Informasi Terpercaya Masa Kini

Marak Kasus Bunuh Diri Usia Muda, Ini Pemicunya Menurut Peneliti BRIN

0 78

TEMPO.CO, Jakarta – Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yurika Fauzia Wardhani, mengatakan mayoritas kasus bunuh diri belakangan menyangkut individu berusia muda. “Saya mengumpulkan informasi kasus bunuh diri dari 2012 sampai 2023. (Jumlah) tertinggi di usia produktif, atau remaja dan dewasa,” katanya melalui keterangan tertulis, Senin, 29 Juli 2024.

Sejauh ini, menurut dia, bunuh diri masih merupakan fenomena kompleks yang akar masalahnya masih abu-abu, sehingga belum bisa disimpulkan secara spesifik. Merujuk data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada lebih dari 800 ribu insiden bunuh diri setiap tahunnya.

Seperti kata Yurika, sebagian besar insiden itu dilakukan individu usia produktif. Untuk usia remaja, dia meneruskan, bunuh diri dipicu tekanan akademis, sosial, serta harapan tinggi untuk lebih berprestasi dan berkompeten di bidang akademi. Ada juga faktor perubahan hormon, emosi, permasalahan keluarga, bullying secara langsung maupun di kanal digital, pengaruh informasi bebas, masalah identitas diri, serta kurangnya sumber dukungan kepada para remaja.

Penyebab bunuh diri di rentang usia dewasa tidak berbeda dengan usia remaja. Alasan yang berbeda ada pada kasus bunuh diri lansia. Isu yang sempat mengundang perhatian adalah bunuh diri pada usia 90 tahun. “Ada beberapa hal yang mendorong bunuh diri di usia lansia dan manula, yaitu kesehatan mental, rasa kesepian, penyakit menahun, dan akses meminta pertolongan yang terhambat,” tutur Yurika.

Bila dibagi berdasarkan jenis kelamin, angka bunuh diri laki-laki tergolong tinggi. Yurika menyebutkan soal budaya patriarki yang menganggap laki-laki lebih tegar dibanding lawan jenisnya. Dengan tren sosial ini, laki-laki cenderung sulit berbagi masalah. Efeknya adalah insiden bunuh diri dengan sejumlah cara, mulai dari minum racun, melukai diri dengan alat, melompat dari tempat tinggi, dan sebagainya.

Menurut Yurika, kasus bunuh diri bisa dihindari dengan peningkatan kesadaran dan pendidikan, pemberian layanan kesehatan mental yang lebih baik, serta dukungan untuk keluarga dan komunitas. Dia juga mendorong kemitraan antar instansi untuk membuat sejenis program pencegahan bunuh diri, dilengkapi dengan penelitian dan pencatatan data.

“Yang rapi dan terpusat agar bisa diakses oleh lembaga yang berkepentingan,” tutur dia.

Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, Ni Luh Putu Indi Dharmayanti, menyatakan bunuh diri tidak hanya mempengaruhi kehidupan individu, namun juga keluarga, lingkungan kerja, dan masyarakat luas. Kehilangan seseorang di usia produktif, kata dia, sama dengan kehilangan potensi dan kontribusi bagi pembangunan bangsa.

“Oleh karena itu, pencegahan bunuh diri adalah tanggung jawab bersama,” ucap Indi.

Dia menekankan soal pentingnya pemahaman terhadap faktor penyebab bunuh diri, mulai dari tekanan ekonomi, masalah kesehatan mental, hingga kurangnya dukungan sosial. Pemahaman yang lebih baik menjadi modal untuk mengembangkan strategi pencegahan yang efektif.

“Selain intervensi medis dan psikologis, pendekatan holistik yang mencakup pendidikan, kampanye kesadaran, dan kebijakan pendukung kesehatan mental sangat penting,” katanya.

Pilihan Editor: Apakah Kampus Muhammadiyah Juga Berminat Membuka Jurusan Tambang? Ini Jawabnya

Leave a comment