Sosok Jenderal TNI yang Melarang Penayangan Film G30S/PKI sejak 1998
KOMPAS.com – Film “Pengkhianatan G30S/PKI” pertama kali ditayangkan pada tahun 1984.
Film yang disutradarai oleh Arifin C. Noer ini menampilkan peristiwa penculikan serta pembunuhan enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965 dini hari.
Usai dibunuh, sejumlah jenderal itu dimasukkan ke dalam sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Dikutip dari Kompas.com (30/9/2023), saat pertama kali ditayangkan, film berdurasi 271 menit yang produksi Perum Perusahaan Film Negara (PPFN) di masa pemerintahan Orde Baru ini mendapat 699.282 penonton.
Film tersebut kemudian ditayangkan di televisi TVRI pada 30 September 1985. Sejak saat itu, pemutaran tayangan seputar peristiwa G30S ini menjadi agenda rutin setiap tahun.
Namun, setelah 13 tahun selalu diputar menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI akhirnya berhenti ditayangkan pada 1998.
Lantas, siapa yang kemudian melarang penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI?
Baca juga: Menjabat sebagai Pangkostrad, Mengapa Soeharto Tak Ikut Diculik Saat Peristiwa G30S?
Jenderal TNI yang melarang penayangan film G30S/PKI
Film G30S/PKI menuai kontroversi dan kritik dari berbagai pihak, termasuk tokoh militer Indonesia Letjen TNI (Purn) Muhammad Yunus Yosfiah.
Yosfiah menjadi orang pertama yang menyetop pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI, saat dia menjabat Menteri Penerangan (Menpen) di masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.
Keberatannya itu ia sampaikan dalam rapat kerja antara Menpen dengan Komisi I DPR RI di Jakarta, Rabu (23/9/1998).
Yosfiah menegaskan, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, Serangan Fajar dinilai tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi.
“Karena itu, tanggal 30 September mendatang (1998) TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI,” ujarnya, dikutip dari Kompas.com (30/9/2020).
Alasan Yosfiah melarang pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI karena film ini dianggap tidak sesuai dengan fakta sejarah dan hanya berdasarkan pada versi Orde Baru.
Ia menilai, film Pengkhianatan G30S/PKI itu mengandung unsur kekerasan, propaganda, dan provokasi yang dapat memecah belah bangsa Indonesia.
Menurut dia, film ini tidak mencerminkan kebenaran sejarah peristiwa berdarah tersebut lantaran tidak ada bukti otentik yang mendukung cerita dalam film tersebut.
Yosfiah saat itu menyebut, tidak ada keterlibatan PKI dalam peristiwa G30S, melainkan hanya gerakan dari sekelompok perwira muda yang tidak puas dengan pemerintahan Soekarno.
Baca juga: Kenapa Para Jenderal Diculik dan Dibunuh dalam Peristiwa G30S?
Terlalu sering diputar
Sementara itu, Harian Kompas pada 30 September 1998 memberitakan bahwa Departemen Penerangan (Deppen) beralasan bahwa film G30S/PKI sudah terlalu sering ditayangkan.
Setelah terus-menerus diputar selama 13 tahun, film G30S/PKI tak lagi menjadi film wajib usai Soeharto lengser dan memasuki Era Reformasi.
“Karena terlalu sering diputar, filmnya juga sudah kabur,” kata Dirjen RTF Deppen Ishadi SK saat itu.
Di sisi lain, film yang pembuatannya pada 1984 menghabiskan anggaran hingga Rp 800 juta ini kerap disebut sebagai propaganda ala rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.
Bahkan, film tersebut awalnya akan diberi judul Sejarah Orde Baru, sebelum akhirnya diubah menjadi Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI.
Baca juga: Latar Belakang G30S dan Tanda Tanya Keberadaan Soeharto
(Sumber: Kompas.com/ Diva Lufiana Putri, Nur Fitriatus Shalihah | Editor: Inten Esti Pratiwi)