Cerita Aksi Boikot Produk Terafiliasi Israel yang Terus Berlanjut dan Kejayaan Merek Lokal
REPUBLIKA.CO.ID, Tidak ada lagi merek-merek Barat, terutama minuman di restoran kecil milik Wamiq Harisi yang berada di distrik timur ibu kota komersial Pakistan, Karachi. Suasana restoran pada akhir pekan lalu tampak seperti biasanya, namun ada satu hal yang jelas berbeda: Meskipun sudah satu tahun sejak serangan Israel di Jalur Gaza yang menewaskan lebih dari 41.000 orang, kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, boikot terhadap merek asing, khususnya dari negara-negara yang mendukung Tel Aviv, sangat terasa di Pakistan.
“Pelanggan masih tetap meminta merek lokal, yang secara drastis mengurangi konsumsi produk Barat, terutama minuman dan makanan penutup dalam satu tahun terakhir,” kata Harisi kepada Anadolu.
“Selama beberapa bulan terakhir, kami hanya memesan stok terbatas untuk merek internasional seperti soda dan es krim karena permintaannya sangat minim,” tambahnya.
Penurunan penjualan minuman asing ini adalah gambaran kecil dari gerakan yang digerakkan secara sosial untuk memboikot produk-produk yang terkait dengan AS dan Eropa di Pakistan di tengah serangan di Gaza.
“Kami mengira boikot ini, seperti kampanye serupa sebelumnya, akan berlangsung beberapa bulan saja, tapi ternyata saya salah. Ini masih berlanjut: orang-orang (masih) cenderung memboikot,” ujar Haris.
Dari penyedia katering tradisional hingga restoran cepat saji, dari asosiasi pengacara hingga klub sosial, gerakan boikot ini telah meninggalkan jejaknya. Jumlah pelanggan di jaringan makanan cepat saji Amerika seperti KFC dan McDonald’s juga menurun dalam beberapa bulan terakhir, memaksa restoran untuk mengurangi operasional di seluruh negeri.
Penurunan penjualan ini memaksa penutupan salah satu cabang makanan cepat saji asing pertama di Karachi beberapa bulan lalu, yang diluncurkan pada tahun 1990-an. Asosiasi Pengacara Tinggi Provinsi Sindh bagian selatan, yang melarang penjualan minuman berlabel dan air kemasan di lingkungan pengadilan pada November lalu, tetap teguh pada keputusannya.
Banyak organisasi, termasuk Asosiasi Pengacara Karachi dan klub media, juga mengikuti langkah ini, meskipun merek asing, terutama soda dan air, masih tersedia.
“Sebelum memesan (untuk upacara pernikahan), orang-orang dengan jelas menyampaikan; tidak ada minuman atau es krim merek asing,” kata Mohammad Kafeel, seorang katering berbasis di Karachi, kepada Anadolu.
Beberapa bulan lalu, sebuah video viral di media sosial menunjukkan seorang pria muda mengenakan keffiyeh syal bermotif hitam-putih yang merupakan simbol gerakan pembebasan Palestina, pada acara pertunangannya di Karachi. Video-video lain menunjukkan warga Pakistan, termasuk perempuan dan anak-anak, membawa bendera Palestina dan secara rutin memprotes di restoran KFC dan McDonald’s di seluruh negeri.
Rupa-Rupa Dampak Boikot Israel – (Republika)
Aksi masif boikot produk terafiliasi Israel di Pakistan telah mendorong peluang bagi alternatif lokal. Di mana, beberapa merek berlomba-lomba mengisi kekosongan, dengan beberapa mengalami lonjakan penjualan yang mengejutkan.
Cola Next, merek soda lokal, telah menggantikan merek-merek minuman global dalam beberapa bulan terakhir dengan lonjakan penjualan yang “berlipat ganda,” menurut juru bicara yang menolak memberikan angka pasti.
Kababjis, sebuah jaringan makanan cepat saji lokal, adalah contoh lain dari bisnis yang berkembang pesat akibat boikot ini. Jaringan ini memperkenalkan mereknya sendiri, KFC atau Kababjis Fried Chicken, yang memberikan pukulan keras terhadap penjualan KFC asli, yang mengoperasikan 128 restoran di 37 kota di Pakistan.
Memanfaatkan boikot ini, perusahaan-perusahaan lokal memang secara signifikan meningkatkan penjualan dan keuntungan mereka. Namun banyak juga yang gagal bersaing dengan produk asing dalam hal kualitas dan strategi pasar yang berkelanjutan.
Pada September, mereka yang setuju dengan boikot mencapai 68 persen, sedikit lebih tinggi dari 65 persen yang tercatat pada bulan April, menurut Kashif Hafeez, kepala Pulse Consultant, lembaga pemikir yang berbasis di Karachi yang telah memantau kampanye boikot ini sejak Oktober tahun lalu.
Dibandingkan dengan gelombang pertama pemantauan pada November 2023, terjadi penurunan tajam hampir 15 persen — dari 85 persen menjadi 70 persen.
“Setelah Ramadan, kami mengamati peningkatan signifikan sebesar 16 persen dalam jumlah yang setuju untuk boikot (dari 68 persen pada Desember 2023 menjadi 84 persen pada April 2024),” tambah Hafeez.
Namun, pada gelombang September, dampak praktisnya turun 10 persen, dari 84 persen menjadi 74 persen. Sentimen boikot lebih kuat tertanam pada anak-anak dan kelas sosial-ekonomi atas.
Menurut Hafeez, jumlah orang yang secara berpartisipasi dalam aksi boikot produk dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara pro-Israel lainnya telah menurun. Penurunan itu dipengaruhi oleh berbagai alasan mulai dari kualitas rendah hingga pasokan yang tidak berkelanjutan, serta kurangnya upaya membangun merek oleh perusahaan lokal.
“Penurunan ini bukan karena sentimen yang melemah, melainkan karena perusahaan lokal gagal menyediakan produk berkualitas, selain harga yang tidak kompetitif, pasokan yang tidak berkelanjutan, dan kurangnya perhatian terhadap pembangunan merek,” ujarnya.
Hafeez menambahkan, sayangnya, merek-merek lokal hanya memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan keuntungan daripada membangun merek dan meningkatkan kualitas.
“Saya ingin memberikan contoh merek minuman ringan lokal yang berhasil merebut pangsa pasar yang signifikan akibat boikot merek internasional, tetapi mereka bahkan tidak menyediakan lemari pendingin mereka sendiri kepada penjual. Mereka justru bergantung pada lemari pendingin dari merek asing untuk menjual produk mereka,” katanya.
Hal ini memaksa banyak orang untuk kembali beralih ke merek asing, ujar Hafeez. Namun demikian, ia menambahkan, masih banyak pelanggan yang tetap berpegang pada kampanye boikot.
Komik Si Calus : Boikot – (Daan Yahya/Republika)