Informasi Terpercaya Masa Kini

Ketika Etika dan Sumpah Menjadi Teks Mati

0 4

“… Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota DPR dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan. Bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia…”

LAFAL sumpah itu diucapkan anggota DPR saat dilantik sebagai anggota DPR. Mereka dilantik 1 Oktober 2019.

Mungkin karena sudah terlalu lama, anggota DPR lupa akan lafal sumpah yang diucapkannya. Akibatnya, anggota Badan Legislatif DPR – tentunya atas perintah Pimpinan DPR – langsung membahas revisi UU Pilkada untuk mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi No 60/2024 maupun Putusan MK No 70/2024.

Padahal, mereka sudah bersumpah untuk berpedoman pada UUD 1945 dan berkomitmen pada demokrasi dan mengutakaman kepentingan rakyat.

Beruntung upaya itu digagalkan masyarakat sipil. Melalui gelombang unjuk rasa di sejumlah kota, masyarakat sipil menyelamatkan agenda pengabaian konstitusi oleh Baleg DPR dan sejumlah menteri.

Yang jadi pertanyaan, mengapa sumpah yang diucapkan itu dilupakan, mengapa landasan etika yang ditetapkan MPR tahun 2001 diabaikan?

Hari Selasa 27 Agustus 2024, saya diundang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk curah pendapat soal Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara. Curah pendapat itu dipandu anggota Dewan Pengarah BPIP Prof. Dr. Amin Abdullah.

Acara itu juga dihadiri Sekretaris Dewan Pengarah BPIP Mayjen (Purn) Wisnu Bawa Tenaya dan Romo Benny Susetyo.

Saya diundang untuk ikut sumbang saran pada sesi kedua FGD bersama Yenti Garnasih (ahli hukum), Prof. Dr. Hamdi Muluk (psikolog), Ismail Hasani (Ketua Badan Pengurus Setara Institut), Michael Dua Tengagatu (pakar etika), dan mantan Pimpinan KPK Saut Situmorang.

Saya sendiri mengatakan, bicara soal etika penyelenggara negara seakan bicara yang ada di buku-buku teks, tapi tak ada dalam praktik.

Setumpuk aturan soal etika, sebenarnya sudah tertera dalam teks Ketetapan MPR No VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Masalahnya, etika itu hanya menjadi ornamen. Teks mati yang tak punya arti.

Gerakan Refomasi 1998 mengakhiri kekuasaan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Jenderal Besar Soeharto memutuskan berhenti sebagai Presiden pada 21 Mei 1998 atas desakan rakyat.

Merespons dinamika sosial-politik di Jakarta, MPR menggelar Sidang Istimewa MPR tahun 1998 dan tahun 2001.

Gerakan Reformasi 1998 meneriakkan enam tuntutan reformasi, yakni: (1) pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto dan kroninya; (2) pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotime; (3) penegakan supremasi hukum; (4) amandemen konstitusi; (5) otonomi daerah seluas-luasnya; dan (6) cabut Dwi Fungsi ABRI.

Enam tuntutan reformasi itu saatnya direfleksikan dalam situasi sekarang ini.

Dua puluh enam tahun setelah Gerakan Reformasi 1998, muncul lagi gerakan masyarakat sipil tahun 2024 yang melawan kehendak elite untuk mengabaikan konstitusi.

Dalam Sidang Istimewa MPR tahun 2001, MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.

Tap MPR bisa dipandang sebagai refleksi dan introspeksi mendalam lembaga tertinggi negara atas situasi kebatinan bangsa saat Orde Baru jatuh. MPR merespons situasi kebangsaan pada tahun 2001:

“….sejak terjadinya krisis multidimensional, muncul ancaman serius terhadap persatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya yang disebabkan berbagai faktor yang berasal, baik dari dalam maupun luar negeri…”

MPR 2001 kemudian mengidentifikasi faktor dalam negeri dan luar negeri yang mengakibatkan krisis ekonomi, krisis sosial dan krisis politik Mei 1998. Faktor dalam negeri mencakup:

  1. Lemahnya penghayatan dan pengamalan agama;
  2. Sentralisasi pemerintahan di masa lampau yang mengakibatkan terjadinya penumpukan kekuasaan di pusat dan pengabaian kepentingan daerah;
  3. Tidak berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebinekaan dan kemajemukan;
  4. Terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun waktu panjang, melewati ambang batas kesabaran masyarakat secara sosial;
  5. Kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin;
  6. Tidak berjalannya penegakan hukum dan lemahnya kontrol sosial untuk mengendalikan perilaku yang menyimpang dari etika;
  7. Meningkatnya prostitusi, media pornografi, perjudian, serta pemakaian, peredaran, dan penyelundupan obat-obat terlarang dan faktor internasional.

Rasanya, 23 tahun kemudian saatnya elite politik perlu berhenti sejenak, melakukan introspeksi diri apakah identifikasi MPR tahun 2001, dan enam tuntutan reformasi tahun 1998 masih relevan dengan kondisi kekinian.

