Booming Fenomena ‘Quiet Luxury’ : Strategi Finansial atau Sekadar Tren ?
Apa yang terlintas di benakmu saat mendengar kata ‘luxury’? Mobil sport mencolok? Tas branded berlogo besar? Atau mungkin jam tangan yang harganya setara dengan satu unit apartemen?
Namun, di tengah kebiasaan pamer kemewahan yang ramai di sosial media, muncullah tren baru yang sedikit berbeda: Quiet Luxury.
Bagi sebagian orang, tren ini dianggap sebagai strategi finansial yang cerdas. Bagi sebagian lain, ini mungkin hanya gaya hidup yang terlihat “simple,” tapi tetap menguras dompet. Jadi, apakah fenomena ini benar-benar strategi atau cuma tren sesaat?
Mari kita bongkar lebih dalam.
#1. Quiet Luxury: Ketika Kesederhanaan Menjadi Kekuatan
“Luxury is the ease of a t-shirt in a very expensive dress.” — Karl Lagerfeld
(Terjemahan: Kemewahan adalah kemudahan kaos dalam balutan gaun yang sangat mahal.)
Quiet Luxury bukan tentang kemewahan yang mencolok. Bukan juga tentang logo besar di mana-mana. Sebaliknya, ini adalah tentang mengenakan barang berkualitas tinggi yang tidak terkesan “teriak” tapi tetap elegan. Seperti mengenakan kemeja linen yang tidak berlogo, tapi harganya cukup untuk mengagetkan dompetmu.
Fenomena ini mengingatkan kita pada teori conspicuous consumption yang diperkenalkan oleh Thorstein Veblen di tahun 1899. Menurut teori tersebut, banyak orang menggunakan barang mewah untuk menandakan status sosial mereka. Namun, dalam Quiet Luxury, status sosial ini dinyatakan secara halus—hanya orang-orang yang benar-benar “paham” yang akan tahu bahwa baju simpelmu itu adalah karya desainer terkenal.
Pertanyaannya adalah, mengapa generasi muda tertarik dengan tren ini? Salah satu alasannya mungkin karena perubahan nilai yang terjadi pada masyarakat modern. Mereka ingin dikenal sebagai pribadi yang bijak dan tidak boros, namun tetap memiliki kelas. Quiet Luxury memungkinkan mereka untuk tetap terlihat sophisticated tanpa harus membanjiri timeline Instagram dengan foto tas berlogo besar.
#2. Strategi Finansial atau Trik Marketing?
Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa Quiet Luxury adalah strategi finansial yang cerdas. Daripada membeli barang murah yang cepat rusak, mereka memilih untuk menginvestasikan uang mereka pada barang-barang berkualitas tinggi yang tahan lama. Lebih sedikit belanja, lebih banyak efisiensi—begitu katanya. Namun, apakah ini benar-benar cara untuk menabung atau hanya tipu muslihat pemasaran?
Menurut kajian perilaku konsumsi, generasi muda cenderung lebih menghargai pengalaman dibandingkan barang-barang materi. Mereka cenderung memandang belanja barang mewah sebagai investasi jangka panjang daripada pengeluaran konsumtif. Tetapi, seperti yang sering kali terjadi dalam dunia pemasaran, industri mode dengan cepat menangkap tren ini dan memanfaatkan narasi kesederhanaan sebagai alasan untuk tetap menjual produk mereka dengan harga premium.
Sebagai contoh, lihatlah merek-merek seperti Loro Piana atau The Row. Pakaian mereka terlihat sangat sederhana dan minimalis, tapi coba cek harga mereka—mereka tidak main-main. Barang yang terlihat sederhana ini justru menjadi lebih mahal karena diproduksi dalam jumlah terbatas dan menggunakan bahan berkualitas premium.
Apakah ini strategi finansial yang cerdas? Tergantung perspektifmu. Jika barang itu benar-benar bertahan lama dan tidak tergoda oleh tren cepat, mungkin iya. Namun, kalau kamu akhirnya tetap tergoda untuk terus berbelanja “sesuatu yang baru,” ya, mungkin dompetmu tetap akan merana.
#3. Kepuasan Psikologis: Antara Gaya dan Status Sosial
“People who think money can’t buy happiness just don’t know where to shop.” — Bo Derek
(Terjemahan: Orang yang berpikir uang tidak bisa membeli kebahagiaan hanya belum tahu di mana harus belanja.)
Di balik gaya hidup Quiet Luxury, ada unsur psikologis yang mendalam. Orang-orang yang mengadopsi tren ini mungkin tidak ingin pamer secara terbuka, tapi tetap ingin mendapatkan validasi dari lingkungan mereka. Fenomena ini disebut dengan istilah signaling dalam kajian perilaku manusia. Meski secara fisik mereka terlihat sederhana, ada pesan tidak langsung yang mereka kirimkan: “Aku mampu membeli barang mahal, tapi aku tidak perlu memamerkannya.”
Tren ini menunjukkan bahwa sebagian orang merasa lebih nyaman ketika tidak menarik perhatian terlalu banyak, namun tetap ingin diakui oleh mereka yang “tahu.” Seakan-akan, semakin sedikit kamu berusaha terlihat mewah, semakin mewah dirimu di mata orang lain. Inilah daya tarik tersembunyi dari Quiet Luxury.
Tapi tunggu, jangan salah kaprah. Tren ini juga bisa membawa tekanan sosial tersendiri. Apa artinya? Meski tidak ada logo besar di bajumu, kamu tetap merasakan tekanan untuk “tampil” elegan dengan cara yang lebih tersembunyi. Dan ini, secara tidak langsung, justru menambah beban finansialmu. Ironis, bukan?
***
Quiet Luxury adalah fenomena yang menarik karena menggabungkan dua konsep yang bertolak belakang: kesederhanaan dan kemewahan. Apakah tren ini benar-benar menghemat uang atau sekadar strategi pemasaran yang cerdas, semuanya kembali pada bagaimana kamu memandangnya. Jika kamu memilih barang-barang berkualitas yang bertahan lama dan tidak terpengaruh oleh tren, maka itu mungkin investasi yang baik. Tapi jika kamu mengadopsi tren ini untuk mencari validasi sosial, maka siap-siap saja menghadapi godaan untuk terus berbelanja.
Pada akhirnya, apakah Quiet Luxury merupakan strategi finansial atau hanya sekadar tren? Tergantung apakah kamu siap menjawab pertanyaan: “Siapa yang sebenarnya ingin kamu puaskan, diri sendiri atau orang lain?”
Selamat mempertimbangkan pilihan, dan jangan lupa: sering kali yang terlihat sederhana itu malah lebih rumit!
Maturnuwun,
Growthmedia