Informasi Terpercaya Masa Kini

Partai Buruh & Gelora, Penggugat di MK yang Bikin PDIP Bisa Usung Cagub Jakarta

0 5

Mahkamah Konstitusi baru saja mengeluarkan putusan No.60/PUU-XXII/2024. Putusan ini mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah, dari yang awalnya minimal 20 persen kursi di DPRD atau 25% perolehan suara, jadi menyesuaikan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebagaimana syarat calon independen/perseorangan.

Untuk Jakarta yang memiliki penduduk 6-12 juta, partai politik dan gabungan partai politik hanya perlu memenuhi 7,5 % suara sah dari jumlah DPT.

Putusan ini disambut gembira oleh para aktivis demokrasi dan kepemiluan. Titi Anggraini dari Perludem misalnya, menyebut putusan MK progesif dan memudahkan syarat pencalonan di pilkada.

Putusan MK ini juga dipuji Sekum Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, “Keputusan MK itu diharapkan dapat mengakhiri tirani dan dominasi partai politik besar dalam menentukan kepemimpinan baik di daerah maupun di pusat,” katanya.

Putusan MK juga membuat PDIP bisa tersenyum. Sebagai pemilik suara 14,01 persen atau 15 kursi di DPRD, PDIP sebelumnya tak bisa mengusung calon karena tak ada mitra setelah semua parpol berpihak ke Ridwan Kamil-Suswono, jagoan KIM Plus. Kini, putusan MK membuat PDIP bisa melaju.

Putusan MK juga membuka pintu bagi Anies Baswedan, tokoh dengan elektabitas tertinggi di Pilkada Jakarta, tapi tak punya perahu. Jika PDIP meminang Anies, maka mantan gubernur Jakarta itu berpeluang bertarung melawan jagoan KIM Plus.

Putusan MK ini merupakan putusan atas permohonan dari 2 partai, yakni Partai Buruh dan Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora). Dua partai tersebut mengajukan gugatannya, terhadap UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, yang mengatur ambang batas 25%.

Gugatan mereka teregistrasi MK, pada 27 Juni 2024. Lalu, apa kepentingan partai Buruh dan Gelora? Berapa perolehan suara mereka di Jakarta pada Pemilu 2024 lalu?

Partai Buruh

Partai Buruh didirikan pada 5 Oktober 2021. Pada Kongres ke-4 Partai Buruh, Said Iqbal selaku Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) terpilih jadi presiden partai. Sementara Ferri Nuzarli terpilih jadi sekretaris jenderal.

Partai Buruh baru ikut pemilu pada 2024. Mereka meraup perolehan suara nasional sebesar 972.910 suara. Sementara di Jakarta, mereka hanya memperoleh 69.969 suara, atau 1,15%.

Partai ini tak memperoleh kursi di level legislator baik daerah maupun nasional.

Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora)

Partai Gelora didirikan pada 28 Oktober 2019 di Jakarta. Para penggagasnya kebanyakan bekas elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS), seperti Fahri Hamzah, Anis Matta, hingga Achmad Rilyadi.

Setelah melewati verifikasi di Kementerian Hukum dan HAM, partai ini sah jadi badan hukum pada 2 Juni 2020.

Gelora baru pertama kali mengikuti pemilu pada 2024, sama seperti Partai Buruh. Mereka mendapat 1.281.991 suara sah secara nasional, dan 62.850 suara sah di Jakarta.

Tapi, mereka juga belum bisa mengirimkan wakilnya sebagai legislator di level nasional maupun daerah.

Alasan Gugat Pasal 4 UU 10 tahun 2016

Baik Gelora dan Partai Buruh merasa ada hak konstitusional yang dirugikan. Mereka mencatumkan, dalam permohonannya sebagai berikut:

“Bahwa akan tetapi dengan berlakunya ketentuan Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 yang berbunyi “Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” telah secara terang dan jelas menegasikan bahkan mereduksi hak konstitusional PARA PEMOHON untuk mengajukan/mendaftarkan pasangan calon kepala daerah berbasis perolehan suara sah dalam Pemilu”

Para pemohon beranggapan, dengan adanya ketentuan tersebut mereka tak bisa mengajukan calon sendiri. Bagi mereka, seharusnya undang-undang tidak membedakan perlakuan bagi partai politik.

“Seharusnya Undang-Undang tidak mengatur perbedaan perlakuan bagi Partai Politik yang memiliki kursi di DPRD dengan Partai Politik yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk mengusung/mendaftarkan pasangan calon Kepala Daerah,” tulis mereka dalam permohonannya.

Partai Buruh dan Partai Gelora juga beralasan, mereka mendapatkan suara yang signifikan. Tetapi mereka belum memperoleh kursi DPRD di beberapa tempat.

“Misalnya Pemohon I [Partai Buruh] memperoleh suara yang signifikan tetapi belum memperoleh kursi DPRD di Provinsi Papua Barat Daya, Kabupaten Maluku Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Pemohon II memperoleh suara yang signifikan tetapi belum memperoleh kursi DPRD di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Tangerang, Kota Bandung, Kabupaten Cirebon,” kata mereka.

Selain itu, mereka juga memprotes perbedaan pencalonan kepala daerah yang menggunakan akumulasi suara partai politik, jauh lebih berat daripada persyaratan untuk mengajukan calon independen.

“Dalam ketentuan a quo di atur batas minimal dukungan mulai dari 6,5% sampai dengan 10%. Jika dibandingkan dengan syarat minimal akumulasi perolehan suara bagi Parpol yang akan mengusung/mendaftarkan, yaitu sebesar 25%, maka sebenarnya jauh lebih banyak/lebih berat,” tulis mereka.

Mereka juga sempat mengajukan provisi, agar MK memutuskan masalah ini diputus secara cepat (speedy trial), agar mereka bisa menentukan sikap pada masa pendaftaran calon kepala daerah, atau sebelum tanggal 27 Agustus.

MK menolak provisi itu, tapi memutuskan perkara tersebut 7 hari sebelum tanggal yang diminta para pemohon.

MK melakukan rekonstruksi terhadap syarat pencalonan pilkada dengan menyesuaikan dengan syarat pencalonan dari calon independen/perseorangan.

Leave a comment