Boeing Ngaku Salah, Ini Dampak bagi Korban Kecelakaan Lion Air
Bisnis.com, JAKARTA – Boeing mengaku bersalah dalam tuduhan konspirasi penipuan kriminal dan membayar denda sebesar US$243,6 juta untuk menyelesaikan penyelidikan Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) terhadap dua kecelakan fatal Boeing 737 MAX.
Hal ini diungkapkan oleh pemerintah dalam pengajuan pengadilan pada Minggu waktu setempat (7/7/2024). Kesepakatan pembelaan, yang memerlukan persetujuan hakim, akan membuat Boeing menjadi penjahat terpidana.
Kecelakaan fatal tersebut terjadi di Indonesia (Lion Air) dan Ethiopia (Ethiopian Airlines) pada 2018 dan 2019 yang menewaskan 346 orang. Penyelesaian langsung menuai kritik dari keluarga korban yang menginginkan perusahaan tersebut menghadapi persidangan dan menanggung akibat finansial yang lebih berat.
Pengakuan bersalah ini berpotensi mengancam kemampuan perusahaan untuk mendapatkan kontrak pemerintah yang menguntungkan dengan Departemen Pertahanan AS dan NASA, meskipun perusahaan dapat mencari pengecualian.
Baca Juga : AS Bakal Pidanakan Boeing Akibat 2 Kecelakaan Fatal Kesepakatan Terlalu Ringan
Dalam kasus ini, juru bicara Boeing mengonfirmasi bahwa pihaknya telah mencapai kesepakatan prinsip mengenai ketentuan penyelesaian dengan Departemen Kehakiman AS.
Sebagai bagian dari kesepakatan, Boeing setuju untuk menghabiskan setidaknya US$455 juta selama tiga tahun ke depan untuk meningkatkan program keamanan dan kepatuhan. Dewan direksi Boeing harus bertemu dengan keluarga korban kecelakaan Lion Air dan Ethiopian Airlines.
Kesepakatan ini juga memberlakukan pemantau independen, yang harus mengajukan laporan kemajuan tahunan secara publik, untuk mengawasi kepatuhan perusahaan. Boeing akan berada dalam masa percobaan selama masa tugas pengawas selama tiga tahun.
Pengacara beberapa keluarga korban mengatakan mereka berencana untuk mendesak Hakim Reed O’Connor, yang telah mengawasi kasus ini, untuk menolak kesepakatan tersebut.
Dalam dokumen terpisah yang diajukan ke pengadilan, mereka mengutip pernyataan O’Connor dalam putusan Februari 2023 bahwa kejahatan Boeing mungkin dapat dianggap sebagai kejahatan korporat paling mematikan dalam sejarah AS.
Seorang pengacara di Kreindler & Kreindler LLP yang mewakili beberapa keluarga korban, Erin Applebaum, mengatakan bahwa kesepakatan ini adalah sebuah “tamparan ringan”.
Dampak Bagi Korban Kecelakaan Lion Air Indonesia
Dalam kasus tersebut, keluarga dari sekitar 189 orang yang tewas ketika pesawat Lion Air 610 jatuh di Laut Jawa, Indonesia pada 2018 menuturkan bahwa mereka memiliki perasaan campur aduk.
Salah satu keluarga korban bernama Bias Ramadhan menuturkan bahwa ibunya, Hasna, yang berada dalam penerbangan, meragukan ada eksekutif Boeing yang akan dihukum karena potensi penipuan.
“Sampai saat ini, mereka selalu berhasil lepas dari tanggung jawab mereka. Saya berharap orang-orang dari Boeing dipenjara atas apa yang mereka lakukan, tetapi sisi realistis saya tahu pasti tidak seorang pun akan dipenjara,” jelasnya, dikutip dari South China Morning Post, Selasa (9/7/2024).
Meski demikian, dia tetap mendukung segala bentuk tuntutan hukum terhadap Boeing dan berharap yang terbaik.
Jurnalis Indonesia Anton Sahadi, dengan istrinya yang kehilangan dua sepupunya yang berusia 24 tahun, yakni Riyan Aryandi dan Ravi Andrian, menuturkan bahwa tuntutan pidana apapun adalah baik dan masuk akal.
Namun, tidak semua keluarga korban juga menyambut berita dengan baik mengenai tuntutan hukum lebih lanjut.
Baca Juga : Boeing Terancam Dipidanakan dan Didesak Mengaku Salah Atas 2 Kecelakaan Fatal
Neuis Marfuah, yang putrinya yang berusia 23 tahun, Vivian Hasna Afifa, meninggal dalam kecelakaan Lion Air, menyampaikan perasaan sedih dan merasa tidak ada kedamaian bagi para korban yang meninggal.
Menurutnya, keadilan seharusnya ditegakkan sejak awal ketika tanda-tanda kelalaian pertama ditemukan, dan bahwa Boeing seharusnya tidak mengabaikan masalah keselamatan.
Adapun, penerbangan Lion Air 610 jatuh ke laut pada 29 Oktober 2018 dalam perjalanan dari Jakarta menuju Pangkal Pinang. Kesalahan pilot awalnya diduga sebagai penyebab kecelakaan fatal tersebut.
Lima bulan setelahnya, penerbangan Ethiopian Airlines 302 jatuh enam menit setelah lepas landas dari bandara di Addis Ababa dalam perjalanan menuju Kenya, menewaskan seluruh 157 orang.
Dalam kedua kecelakaan tersebut, sistem augmentasi karakteristik manuver penerbangan (MCAS) ditemukan mengalami kerusakan. Sensor secara keliru mengindikasikan hidung pesawat terlalu tinggi, menyebabkan MCAS aktif dan memaksa pesawat jatuh ke tanah dalam upaya menghindari stall (posisi ketika pesawat kehilangan daya angkat).
Sumber: Reuters, South China Morning Post