Ironi Impor Susu saat Banyak Peternak Membuang Susu
KOMPAS.com – Para peternak sapi perah di Jawa Tengah hingga Jawa Timur ramai-ramai membuang susu hasil produksinya. Penyebabnya, susu sapi produksi lokal tak terserap usai ada pembatasan kuota di industri pengolahan.
Peternak sapi perah dan pengepul susu di Boyolali, Jawa Tengah misalnya menggelar aksi mandi susu dari susu yang tak terserap industri di Tugu Susu Tumpah, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu lalu (9/11/2024).
Aksi ini merupakan bentuk protes atas pembatasan kuota di Industri Pengolahan Susu (IPS). Mereka kecewa serapan susu sapi lokal berkurang.
Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menyebutkan, perusahaan IPS lebih suka impor bubuk susu atau skim daripada menyerap susu segar dari peternak lokal. Akibatnya, hasil produksi susu segar dari peternak lokal tidak terserap maksimal.
Baca juga: Duduk Perkara Demo Mandi Susu hingga Buang 50.000 Liter Susu di Boyolali
“Ini struktur pasarnya, IPS-IPS ini mengimpor susu jauh lebih murah. Impor dalam bentuk skim atau bubuk yang harganya lebih murah dari market price, harga pasar dunia,” kata Budi Arie dalam konferensi pers di kantor Kemenkop, Jakarta Selatan, dikutip pada Selasa (12/11/2024).
Padahal, lanjut Budi Arie, kualitas bubuk susu yang diimpor belum tentu lebih baik daripada susu segar yang dihasilkan koperasi susu di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia masih impor susu sebesar 94,49 juta dollar AS pada Agustus 2024. Angka ini meningkat 21,19 persen dibanding Juli 2024 dan meningkat 21,12 persen dibanding Agustus 2023.
Namun, secara kumulatif, selama Januari-Agustus 2024 nilai impor susu Indonesia mencapai 605,05 juta dollar AS, atau turun 10,27 persen dibandingkan Januari-Agustus 2023 yang sebesar 674,28 juta dollar AS.
Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono menyebutkan, industri pengolahan susu seharusnya memang menyerap susu peternak lokal. Namun, peraturan bea masuk 0 persen membuat para IPS lebih memilih impor bubuk susu.
Baca juga: Di Balik Aksi Buang Susu Sapi di Pasuruan, Apa yang Diminta?
“Seharusnya memang begitu skemanya. Tetapi karena ada kebijakan perdagangan yang membuat bea masuk menjadi 0 persen, susu 4,7 juta ton (kebutuhan susu nasional) juga itu banjir,” kata Ferry.
Ferry mengatakan, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan, harus mempertimbangkan akibat dari bea masuk 0 persen.
“Kemendag juga mempertimbangkan kalau diberikan bea masuk 0 persen akibatnya seperti ini. Ini bisa dimintakan kembali, dalam rangka melindungi peternak susu sapi perah di Indonesia,” kata Ferry.
“Kami meminta ada barrier. Kalau bisa jangan 0 persen,” tutur dia.
Peternak tidak diproteksi
Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI), Agus Warsito, mengatakan salah satu masalah utama peternak sapi perah lokal tidak bisa berkembang karena pemerintah tidak memberikan proteksi dari membanjirnya susu impor dari luar.
Yang jadi masalah, susu impor dari luar negeri selama ini nyaris seluruhnya berbentuk susu skim atau bubuk kering. Dari sisi harga susu impor ini memang jauh lebih murah dibandingkan susu segar yang dihasilkan peternakan lokal.
“Kita senang saja bersaing kalau yang diimpor susu segar cair. Tapi yang terjadi, susu impor itu susu skim. Rakyat kita selama ini dijejali dengan produk susu skim bubuk,” beber Agus saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Baca juga: Mau Bikin Program Susu Gratis, Ternyata Indonesia Masih Impor Susu
Impor susu dalam bentuk skim sangat beralasan, karena dalam susu bubuk memudahkan dalam pengiriman. Namun di sisi lain, susu dalam bentuk kering tentunya mengorbankan kualitas karena hilangnya nutrisi yang dikandungnya.
“Memang jadi efisien (susu skim impor). Tapi jatuhnya di sisi lain kualitasnya turun jauh. Karena susu yang awalnya cair (di negara asal) dikeringkan dengan pemanasan berkali-kali supaya jadi skim,” ungkap Agus.
“Kemudian setelah jadi bubuk, dikirim ke Indonesia, oleh pabrik-pabrik susu di sini dicairkan lagi dengan pemanasan lagi. Artinya susu kembali mengalami proses pemanasan lagi berkali-kali. Otomatis nilai gizinya turun drastis, tinggal 40-45 persen saja,” kata dia lagi.
Agus yang juga menjabat Ketua Koperasi Susu Andini Luhur Kabupaten Semarang ini berujar, banyak pabrik susu di Indonesia kemudian mencampur lagi susu skim yang sudah dicairkan melalui ultra proses dengan air. Imbasnya, kualitas susu lagi-lagi merosot.
“Sudah mengalami ultra proses berkali-kali, lalu masih dicampur air, lalu dijual mahal oleh pabrik susu di sini. Jadi ibaratnya banyak orang Indonesia realita sebenarnya minum air tapi rasa susu,” ucap dia.
Baca juga: Biang Kerok Indonesia Sangat Bergantung Susu Impor
Agus secara blak-blakan menyebut, banyak susu dalam UHT (ultra high temperature) kemasan yang dijual di Indonesia komposisinya malah lebih dominan airnya dibanding susunya.
“Makanya anak-anak penduduk Indonesia konsumsi susunya setiap tahun naik, tapi tumbuh (badannya) tidak maksimal. Karena yang diminum bukan susu segar seperti di negara lain,” tutur Agus.
“Anak-anak kita di perkotaan, itu mengonsumsi susu bubuk yang dicairkan lagi, lalu dikasih air. Konsumsi susu per kapita orang Indonesia memang sudah 16-17 liter per tahun. Tapi ingat, itu bukan susu segar,” bebernya lagi.
Di negara yang jadi pengekspor susu, masyarakatnya mengkonsumsi susu segar, bukan susu olahan, terlebih yang dicampur dengan air. Itu sebabnya, susunya pun jauh lebih berkualitas dibandingkan susu yang banyak beredar di Indonesia.
“Kalau di negara-negara yang dia mengolah susu segar, pertumbuhan anak-anak yang mengonsumsi susu segar lebih bagus, kecerdasannya juga bagus, sementara negara kita dijejali susu skim,” kata Agus.
Agus bahkan berani menyebut, kalau Indonesia adalah negara dengan konsumsi susu skim per kapitanya paling tinggi di seluruh dunia.
Agus melanjutkan, selain masalah membanjirnya susu skim impor, peternak lokal dibiarkan bersaing secara bebas dengan importir susu.
“Tidak ada proteksi sama sekali, peternak rakyat dibiarkan di pasar yang sangat liberal ini. Brutal sekali persaingannya,” tambah dia.
Baca juga: Bahan Baku Susu Impor Senilai Rp 120 Miliar Digerebek di Bogor