Merasakan Kegiatan Masa Lampau di Kota Lama Semarang
Salah satu kawasan yang merupakan pusat kegiatan di masa lampa, tidak luput dengan waktu yang terus berjalan, suasana di kawasan ini seakan-akan menarik para wisatwan yang mengunjunginya untuk merasakan rasanya hidup di era kolonial. Tepatnya di Semarang Jawa Tengah, kawasan yang masih terpelihara meskipun sudah memiliki umur yang sangat lama tersebut adalh Kota Lama Semarang.
Masih berdekatan dengan salah satu tempat yang masih aktif hingga masa kini yaitu Stasiun Tawang. Wisatawan dari luar kota dapat mengunjungi kawasan Kota Lama ini dengan sangat mudah terutama apabila seseorang tersebut menggunakan kereta dan turun di Stasiun Semarang Tawang. Hanay dengan berjalan kaki dengan waktu tempuh lima sampai delapan menit sudah dapat merasakan vibes ‘jadul’ kawasan tersebut.
Memang jika kalian mengunjungi tempat ini pada waktu siang, akan terasa panas mengingat kawasan ini dekat dengan pesisir, dan sejarah yang berkembang di Nusantara salah satunya pulau Jawa, pusat kegiatan serta perkantoran biasanya terletak dekat dengan pelabuhan seperti di Semarang dengan pelabuhan Tanjung Mas.
Pada kesempatan berlibur kali ini, saya bersama keluarga besar memutuskan untuk mengunjungi kawasan tersebut. Jujur saya sendiripun sudah bosan dengan kunjungan repetitif apabila saya berkunjung ke Semarang yaitu Lawang Sewu. Karena itu rekomendasi muncul dari saudara. “Nggak bosen apa Lawang Sewu terus? Sekali-kali ngunjungin daerah Semarang Utara lah,” ucap saudaraku. “Semarang Kota aja sepanas ini, apalagi daerah utara,” jawabku. Lalu kami memutuskan untuk mengiunjungi Kota Lama sore hari sehingga cuaca yang sudah tidak terlalu panas membuat kami lebih menikmati saat jalan-jalan.
Sampai di dekat kawasan tersebut kami memutuskan untuk memarkirkan kendaraan di area Pasar Djohar. Pasar Djohar sendiri merupakan salah satu bangunan yang mengalami kebakaran pada tahun 2015 lalu. Tetapi proyek pembangunan kembali dan redesign ulang di beberapa titik membuat pasar ini terkesan lebih fresh meskipun tidak mengubah bentuk bangunan mengikuti perkembangan pasar-pasar modern lainnya dan mempertahankan kesan ‘jadoel’ di dalamnya. Keluarga kami pun mapir untuk sementara waktu ke pasar tersebut membeli jajanan sebagai bekal saat nanti berjalan di Kota Lama.
Setelah mengunjungi Pasar Djohar kami memulai perjalan kami menuju persimpangan bagian selatan kawasan ini. Saya terpukau dengan beberapa bangunan yang masih digunakan sampai saat ini meskipun memepertahankan gaya arsitekturnya. Mayoritas bangunan yang berwarna putih dan menggunakan penamaan bangunan berbahasa Belanda memang membuat kesan lampau masih melekat pada Kota Lama.
Beberapa bangunan memang tidak terawat, akan tetapi hal tersebut tidak merusak estetika dari banguna-bangunan lain yang berdekatan dengan bangunan yang terbengkalai tersebut. Saya sendiri merasa bahwa bangunan yang terbengkalai tersebut menggambarkan sebuah bangunan yang perlahan dimakan oleh waktu.
Tembok yang rusak, cat yang usam, rerumputan serta ilalang yang memenuhi lantai bangunan, dan pohon yang sangat besar bahkan akar dari pohon itu sudah merambat ke luar area bangunan tersebut membuat pengunjung yang mengunjunginya dapat merasakan berapa lama bangunan ini menjadi saksi bisu kegiatan manusia saat awal pembangunan hingga masa kini.
Memiliki luas kurang lebih 31 hektar, terdapat bangunan yang menjadi ‘pusat’ dari bangunan bergaya eropa di sekitarnya, bangunan yang mencolok ini sedikit mencolok dibandingkan dengan bangunan lainnya karena tinggi bangunan ini sedikit menjorok ke atas dibandingkan yang lainnya. Bangunan tersebut merupakan sebuah tempat ibadah yang digunakan oleh umat Kristen di Indonesia yaitu GPIB atau Gereja Protestan Indonesia Immanuel.
Akan tetapi gereja tersebut lebih familiar dengan penamaan yang diberikan oleh masyarakat setempat, biasa disebut Gereja Blenduk. Kata ‘blenduk’ sendiri memiliki arti berbentuk kubah, dan jika dikaitkan dengan bentuk atap dari bangunan tersebut memang terlihat ‘blenduk’ atau kubah dengan warna maroon.
Karena hal tersebut banyak wisatwan yang memusatkan kegiatan untuk berfoto maupun swafoto di sekitaran spot ini. Halaman yang rindang akan pepohonan membuat kami menikmati istirahat dengan duduk di kursi sepanjang halaman tersebut. Melihat lalu lang wisatawan dan menikamti jajanan yang kami beli saaat turun dari Pasar Djohar.
Perjalanan pun kami lanjutkan dengan mengitari bangunan-bangunan sekitar kawasan tersebut. Terdapat bangunan yang membuat saya terkejut lagi yaitu gedung yang memiliki papan nama ‘Soesmans Kantoor’ dan terpikir di benak saya bahwa gedung ini dulunya memang sebuah pusat adminstratif atau kantor. Ternyata benar saja, saya melihat informasi tersebut di internet bahwa gedung imigrasi pada era kolonial.
Soesmans tersebut adalah nama pendiri bangunan tersebut yang berfokus pada perdangangan dan mengalami perubahan menjadi perusahaan imigrasi pekerja Belanda saat itu. Terlihat di depan bangunan tersebut beberapa pasangan melakukan sesi foto prewedding dengan konsep pengambilan latar bangunan eropa kuno.
Matahari yang perlahan tenggelam membuat kami untuk memutuskan bahwa perjalanan di kawasan ini teah selesai. Akan tetapi saya bersama keluarga inti memutuskan untuk berpisah dengan rombongan keluarga lainnya. Ada whislist yang mesti dan wajib dilaksanakan yaitu mencari kuliner di sekitar kawasan ini. Benar saja perjalanan jalan kaki kami menuju Pasar Djohar disuguhkan beberapa warung makanan salah satunya Nasi Goreng Babat Pak Karmin.
Saya sebenarnya sudah menginikan makanan ini saat pertama berada di Semarang, keinginan yang tersampaikan ini menjadikan perjalanan di Kota Lama ini sangat memuaskan. Menutup kegiatan berwisata ini tidak lupa membeli oleh-oleh di kawasan Kota Lama yaitu wingko babad. Jajanan manis ini sangat cocok untuk dibawa sebagai oleh-oleh yang khas dari Semarang.