Informasi Terpercaya Masa Kini

Kompasianival 2024, Gadis Kretek di Antara Buku dan Film

0 1

Serial Gadis Kretek baru saja membawa pulang tiga piala terpuji Festival Film Bandung (FFB) 2024. Pada gelaran FFB ke-37 ini, Gadis Kretek berhasil meraih penghargaan Serial Web Terpuji, Sutradara Terpuji (Ifa Isfansyah, Kamila Andini), dan Pemeran Pembantu Pria Terpuji (Arya Saloka).

Sebelumnya, serial ini pun banyak menuai penghargaan dan respons positif dari penonton Indonesia hingga internasional. Termasuk memenangkan Best Mini Series-International Competition Program dalam Seoul International Drama Awards 2024.

Serial ini diadaptasi dari novel karya Ratih Kumala berjudul sama yang terbit pada tahun 2012. Dan di Kompasianival 2024 yang diselenggarakan pada 2 November 2024 di Chillax Sudirman, Jakarta, Ratih Kumala berbagi kiat proses menulis kreatif, termasuk soal belakang layar Gadis Kretek.

Meracik saus fiksi ala Ratih Kumala

“Saya bukanlah penulis yang kehabisan ide”, ujar Ratih Kumala di Kompasianival 2024

Dalam pemaparannya, Ratih Kumala mengaku bukanlah penulis yang kehabisan ide. Karena menurutnya, yang harus dilakukan oleh seorang penulis adalah banyak membaca. Yang dimaksudkan dengan membaca di sini adalah bukan hanya membaca buku secara tekstual tapi juga membaca lingkungan dan masyarakat.

Menemukan ide dari banyak membaca masyarakat adalah tips pertama yang dikemukakan Ratih agar mampu membuat karya tulis yang baik.

Setelah menemukan ide dasar, kemudian memilih dan memilah ide mana saja yang harus dikembangkan, seorang penulis juga harus mampu mengawinkan ide tersebut dengan tema dan genre yang cocok.

“Ada yang tahu perbedaan tema dan genre?”, Ratih Kumala membahas soal ini dengan melemparkan pertanyaan ke audiens Kompasianival.

Sederhananya, tema adalah inti cerita yang akan dibahas. Sementara genre adalah aliran/bentuk dari karya tersebut. Sebuah tema bisa dikembangkan ke dalam banyak genre. Begitupun sebaliknya, sebuah genre bisa diterapkan untuk berbagai tema.

Semisal Gadis Kretek yang menurut hemat saya punya tema besar soal percintaan, tapi dikembangkan dalam genre sejarah. 

Perkawinan tema percintaan dengan genre sejarah, tidak akan menjadi suguhan yang unik tanpa didasari riset yang kuat dan mendalam. Terutama soal latar waktu yang harus solid dengan keadaan dan situasi di waktu itu.

Ratih Kumala mencontohkan apabila penulis mengambil tahun 1998 sebagai latar waktu dalam karyanya, maka ia harus bisa memasukkan kondisi dan situasi pada waktu itu dengan cakap. 

Risetnya tentu tidak hanya berdasarkan googling saja, tapi bisa dengan mengumpulkan dan membaca arsip-arsip zaman tersebut, membaca pustaka, atau dengan melakukan interview kepada legenda hidup yang merasakan peristiwa di tahun tersebut.

Setelah soal ide dasar, pemilihan genre dan tema, serta kekuatan riset, Ratih Kumala juga memaparkan pentingnya membuat kerangka karangan ketika menulis fiksi. Hal tersebut bisa membantu penulis agar tetap fokus, dan mampu menghalau ide-ide liar yang mungkin muncul saat proses menulis.

Gadis Kretek, di antara buku dan film

“Saya penulis skenarionya, jadi bebas mau lebih suka film atau bukunya”, jawab Ratih Kumala atas pertanyaan yang saya ajukan.

Sebetulnya bukan itu jawaban yang saya harapkan dari Ratih Kumala. Pertanyaan saya soal bagaimana seorang penulis melihat hasil karyanya dalam audio visual seringkali saya tanyakan pada penulis lainnya.

Semisal Habiburahman El-Shirazy (Kang Abik) yang kurang menyukai Ayat-Ayat Cinta versi Hanung Bramantyo, atau Eddy D. Iskandar yang memberikan pandangannya soal perbedaan Gita Cinta dari SMA versi 1979 dengan versi 2023 atau bahkan dengan Galih & Ratna (2017).

Saya hanya ingin mengelaborasi pandangan para penulis terhadap karya film hasil ekranisasi tulisan mereka. Karena saya masih berpendapat bahwa buku dan film tidak bisa dibandingkan. Keduanya adalah media yang berbeda dan dinikmati dengan cara yang berbeda pula.

Jujur saja, saya membaca novel “Gadis Kretek” setelah menamatkan 5 episode serialnya. Saya cukup penasaran, apakah gaya penceritaan dan materi aslinya semenarik yang dihadirkan dalam karya audio visual.

Bicara soal serial, kekuatan Gadis Kretek memang ada pada penyutradaraan Ifa Isfansyah & Kamila Andini yang mampu menjadikan karakter Lebas (diperankan Arya Saloka) sebagai pemantik kisah.

Lebas adalah karakter di masa kini, anak dari Soeradja, pemilik pabrik kretek Djagad Raya yang sedang sekarat. Dalam kesakitannya, Soeradja meminta Lebas mencari seorang perempuan bernama Jeng Yah. Nah, dalam upaya pencarian Jeng Yah inilah, penonton dihadapkan pada kisah masa lalu antara Soeradja dan Jeng Yah.

Nuansa film saat menceritakan Jeng Yah terkesan sangat kelam, apalagi dengan tambahan latar peristiwa komunis tahun 1965. Kemudian hal tersebut dikontraskan dengan karakter Lebas, yang dalam upaya pencariannya dibantu oleh Arum Cengkeh (Putri Marino), dibuat lebih riang dan jenaka.

Itulah salah satu kekuatan film. Bisa memberikan variasi mood lewat karakter, akting, gaya penceritaan, yang ditopang dengan berbagai elemen teknis seperti editing, artistik, kamera, hingga musik.

Tapi, memang materi aslinya “Gadis Kretek” juga punya kekuatan tersendiri. Meski kesan yang muncul di benak saya tidak sekelam filmnya, novelnya memiliki dinamika antar karakter dan transformasi karakter yang sangat jelas.

Apalagi dengan dengan latar waktu dan tempat yang solid, membuktikan tips soal riset yang disampaikan Ratih memang terarah dan efektif. Penggambaran latarnya sangat detail sehingga imajinasi saya terangsang untuk menghidupkan latar dalam pikiran ketika membacanya. 

Ya, ketika kita membaca buku, kita berimajinasi dengan pikiran kita sendiri atas hasil karya seorang penulis. Sementara ketika kita menonton film, kita disuguhkan hasil interpretasi sutradara atas imajinasinya terhadap karya tulis tersebut. 

Leave a comment