Informasi Terpercaya Masa Kini

Yang Terjadi dengan Palestina Jika Trump atau Kamala Harris Menang Pemilu

0 7

Perang di Gaza telah berlangsung lebih dari setahun. Tragedi ini menjadi salah satu isu sentral pada pemilu Amerika Serikat yang akan digelar pada Selasa (5/11) waktu setempat.

Negeri Paman Sam merupakan sekutu terdekat bagi Israel yang sedang menyerang warga Gaza. Akan tetapi dukungan pemerintah bertolak belakang dengan sikap kalangan warga AS.

Sejumlah lapisan masyarakat menolak bahkan naik pitam atas bantuan AS kepada Israel yang menyerang Gaza sampai menyebabkan 41 ribu orang tewas. Bahkan, pada pertengahan tahun ini kampus-kampus ternama di AS ramai-ramai menyerukan penolakan atas sikap AS.

Dalam podcast terbaru DipTalk yang tayang di YouTube kumparan, pakar hubungan internasional dari UGM, Dodi Ambardi, memaparkan pandangannya perihal dampak kemenangan Kamala Harris atau Donald Trump terhadap nasib Palestina.

Lulusan S2 University of Ohio itu mengatakan, kebijakan kedua tokoh tersebut terhadap konflik Israel-Palestina memiliki perbedaan.

Jika Donald Trump terpilih kembali, Dodi meyakini dukungan AS terhadap Israel akan semakin intens.

“Trump sendiri itu lebih keras pembelaannya, bukan lebih keras perlawanannya, lebih keras pembelaannya terhadap Israel. Dan nanti itu berarti kalau seandainya Trump menang, itu saya kira nasib Palestina itu lebih sengsara,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa di bawah kepemimpinan Trump, peluang Palestina untuk menjadi negara merdeka mungkin semakin menipis. Hal itu akibat sikap Trump yang cenderung memberi kebebasan lebih besar bagi Israel dalam menetapkan kebijakan regionalnya secara sepihak, termasuk dalam isu perbatasan yang selama ini menjadi sengketa.

Sebaliknya, Kamala Harris dikatakan membawa pendekatan berbeda, yakni mendukung penuh solusi dua negara atau two-state solution, yang dianggap sebagai upaya untuk mengakomodasi hak hidup dan kemerdekaan bagi Palestina dan Israel.

“Di atas kertas, konsep ini ideal,” jelas Dodi, meski ia juga mengakui bahwa tantangan besar akan tetap ada di lapangan, terutama dengan semakin mengerasnya sikap sejumlah pihak di Israel yang menentang konsep tersebut.

Selain itu, menurutnya kemenangan Trump juga diprediksi akan memperkuat tren normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dan Israel, sebagaimana terjadi dalam kesepakatan Abraham Accord yang diinisiasi pada masa kepemimpinannya.

Kesepakatan ini dianggap oleh Dodi sebagai bentuk tekanan diplomatik bagi negara-negara Arab dan Muslim untuk menjalin hubungan resmi dengan Israel, dan ia mencermati bahwa Indonesia mungkin akan merasakan dampak tekanan ini.

Secara keseluruhan, menurut Dodi, kepemimpinan Trump kemungkinan besar akan memperumit posisi Palestina, sementara Kamala—meski menawarkan harapan melalui solusi dua negara—masih harus menghadapi berbagai tantangan di lapangan jika terpilih.

Jawaban Terkait Perang Gaza dalam Debat

Debat yang mempertemukan Kamala dan Trump pada September lalu menyinggung bagaimana keduanya akan meyakinkan Israel dan Hamas untuk menyetujui gencatan senjata.

Dalam kesempatan itu, sayangnya, Wakil Presiden AS itu tak secara konkret menjawab pertanyaan. Sebaliknya, senada dengan posisi Joe Biden, ia bersumpah untuk membela Israel, sambil mengakui invasi Israel ke Gaza telah menewaskan banyak warga sipil Palestina.

Ini jawaban lengkap Kamala.

“Kini, Israel memiliki hak untuk membela diri dan bagaimana cara melakukannya penting. Karena memang benar, terlalu banyak warga Palestina yang tidak bersalah telah terbunuh, anak-anak, ibu-ibu. Yang kita tahu adalah bahwa perang ini harus diakhiri. Dan cara untuk mengakhirinya adalah kita memerlukan kesepakatan gencatan senjata, dan kita perlu mengeluarkan para sandera, jadi kita akan terus bekerja sepanjang waktu untuk itu. Kita harus memetakan arah menuju two-state solution, dan dalam solusi itu, harus ada keamanan bagi rakyat Israel dan Israel, dan ukuran yang sama bagi Palestina,” tutur Kamala.

Kamala menambahkan, “Saya akan selalu memberi Israel kemampuan untuk membela diri, khususnya yang berkaitan dengan Iran, dan ancaman apa pun yang ditimbulkan Iran dan proksinya terhadap Israel”.

Mendapat pertanyaan yang sama, Trump tak banyak menyampaikan hal baru. Ia masih bersikeras bahwa serangan Hamas pada 7 Oktober dan invasi Rusia ke Ukraina tidak akan terjadi jika ia menjadi presiden. Hal itu masih sama dengan perkataannya dalam pidato dan debat pertama.

“Jika saya menjadi presiden, itu tidak akan pernah terjadi. Jika saya menjadi presiden, Rusia tidak akan pernah, tidak akan pernah, saya mengenal Vladimir Putin dengan sangat baik. Ia tidak akan pernah. Tidak ada ancaman itu juga,” kata Trump.

Leave a comment