Soal ketidakadilan ekonomi, soal keteladanan, dan lumpuhnya penegakan hukum, soal perjudian. Rasanya belum ada perubahan signifikan. Soal krisis keteladanan rasanya itulah kenyataan yang ada.

Bangsa ini banyak kehilangan “muazin”, namun belum mampu memunculkan “muazin” bangsa yang baru.

Kita kehilangan Hatta, kita kehilangan Agus Salim, kita kehilangan Nurcholish Madjid, kita kehilangan Buya Ahmad Syafii Maarif, kita kehilangan Gus Dur, kita kehilangan IJ Kasimo dengan politik bermartabat.

Kita belum berhasil menemukan kembali “muazin” bangsa. Sosok “muazin” yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, mau berada di tengah masyarakat dan menjadi payung kebangsaan dan membangun jembatan.

Soal hukum yang lumpuh. Banyak orang membaca ada tren bangsa ke arah autocratic legalism. Bukan lagi rule of law, tapi rule by law.

Hukum ditempatkan sebagai alat kekuasaan politik. Hukum dijadikan alat sandera politik. Itu juga disinggung Ismail Hasani dalam FGD.

Bahkan prediksi yang mengkhawatirkan, sebagaimana ditulis Prof Dr Jimly Assidhiqie dalam buku “Oligarki dan Totalitarianisme Baru (2023)”, bangsa ini mengarah kepada Neo Totalitarianisme.

Pada 2001, MPR merumuskan perlunya etika berbangsa dan bernegara. Ada enam etika yang digariskan MPR.

Pertama, Etika Sosial Budaya. “… perlu menumbuhkembangkan budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan. Budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin, baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat…”

Apakah etika sosial budaya itu diterapkan?

Kedua, Etika Politik dan Pemerintahan. “… Setiap pejabat dan elite politik bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.”

“… perilaku politik toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.”

Apakah etika itu dijalankan?

Ketiga, Etika Bisnis dan Ekonomi. “… mencegah monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang mengarah kepada perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme, diskriminasi…”

Keempat, Etika Penegakan Hukum Berkeadilan. “… Penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan…”

“Frase menghindarkan penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan” yang digariskan MPR 2001, bukan itu yang terjadi sekarang ini. Hukum dijadikan alat sandera politik. Hukum diakali untuk ambis kekuasaan.

Kelima, etika Keilmuan. “… pentingnya budaya kerja keras dengan menghargai dan memanfaatkan waktu, menepati janji dan komitmen diri untuk mencapai hasil yang terbaik.”

Keenam, Etika Lingkungan. “… kesadaran menghargai dan melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara berkelanjutan dan bertanggungjawab.

Esensi pokok dari pelanggaran etika adalah benturan kepentingan. Benturan kepentingan itu membahayakan.

Tren Indonesia saat ini mengarah pada Totalitarianisme baru di mana kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pengusaha serta media berada di satu tangan.

Dalam buku Oligarki dan Totalitarianisme Baru yang ditulis Jimly Asshidiqie itu, ada perkembangan mengkhawatirkan. Kerapuhan etika penyelenggara negara terjadi karena bangsa ini krisis keteladanan. Krisis keteladanan terjadi karena banyaknya benturan kepentingan.

Penyelenggara negara yang seharusnya membuat kebijakan untuk publik, tapi juga punya usaha sejenis.

Penyelenggara berteriak soal mobil listrik karena dia punya kerja sama usaha soal mobil listrik. Sementara masyarakat sipil terjebak dalam gratifikasi konsesi.

Lalu bagaimana? Saya sendiri mengusulkan perlunya disegerakan UU Lembaga Kepresidenan.

Pada cabang kekuasaan legislatif diatur dengan UU MPR/DPR/DPD. Di cabang kekuasaan yudikatif diatur dalam UU Mahkamah Agung, UU Mahkamah Konsitusi, UU Komisi Yudisial.

Di cabang kekuasan eksekutif ada UU Kementerian Negara, UU Dewan Pertimbangan Presiden, UU Polri, UU TNI, UU Pemerintahan Daerah.

Namun, mengapa tidak ada UU Lembaga Kepresidenan? Padahal, pada diri seorang presiden, melekat sejumlah atribusi sebagai kepala pemerintahan, kepala negara, penguasa tertinggi atas Angkatan, sebagai ketua umum parpol, dan juga sebagai kepala keluarga.

Sejarah mengatakan, pada situasi itulah, benturan kepentingan akan terjadi karena kekuasaan itu memesona, menggetarkan tapi juga memabukkan.

Saatnya BPIP “reborn” menggunakan Pancasila untuk menjawab problem nyata di tengah masyarakat.

Menanggapi kritik dari Fahry Ali yang menganggap BPIP terlalu elitis dan tidak menjawab problematika di tengah masyarakat, Amin Abdullah, mantan Rektor Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta, menjawab, kritik dan masukan terhadap BPIP merupakan momentum bagi BPIP untuk “reshaping dan reinventing”.

Leave a comment