Informasi Terpercaya Masa Kini

Cerita Kakek Wilhelmus Bersembunyi Belasan Tahun di Hutan demi Hindari Penjajah

0 3

SIKKA, KOMPAS.com – Wilhelmus Walo (94) berjalan sedikit membungkuk menuju teras rumahnya di Kampung Fata, Desa Wodamude, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Kamis (15/8/2024) petang.

Dia mengenakan kemeja putih dan sarung. Guratan-guratan wajahnya menunjukan bahwa usianya sudah tak mudah lagi.

Meski begitu, pendengaran, ingatan, dan penglihatannya masih kuat.

“Saya baru pulang dari TKK Sang Timur Magepanda mereka undang saya cerita tentang Indonesia sebelum merdeka,” ucap kakek Wilhelmus saat ditemui di rumahnya, Kamis.

Baca juga: Catatan Perjuangan Ibnu Parna dan Pemuda Semarang Lawan Penjajah di Purusara

Saban hari, kakek Wihelmus menghabiskan waktu di rumah. Sesekali ke tetangga sekitar dan Gua Maria yang berada tak jauh dari rumahnya.

Dia bercerita, sebelum tinggal di Fata, Wihelmus bersama orangtua menetap di Kampung Wolondeto, Desa Gera.

Di kampung itulah ia menghabiskan masa kecil hingga beranjak dewasa. Namun, kala itu situasinya sangat mencekam karena Indonesia masih dijajah.

Baca juga: Menilik Masjid Saka Tunggal di Kebumen, Simbol Perlawanan kepada Penjajah, Kini Berusia Lebih dari 300 Tahun

Dia ingat betul ketika Belanda memasuki wilayah mereka sekeluarga dan beberapa warga kampung bersembunyi di hutan.

Semua perlengkapan dan peralatan dapur dibawa serta. Jika pasokan makanan mulai berkurang, ayah Wilhelmus kembali ke kampung secara diam-diam.

Ia pun tidak diizinkan keluar dari lokasi persembunyian sampai mereka pulang.

“Kalau Bapak dan Mama ke kampung saya selalu cemas karena kalau ketahuan oleh orang Belanda mereka akan disiksa bahkan dibunuh,” kenangnya.

Kakek Wilhelmus menuturkan, selama di lokasi persembunyian mereka sangat menderita.

Tidak hanya kesulitan makanan, tetapi pakaian. Mereka hanya bisa mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit kayu.

Selepas Belanda pergi, giliran orang Jepang datang. Warga diperlakukan lebih sadis. Mereka dipekerjakan secara paksa dan disiksa.

“Kita harus hormat mereka dan tidak boleh melawan. Ada juga saat itu yang dibunuh karena melawan,” ucap dia.

Beberapa tahun kemudian, mereka mendapat kabar bahwa Jepang sudah kalah dan Indonesia segera memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

“Setelah proklamasi itu baru saya dan orangtua bisa keluar dari hutan. Saya berada di hutan lebih kurang 14 tahun bersembunyi,” kenangnya.

Pupuk nasionalisme sejak dini

Kepala TKK Sang Timur Magepanda, Suster Victorine, PIJ mengatakan, sejarah bangsa Indonesia perlu diajarkan kepada anak-anak sejak dini.

Sehingga, mereka bisa mengetahui peristiwa yang terjadi sebelum Indonesia merdeka.

“Maka kami cari saksi sejarah khususnya mereka yang lahir tahun 1945. Maka dapatlah kakek Martinus,” katanya.

“Tujuan kami supaya anak-anak mereka tahu bahwa bangsa Indonesia perang dijajah oleh negara lain,” tambahnya.

Suster Victorine menambahkan, ini kali pertama mereka menghadirkan saksi sejarah setiap kali HUT RI.

Harapannya, cerita ini bisa menumbuhkembangkan semangat nasionalisme anak-anak bangsa.

Leave a comment