangtua, kakak, adik, tetapi belum bekerja.
3. Traditional sandwich
Orang yang sudah menikah dan bekerja, tetapi tinggal bersama di satu rumah dengan orangtuanya, ada anaknya juga.
“Jadi ada tiga generasi dalam satu rumah,” jelas Erlina.
4. Extended sandwich
Orang yang sudah bekerja dan menanggung biaya hidup orangtua, adik, kakak, serta anaknya sendiri.
5. Club sandwich
Orang yang membiayai orangtua, kakek, nenek, anak, dan pasangannya.
“Jadi anggotanya sangat banyak. Dia menanggung dua generasi di atasnya. orangtua dan kakek-nenek,” urai Erlina.
Founder Cerdas Keuangan tersebut menambahkan, oleh karena itu generasi sandwich sangat riskan mengalami masalah cash flow atau arus kas.
“Gajinya pas-pasan, dia belum menikah, penghasilan belum ada yang membantu ya. Kalau kita nikah kan kita bisa kerja sama dengan pasangan ya,” terangnya.
Erlina lebih lanjut menjelaskan, kesulitan kedua yang dialami generasi sandwich adalah jika dia mempunyai utang, misalnya pinjaman online (pinjol).
“Let’s say kalau kartu kredit masih oke-lah ya, bunganya itu masih di bawah pinjol, tapi kalau sudah terlilit sama pinjol itu mesti ada yang bantu itu.”
Baca juga: Solusi Jadi Generasi Sandwich, Tak Perlu Kabur seperti di Film “Home Sweet Loan”
Memutus rantai generasi sandwich
Lintang dan GH mempunyai persoalan yang hampir mirip dalam hal keuangan, tetapi perlindungan sosial yang mereka miliki tidak sama.
GH belum memiliki BPJS Ketenagakerjaan, sedangkan Lintang sudah.
Menurut Lintang, BPJS Ketenagakerjaan membuatnya merasa lebih aman karena bisa meminimalisir anak-anaknya menjadi generasi sandwich seperti dirinya.
“Akunya enggak merasa bayarnya, terus nanti ada tabungan yang bisa dicairkan meski enggak bisa langsung. Menurutku lebih tenang kalau ada BPJS Ketenagakerjaan, soalnya itu haknya karyawan juga kan,” ujar Lintang.
Sementara itu, GH belum memiliki BPJS Ketenagakerjaan karena mengaku tak mendapatkan sosialisasi, sehingga ia tidak tahu bahwa pembayarannya bisa dilakukan secara mandiri.
“Dari kantor tidak ada program mendaftarkan BPJS Ketenagakerjaan, mungkin karena bukan perusahaan besar,” ungkapnya.
Namun, ia tertarik mendaftarkan diri karena program Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan bisa diklaim setelah setelah sudah tidak bekerja lagi.
“Jadi ada harapannya aku mendapatkan manfaat tabungan itu, yang mana aku tidak tahu berapa persennya aku bisa mendapatkan dari klaim itu tadi, tapi kan minimal aku memiliki biaya yang tidak aku utak-atik atau tidak akan aku bisa pakai selama jangka waktu yang ditentukan,” imbuhnya.
“Jadi nantinya aku akan mendapatkan uang itu untuk biaya pensiun atau kebutuhan nantinya.”
Deputi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan Oni Marbun menjelaskan, seluruh program BPJS Ketenagakerjaan dirancang untuk melindungi seluruh pekerja secara paripurna di semua sektor, baik pekerja formal maupun informal.
“Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) berperan sebagai jaring pengaman dari risiko kerja yang mungkin saja terjadi, sehingga keluarga pekerja yang terdampak tidak jatuh ke dalam jurang kemiskinan dan tidak menciptakan generasi sandwich yang baru,” terangnya kepada Kompas.com, Kamis (14/11/2024) sore.
“Program Jaminan Hari Tua (JHT) memberikan akumulasi dana yang dapat ditarik saat usia tua atau berhenti bekerja yang berguna untuk mengatasi berbagai keperluan ekonomi, sedangkan Jaminan Pensiun memberikan penghasilan bulanan bagi peserta yang telah pensiun, sehingga mereka dapat tetap memiliki sumber pendapatan tanpa bergantung pada anak-anak mereka dan mencegah adanya generasi sandwich yang baru,” lanjut Oni.
BPJS Ketenagakerjaan pun bisa didaftarkan secara mandiri jika calon peserta merupakan pekerja Bukan Penerima Upah (BPU).
Dikutip dari situs web bpjsketenagakerjaan.go.id, berikut adalah cara pendaftaran melalui kanal fisik dan kanal non-fisik yang telah disediakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
1. Kanal fisik
a. Kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan
b. Kantor SPO (Service Point Office) Bank kerja sama
c. PPOB (Payment Point Online Banking)/Aggregator
d. Perisai (Mitra BPJS Ketenagakerjaan)
e. Wadah, organisasi, atau asosiasi yang dibentuk oleh peserta yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja.
2. Kanal non-fisik
a. Pendaftaran Online Mandiri (POM) melalui website BPJS Ketenagakerjaan (bpjsketenagakerjaan.go.id/bpu)
b Cermati.com (https://www.cermati.com/bpjs-ketenagakerjaan)
Dengan membawa dokumen pendukung berupa fotokopi E-KTP. Sebagai informasi, pekerja yang dapat mendaftar sebagai peserta Bukan Penerima Upah adalah pekerja yang belum mencapai usia 60 (enam puluh) tahun.
Adapun untuk sosialisasi, BPJS Ketenagakerjaan memiliki kanal-kanal penyebaran informasi seperti media sosial (Instagram, TikTok, X, Facebook, dan situs web).
“Dapat diakses oleh seluruh pekerja dari mana pun mereka berada, khususnya sandwidch generation yang kebanyakan berasal dari generasi milenial ke atas yang sudah familiar dengan sosial media,” lanjut Oni.
Adapun menurut Erlina, BPJS Ketenagakerjaan menurutnya sudah sangat mencukupi jaminan sosial bagi generasi sandwich.
“Cuma berangkat lagi ke masalah cash flow-nya, apakah nanti cash flow-nya cukup untuk membayar iuran-iuran tersebut,” kata Erlina.
Besaran iuran BPJS Ketenagakerjaan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JKM dan JKK, yaitu iuran JKK adalah 1 persen dari penghasilan, nominalnya mulai Rp 10.000 sampai Rp 207.000.
Untuk JKM iurannya sekitar Rp 6.800 per bulan, lalu untuk JHT adalah 2 persen dari penghasilan, nominalnya Rp 20.000–Rp 414.00.
Dengan demikian, iuran BPJS Ketenagakerjaan mandiri paling sedikit adalah Rp 36.800 per bulan.
“Ini kan istilahnya kita menabung untuk masa depan sebenarnya kan,” pungkas Erlina.