Informasi Terpercaya Masa Kini

Luka yang Tak Tersembuhkan: Sentimen Rasial Warisan Kolonial Belanda

0 2

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Intisari-online.com – Di negeri yang dulu dikenal dengan keramahan dan keragaman budayanya, kini tersimpan luka yang tak kunjung sembuh.

Luka itu bernama sentimen rasial, warisan pahit dari masa kolonialisme Belanda yang telah lama berlalu.

Seperti bayangan kelam yang terus menghantui, ia merayap di antara hubungan antarmanusia, menaburkan benih kecurigaan dan perpecahan.

Salah satu penyebab utama munculnya sentimen rasial ini adalah politik pecah belah yang diterapkan oleh Belanda selama masa penjajahan.

Dengan licik, mereka menciptakan hierarki sosial yang menempatkan orang Eropa di puncak, diikuti oleh kelompok-kelompok lain seperti orang Tionghoa dan Arab, sementara penduduk pribumi terjerembab di dasar piramida.

Kebijakan ini bukan hanya menciptakan kesenjangan ekonomi dan sosial, tetapi juga menanamkan benih-benih kebencian dan prasangka yang sulit dihapuskan.

Sejarawan M.C. Ricklefs dalam bukunya “Sejarah Indonesia Modern” (1991) mencatat bagaimana Belanda dengan sengaja memelihara perbedaan antar kelompok etnis dan agama untuk mempermudah penguasaan mereka.

Mereka memberikan hak istimewa kepada kelompok-kelompok tertentu, sementara yang lain ditekan dan didiskriminasi. Akibatnya, muncullah rasa iri dan ketidakpercayaan di antara penduduk pribumi, yang kemudian berkembang menjadi sentimen rasial.

Pendidikan yang Membelenggu

Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda juga berperan dalam memperkuat sentimen rasial. Pendidikan hanya tersedia bagi segelintir orang, terutama mereka yang berasal dari golongan atas. Sementara itu, mayoritas penduduk pribumi tetap terbelenggu dalam kebodohan.

Hal ini menciptakan jurang pengetahuan yang semakin memperdalam kesenjangan sosial dan memperkuat stereotip negatif terhadap penduduk pribumi.

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, dalam novelnya “Bumi Manusia” (1980) menggambarkan bagaimana sistem pendidikan kolonial merendahkan martabat penduduk pribumi.

Mereka digambarkan sebagai orang-orang yang malas, bodoh, dan tidak beradab. Gambaran ini tertanam dalam benak banyak orang, baik dari kalangan penjajah maupun penduduk pribumi sendiri, dan terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Ekonomi yang Tak Adil

Penderitaan ekonomi yang dialami oleh penduduk pribumi selama masa penjajahan juga berkontribusi pada munculnya sentimen rasial. Belanda menerapkan sistem ekonomi yang eksploitatif, di mana kekayaan alam Indonesia dikuras habis untuk kepentingan mereka sendiri.

Sementara itu, mayoritas penduduk pribumi hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Kondisi ini memicu kebencian dan rasa frustrasi terhadap penjajah, yang kemudian meluas menjadi sentimen rasial terhadap semua orang Eropa.

Sartono Kartodirdjo, sejarawan terkemuka Indonesia, dalam bukunya “Pemberontakan Petani Banten 1888” (1966) menjelaskan bagaimana ketidakadilan ekonomi menjadi salah satu pemicu utama pemberontakan petani Banten.

Mereka merasa tertindas oleh sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Belanda, di mana mereka dipaksa menanam tanaman ekspor seperti kopi dan tebu dengan harga yang sangat rendah. Kemarahan mereka terhadap penjajah kemudian meluas menjadi sentimen rasial terhadap semua orang Eropa.

Luka yang Menganga

Meskipun penjajahan Belanda telah berakhir puluhan tahun yang lalu, sentimen rasial yang mereka tanamkan masih terus menghantui masyarakat Indonesia hingga saat ini.

Ia muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari diskriminasi terselubung hingga konflik terbuka antar kelompok etnis.

Sentimen rasial ini seperti luka yang menganga, terus mengingatkan kita akan masa lalu yang kelam dan menyulitkan kita untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Menyembuhkan Luka

Untuk menyembuhkan luka ini, diperlukan upaya bersama dari seluruh elemen masyarakat. Pendidikan yang inklusif dan berkualitas harus menjadi prioritas, agar semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi diri mereka.

Selain itu, penting juga untuk membangun kesadaran akan sejarah kelam penjajahan dan dampaknya terhadap masyarakat Indonesia saat ini.

Kita harus belajar dari masa lalu, agar kesalahan yang sama tidak terulang kembali. Kita harus membangun masyarakat yang menghargai keragaman dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Hanya dengan cara itu, kita bisa menghapus bayang-bayang kelam penjajahan dan menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi Indonesia.

“Di bawah langit yang sama, kita semua adalah manusia. Mari kita bergandengan tangan, membangun Indonesia yang lebih adil dan beradab.”

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Leave a comment