Informasi Terpercaya Masa Kini

Cerita Saksi Hidup Tsunami 13 Meter di Banyuwangi: Panjat Pohon Sirsak, Bergelayut Jeriken

0 3

TEMPO.CO, BanyuwangiGempa berkekuatan 7,8 dalam Skala Richter memicu tsunami menghantam kawasan pesisir Selatan Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, 30 tahun lalu. Saat itu gelombang laut yang datang ke Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran terukur setinggi sekitar 13 meter sehingga menyebabkan jatuhnya ratusan korban jiwa.

Mengenang kejadian bencana itu, Direktorat Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengadakan Refleksi Gempa Tsunami 1994 Kabupaten Banyuwangi, di Kantor Desa Sumberagung, pada Selasa lalu, 27 Agustus 2024. Hadir dalam kegiatan itu, Deputi Bidang Pencegahan BNPB, Prasinta Dewi, beserta Direktur Kesiapsiagaan BNPB, Pangarso Suryotomo.

Refleksi untuk pembelajaran bagi masyarakat dan juga perangkat daerah khususnya yang bergerak dalam penanggulangan bencana tersebut menghadirkan pula saksi hidup kejadian gempa dan tsunami pada 2 Juni 1994 lalu. Salah satunya adalah Susilowati yang mengatakan berumur 11 tahun atau duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar saat selamat dari bencana tsunami itu.

“Saat itu, saya bersama kakek dan nenek berada di rumah di Pulau Merah yang jaraknya tidak terlalu dekat juga dari pantai,” tuturnya. Dia menyatakan menyadari dan masih mengingat guncangan gempa kuat pada dinihari kala itu namun langsung tidur lagi. Ternyata tsunami datang menyusul gempa tersebut.

“Ketika tsunami tiba, saya bersama kakek dan nenek sempat berlari ke luar rumah dan memanjat pohon sirsak,” katanya mengenang. Di depan matanya rumahnya roboh dihantam gelombang. “Sekitar 15 menit kemudian air mulai surut dan warga lainnya datang membantu kemudian bersama-sama mengungsi ke Balai Desa.”

Yeni, saksi hidup lainnya, berusia sebaya Susilowati. Saat tsunami menerjang, dia diselamatkan oleh pamannya yang saat itu belum tidur. Yeni selamat karena berpegangan pada material rumah yang saat itu ikut hanyut. Kemudian, ketika mengikuti arus, dirinya tersangkut sehingga dapat bertahan hingga air surut.

Suasana Kegiatan Refleksi Gempa Tsunami 1994 yang menghadirkan masyarakat yang menjadi saksi hidup selamat dari peristiwa gempa dan tsunami yang terjadi pada 2 Juni tahun 1994 yang lalu. Acara ini dihelat di Kantor Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur pada Selasa, 27 Agustus 2024. Foto: BNPB

Eko yang juga salah satu korban selamat, mengingat bagaimana rumahnya terhantam ombak dua kali. Hantaman pertama rumah masih bisa bertahan namun sudah banyak kerusakan. Pada hantaman kedua, rumah langsung roboh. Setelah itu dirinya berenang mengikuti arus air. Beruntung dia tersangkut di kayu dan sebuah jeriken membuatnya bisa tetap mengapung.

Dalam keterangan tertulis yang dibagikan dari refleksi tsunami dan apel kesiapsiagaan dan simulasi evakuasi bencana tersebut, Prasinta Dewi mengatakan bahwa tsunami 30 tahun lalu menelan total 229 korban jiwa dan hilang 23 orang. “Kita harus lakukan edukasi dan sosialisasi kembali,” ujarnya.

Prasinta menekankan pentingnya melakukan gladi simulasi evakuasi mandiri secara rutin agar setiap orang tahu apa yang harus dilakukan. “Sebetulnya simulasi sudah sering dilakukan, kegiatan ini harus diulang terus menerus,” lanjutnya.

Deputi Bidang Pencegahan BNPB, Prasinta Dewi, M.A.P (kemeja hitam dan rompi) didampingi Direktur Kesiapsiagaan BNPB, Pangarso Suryotomo saat meninjau rambu dan papan informasi rawan tsunami di permukiman dan wisata pantai yang ada di Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur pada Senin, 26 Agustus 2024. Foto: BNPB

Ia mengatakan sampai saat ini belum ada teknologi yang dapat memprediksi gempa bumi dengan tepat dan akurat, kapan, di mana, dan berapa kekuatannya. Apel kesiapsiagaan memiliki manfaat untuk mengetahui sejauh mana kesiapan dari personel dan peralatan jika suatu saat bencana sesungguhnya terjadi.

Menurutnya, berdasarkan cerita pengalaman dari beberapa warga yang selamat, ada beberapa yang dapat dijadikan pembelajaran dan bekal bagi masyarakat. Antara lain dengan melakukan mitigasi berbasis vegetasi, yaitu melakukan penanaman pohon yang berakar kuat serta kokoh guna menjadi tempat untuk berlindung ketika tsunami datang.

Dapat juga dengan menyediakan lahan untuk Hutan Pantai yang berisikan Pohon Kelapa, Pohon Cemara, Pohon Pule, Pohon Ketapang, Pohon Mahoni dan Pohon Beringin yang juga dapat dimanfaatkan untuk penahan arus gelombang dan sebagai tempat berlindung. Selain itu penanaman mangrove sebagai salah satu upaya pemecah dan penahan gelombang tsunami

Pilihan Editor: Geolog BRIN Amini Kemungkinan Gempa Megathrust Mentawai-Siberut Cukup Besar

Leave a comment