Alasan Generasi Muda di China Enggan Rayakan Imlek

Di platform media sosial populer seperti Xiaohongshu dan Weibo, ratusan anak muda menulis bahwa mereka tidak akan pulang untuk merayakan Imlek.

Alasan Generasi Muda di China Enggan Rayakan Imlek

BEIJING, KOMPAS.com - “Kalau saya punya pilihan, saya pasti tidak akan pulang ke rumah,” kata Yuwen, pria berusia 33 tahun yang telah menganggur selama lebih dari enam bulan, beberapa hari menjelang Tahun Baru Imlek yang jatuh pada Sabtu (10/2/2024).

Hampir 380 juta warga China yang tinggal jauh dari kampung halaman hanya pulang ke rumah satu kali setiap tahunnya —dan Tahun Baru China, festival paling penting untuk reuni keluarga, adalah waktu yang tepat untuk melakukan hal tersebut.

Itu sebabnya perjalanan berbondong-bondong pulang ke kampung halaman—yang dikenal sebagai chunyun oleh warga China—merupakan migrasi massal terbesar di dunia setiap tahunnya.

Baca juga: Asal-usul Tahun Baru Imlek dan Makna Tahun Naga Kayu

Pihak berwenang memperkirakan, akan ada sembilan miliar perjalanan pada perjalanan mudik untuk merayakan tahun naga kali ini.

Kendati begitu, Yuwen mengaku cemas dengan perjalanan mudiknya karena khawatir akan ditanyai kerabatnya tentang segala aspek hidupnya—termasuk situasi pekerjaan, seperti gaji dan tunjangan.

Orangtuanya paham betul dengan kondisinya saat ini yang tak memiliki pekerjaan dan tidak memberikan tekanan terlalu banyak terhadapnya, tetapi keluarga besarnya tak tahu apa-apa.

Orangtuanya setuju Yuwen akan berbohong bahwa dia masih memiliki pekerjaan lamanya.

Yuwen hanya akan bertemu kerabatnya di rumah selama tiga hari—biasanya dia akan menghabiskan waktu lebih dari sepekan bersama mereka.

“Ini akan segera berakhir,” katanya.

Di platform media sosial populer seperti Xiaohongshu dan Weibo, ratusan anak muda menulis bahwa mereka tidak akan pulang untuk merayakan Imlek. Seperti Yuwen, beberapa dari mereka baru-baru ini menjadi pengangguran.

Lebih dari satu dari lima orang berusia antara 16 dan 24 tahun di perkotaan adalah pengangguran, menurut data resmi bulan Juni 2023.

Pemerintah China menunda rilis data pengangguran kaum muda hingga bulan lalu. Angka pengangguran sekarang mencapai 14,9 persen—tetapi data tersebut tidak termasuk siswa.

Setelah mengalami pertumbuhan yang sangat besar selama beberapa dekade, perekonomian China melambat dan pemulihan pasca-Covid yang ditunggu-tunggu belum terwujud. Pasar properti di negara ini anjlok dan utang pemerintah daerah meningkat.

Namun, krisis kepercayaan mungkin merupakan masalah yang paling pelik—para investor khawatir bahwa kepemimpinan China akan memprioritaskan kendali partai atas pembangunan ekonomi.

Di bawah pemerintahan Xi Jinping, sejumlah tindakan keras terhadap perusahaan swasta dilakukan—mulai dari perusahaan teknologi hingga bimingan belajar privat.

Hubungan dengan negara-negara Barat juga memburuk karena China semakin menunjukkan gigi menentang tatanan global.

Yuwen adalah korban tindakan keras terhadap perusahaan swasta. Pada 2014, ia memutuskan untuk mengejar gelar sarjana dalam pendidikan bahasa Mandarin di Beijing, sekitar 297 km jauhnya dari kampung halamannya di provinsi Hebei.

Hal ini dilakukan untuk “mengikuti gelombang kebijakan nasional” setelah Xi meluncurkan inisiatif Belt and Road setahun lalu demi mencari pengaruh yang lebih besar di luar negeri.

Baca juga: Menilik Seberapa Sukses Proyek Belt and Road Initiative China

Setelah lulus, ia segera mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan bimbingan belajar swasta dan ditugaskan untuk mengelola dan melatih tutor asing untuk siswa China.

Namun, pada Juli 2021, Pemerintah China melarang bimbingan belajar swasta yang mencari keuntungan atas nama meringankan beban siswa.

Ini menjadi mantra kematian bagi industri bimbingan belajar.

Yuwen terpaksa berganti profesi dan mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan teknologi besar pada Januari 2023. Dia bertanggung jawab merumuskan aturan streaming langsung untuk platform luar negeri dan mengawasi kinerja influencer terkemuka.

Dia bertahan dengan pekerjaan barunya hanya dalam waktu hitungan bulan. Pasalnya, perusahaan tempatnya bekerja memutuskan untuk memindahkan operasi luar negerinya ke luar China setelah Amerika Serikat mengancam akan memberikan sanksi terhadap perusahaan teknologi China karena masalah keamanan nasional.

Upaya-upaya tegas yang dilakukan terhadap perusahaan teknologi besar sejak akhir 2020 telah menghapus nilai lebih dari 1 triliun dollar AS (Rp 15,63 kuadriliun), menurut laporan Reuters pada Juli.

