Tak Sedikit Peserta WHV asal Indonesia yang Merasa Tertipu di Australia
Read the story in English
Dimas dan Bella berencana untuk mendapatkan uang sambil ke Australia lewat program Working Holiday Visa (WHV)
Mereka rela meninggalkan pekerjaan di Indonesia untuk terbang ke Darwin, dengan bekerja memetik dan mengemas mentimun di sebuah perkebunan.
Namun setelah dijemput di bandara di Kawasan Australia Utara, Bella mengatakan ada yang aneh.
Saat diantar ke tempat mereka akan bekerja, mereka merasa terputus dari dunia luar karena memakan waktu berjam-jam di perjalanan.
“Waktu itu sudah malam, kami tidak bisa membeli [pulsa] internet, kami tidak bisa membeli kartu [ponsel], banyak hal yang tidak bisa kami lakukan, kami hanya bisa menggunakan hotspot dari orang yang datang menjemput kami,” kata Dimas kepada ABC.
Jalanan berubah dari aspal menjadi tanah dan membuat mereka khawatir, ujar kedua pasangan yang meminta namanya disamarkan.
“Saya pikir di mana rumah-rumahanya, di mana warganya?” kata Bella.
Meski ada rasa takut, tapi mereka tetap berharap bisa mewujudkan impian dengan berangkat ke Australia.
Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah perkebunan yang kumuh.
Tak semua yang dikatakan ‘Influencer’ benar
Jumlah anak muda di bawah 30 tahun asal Indonesia yang mengajukan WHV, seperti Dimas dan Bella, meningkat signifikan sejak pandemi.
Departemen Dalam Negeri Australia mengatakan mereka menerima 2.493 pendaftar pada tahun 2021-22, 7.606 pada tahun 2022-23, dan naik menjadi 9.907 pada tahun 2023-24.
[Grafik]
Departemen Dalam Negeri Australia mengatakan penutupan perbatasan selama pandemi menyebabkan adanya “permintaan terpendam”.
Namun, ada juga peningkatan jumlah influencer asal Indonesia di sosial media, yang mengunggah pengalaman mereka di Australia dan tidak semua cerita mereka benar.
Mereka mengaku dengan memetik buah di Australia hanya selama sebulan, bisa mendapat penghasilan yang setara dengan gaji setahun di Indonesia.
Tapi sejumlah peserta WHV di Australia tidak menjelaskan biaya hidup di Australia serta pajak yang tinggi, hanya membanggakan penghasilan mereka yang tentu nilainya terdengar besar jika mengkonversikan dolar Australia ke rupiah.
Terinspirasi cerita para influencer ini, Dimas dan Bella melihat iklan di Facebook yang membutuhkan beberapa orang untuk memetik anggur.
Pasangan ini pun memutuskan untuk menghubungi nomer agen yang ada di unggahan Facebook tersebut.
Orang tersebut memberi tahu kalau mereka akan melakukan pekerjaan yang relatif mudah, dengan gaji dan akomodasi yang layak.
Tapi belakangan Dimas dan Bella mengatakan hampir tidak ada satu pun yang terbukti benar.
Impian yang sirna
Dimas dan Bella kemudian ditempatkan di sebuah rumah kontrakan dengan dua pekerja lain, yang juga orang Indonesia.
Teman baru mereka langsung bertanya pekerjaan seperti apa yang dijanjikan kepada Dimas dan Bella.
Ketika pasangan itu menjawab, “memanen dan mengemas mentimun”, salah satu dari mereka mengatakan kalau pekerjaan itu tidak ada dan mereka telah dibohongi.
Sebaliknya, mereka harus melakukan pekerjaan kasar untuk merenovasi kebun, yang menurut mereka sudah ditinggalkan satu atau dua tahun sebelumnya.
Bella mulai menangis.
“Ketika teman sekamar kami mengatakan tidak ada mentimun, kami harus bekerja keras, saya terkejut dan juga takut,” katanya.
“Agen itu mengatakan yang perempuan hanya harus mengemas mentimun, tetapi ketika kami sampai di sana, semua perempuan jadi harus mengangkat jeruji besi yang panjangnya 3 meter.”
Dimas mengatakan mereka juga mendapati kalau agen kerja sudah memotong upah.
Ketika Bella kesulitan dengan pekerjaannya, dia mengaku pernah disiksa oleh seorang supervisor.
“Karena Darwin panas dan ini pertama kalinya saya mengangkat beban berat, saya bekerja lambat,” kata Bella kepada ABC.
“Orang kepercayaan bos saya memaki saya dengan kata-kata kasar.”
Setelah satu setengah hari bekerja keras, Bella sudah muak.
“Saya menangis. Saya mencoba berpikir ‘bagaimana kita bisa keluar dari tempat ini?'”
ABC mencoba menghubungi agen kerja yang dimaksud dan pemilik peternakan tetapi tidak mendapat tanggapan dari keduanya.
Air tidak layak minum, rumah kotor
Dimas dan Bella mengatakan tempat yang mereka tinggali kotor dan sepertinya sudah lama ditinggalkan.
Tapi keduanya tetap harus membayar AU$100, atau lebih dari Rp1 juta, seminggu dan ini juga tidak pernah dikomunikasikan oleh pemberi kerja.
“Air tidak bisa diminum di peternakan karena kotor, jadi harus membeli air,” kata Dimas.
“Tempatnya benar-benar tidak layak huni.”
Untuk menyiram toilet, mereka mengatakan harus membawa ember berisi air.
“Toiletnya sangat, sangat kotor,” kata Bella.
Mereka akhirnya berhasil membeli kartu ponsel, tetapi karena lokasi mereka sangat terpencil jadi jarang sekali ada sinyal.
“Kami sama sekali tidak bisa menghubungi siapa pun,” kata Dimas.
“Kami ingin pergi, tapi enggak bisa, karena tidak seorang pun tahu alamat peternakan itu. Lokasinya tidak terdeteksi di Google Maps, jalannya buntu.”
Perwakilan Indonesia sedang menyelidiki
Dimas dan Bella akhirnya berhasil mendapatkan sinyal dengan berjalan kaki dari peternakan.
Mereka kemudian menghubungi grup Facebook yang dibentuk untuk membantu peserta WHV asal Indonesia di Kawasan Australia Utara.
Kemudian seseorang menawarkan diri untuk datang dan menjemput mereka.
Dimas dan Bella mengatakan ketika bos mereka mendengar, ia langsung panik karena ia juga mempekerjakan orang lain dengan visa tanpa hak bekerja.
Agar lokasi peternakan tidak diketahui, mereka menurunkan Dimas dan Bella di Danau Bennett, lokasi terdekat yang ada di Google Maps.
Keduanya mengaku mereka belum melapor kepada pihak berwenang di Australia
“Kami enggak mau terlibat dalam hal-hal yang rumit, karena kami khawatir masalahnya akan menjadi lebih rumit,” kata Dimas.
ABC sudah menghubungi kepolisian Northern Territory untuk memberikan tanggapan, sementara Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Darwin mengatakan mereka sedang menyelidiki kasus tersebut.
Departemen Dalam Negeri Australia mengatakan individu dapat melaporkan aktivitas yang melanggar hukum melalui situs Border Watch.
Juru biacara dari Departemen Luar Negeri Australia mengatakan “semua pekerja di Australia memiliki hak dan perlindungan yang sama di tempat kerja, terlepas dari status kewarganegaraan atau visa mereka”.
Pada bulan Juli, pemerintah Australia memperkenalkan langkah-langkah untuk meningkatkan perlindungan bagi pekerja migran.
Langkah-langkah tersebut mencakup program untuk memperkuat perlindungan pelaporan, dan ditetapkannya tiga pelanggaran pidana baru terkait dengan eksploitasi pekerja berdasarkan status visa mereka.
Dimas dan Bella mengatakan informasi yang diunggah para influencer asal Indonesia sering kali menyesatkan dan memberikan harapan yang terlalu tinggi.
“Mereka melebih-lebihkan, seperti ”kamu bisa medapat 1 miliar rupiah ($95.000) setahun di Australia’, yang membuat orang berpikir ‘benarkah?'” kata Dimas.
Dimas dan Bella sedang mempertimbangkan untuk pulang ke Indonesia, tapi untuk sementara mereka harus bertahan di Australia.
Mereka sudah mendapat kerja di industri perhotelan di Darwin, dan dari pengalaman keduanya pentingnya melakukan riset dan memverifikasi informasi yang beredar di media sosial.
“Jangan malu atau sungkan untuk menghubungi orang-orang,” kata Dimas.