Selama enam bulan terakhir, Yuwen telah mengirimkan lebih dari 1.000 resume. Ia belum menerima tawaran pekerjaan apa pun meski ekspektasi gajinya sudah diturunkan.

“Awalnya saya merasa cukup tenang, tapi kemudian saya menjadi semakin cemas. Saya tidak menyangka akan sesulit ini.”

Di selatan Kota Shenzhen, Qingfeng, seorang pelatih kebugaran, memutuskan untuk bepergian sendiri untuk merayakan Tahun Baru Imlek. Dia mengaku akan berbohong kepada orangtuanya bahwa dia tidak bisa membeli tiket.

“Siapa yang tidak ingin pulang untuk merayakan tahun baru? Tapi saya merasa malu.”

Setelah meninggalkan militer pada 2019, Qingfeng mulai bekerja sebagai instruktur kebugaran di Shanghai, dengan penghasilan sekitar 20.000 yuan (Rp 43,47 juta). Tahun lalu, dia pindah ke Shenzhen agar bisa lebih dekat dengan pacarnya yang sedang belajar di kota tetangga, Hong Kong.

Demi mendapat pekerjaan yang lebih baik, pria berusia 28 tahun ini mencari pekerjaan di sebuah perusahaan perdagangan asing. Gaji yang dia terima sekitar 4.500 yuan (Rp 9,78 juta)—tetapi pekerjaan itu tak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya karena untuk biaya sewa tempat tinggalnya dia harus mengeluarkan 1.500 yuan (Rp 3,26 juta) setiap bulan.

Ekspor, yang merupakan penggerak utama ekonomi China, melemah karena memburuknya hubungan China dengan negara-negara Barat. Hingga kini, Presiden AS Joe Biden belum menghapus tarif perdagangan atas barang-barang ekspor dari China yang diterapkan pada masa pemerintahan Donlad Trump.

Qingfeng meninggalkan pekerjaannya dua bulan kemudian dan kini dipekerjakan oleh gym baru yang akan dibuka setelah liburan. Namun, dia tidak ingin bertemu keluarganya karena dia telah kehilangan hampir seluruh tabungannya tahun lalu. Dia belum mau membeberkan apa yang terjadi padanya.

“Bisa dibilang saya gagal di pasar saham.”

Pada awal Februari, saham China jatuh ke level terendah dalam lima tahun. Akun Weibo milik Kedutaan Besar AS telah menjadi "tembok ratapan" bagi para investor China, bahkan ada yang meminta bantuan dari Amerika. Beberapa mengkritik kepemimpinan saat ini.

Baca juga: Imlek 2023: Orang China Sambut Tahun Kelinci, Orang Vietnam Tahun Kucing, Siapa yang Benar?

Qingfeng tidak yakin apakah dia akan mampu membangun basis pelanggan baru di tengah krisis ekonomi yang terjadi saat ini di China.

“Banyak pusat kebugaran besar tutup belakangan ini karena utang mereka yang tinggi.”

Perekonomian yang lesu bukanlah satu-satunya alasan keengganan warga China pulang ke rumah untuk merayakan Imlek bersama keluarga.

Sejumlah perempuan lajang mengaku tak mau ditekan untuk segera menikah oleh keluarga mereka ketika pertemuan keluarga—dan Xiaoba adalah salah satunya.

Terlepas dari tahun-tahun pandemi, ini menjadi tahun pertamanya tidak pulang ke rumah selama perayaan Imlek.

"Saya telah bekerja di seluruh negeri. Tiap kali saya pergi ke sebuah kota, ibu saya tiba-tiba menemukan seorang pria dan menyuruh saya untuk kencan buta. Itu keterlaluan," kata manajer proyek berusia 35 tahun itu.

Populasi China menyusut selama dua tahun berturut-turut. Rendahnya angka kelahiran berarti China akan kehilangan pekerja muda, yang merupakan kekuatan utama dalam mendorong perekonomian negara tersebut.

Kaum muda semakin enggan untuk menikah dan memiliki anak, dan jumlah pernikahan tercatat menurun selama sembilan tahun berturut-turut, menurut data resmi.

Pada Oktober silam, Xi mengatakan perempuan memainkan “peran unik” dalam mempromosikan nilai-nilai tradisional dan ada kebutuhan untuk menumbuhkan “budaya pernikahan dan melahirkan anak baru” untuk mengatasi masalah populasi.

Namun, upaya pemerintah untuk mendorong angka pernikahan dan kelahiran sejauh ini belum efektif.

Xiaoba tidak lagi merasa panik untuk menikah dan menikmati gaya hidupnya. Dia berencana menghabiskan Tahun Baru Imlek bersama kucingnya dan menonton acara televisi di apartemen sewaannya di Shenzhen.

Yuwen berharap Tahun Baru Imlek berikutnya akan lebih baik.

“Saya yakin saya akan berhasil karena saya telah bertekad. Saya tidak pernah berpikir untuk menyerah.”

Kendati begitu, dia mengaku ada hal-hal di luar kendalinya.

“Saya tidak terlalu optimis dengan perekonomian pada tahun 2024.”

Baca juga: Semakin Banyak Anak Muda di China Enggan Menikah dan Membangun Keluarga

Narasumber yang diwawancara untuk liputan ini menggunakan nama samaran.

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow