“Abdul Latief dan Untung Pamit Soeharto Sebelum Culik Dewan Jenderal”
KOMPAS.com – Peristiwa penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira TNI yang dikenal dengan G30S terjadi 59 tahun lalu.
Malam hari tanggal 30 September 1965, sebanyak tujuh perwira TNI yang dituding sebagi “Dewan Jenderal” diculik oleh Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa.
Kemudian pada 1 Oktober 1965, para perwira TNI itu disiksa dan dibunuh di dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya, pondok Gede, Jakarta.
Baca juga: Eks Cakrabirawa Kisahkan Detik-detik G30S: Penculik Dewan Jenderal Pamit ke Soeharto
Kesaksian Cakrabirawa detik-detik peristiwa G30S
Salah satu saksi hidup yang mengetahui secara rinci kronologi peristiwa pada malam mencekam itu adalah Ishak Bahar (87).
Pria yang tinggal di Kelurahan Kalikabong, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah terseret dalam peristiwa berdarah dalam perjalanan sejarah Indonesia itu.
Lansia yang pernah menyandang pangkat terakhir Sersan Mayor (serma) itu saat peristiwa G30S bertugas sebagai Komandan Regu Pengawal Istana Batalion Cakrabirawa.
“Saya pendidikan di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) terus bertugas di pengawal Istana tahun 1964. Waktu Soekarno pidato di Konferensi Asia Afrika, saya yang mengawal presiden ke Aljazair,” kata Ishak dikutip dari Kompas.com, Rabu (29/9/2021).
Ishak mengungkapkan, keterlibatannya dalam tragedi G30S merupakan hal yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Dia merasa terjebak dalam pusaran politik yang menjungkirbalikkan nasibnya. Dari seorang patriot yang terhormat menjadi pesakitan berlabel pengkhianat negara.
Ishak masih ingat jelas saat Letkol Untung, pimpinan Ishak di Batalion Cakrabirawa memberi perintah untuk ikut bersamanya.
Padahal, sore 30 September 1965 dia dijadwalkan mengawal Presiden Soekarno ke Senayan.
“Sore itu sekitar jam 18.00 WIB, saya ada tugas untuk mengawal Soekarno ke Mabes Teknisi di Senayan, tahu-tahu Pak Untung datang minta saya ikut dia,” katanya.
Saat itu Ishak sempat bertanya kepada Untung karena perintah untuk mendampingi bertepatan dengan tugas mengawal presiden.
Namun, sebagai prajurit, dia terikat oleh sumpah militer untuk patuh kepada pimpinan, tidak membantah perintah atau putusan.
“Sudah jangan mengawal (presiden), ikut saya!” kata Ishak menirukan perintah Untung.
Baca juga: Kesaksian Eks Prajurit Cakrabirawa Saat G30S/PKI: Abdul Latief dan Untung Pamit ke Soeharto Sebelum Culik Dewan Jenderal
Latief dan Untung pamit ke Soeharto
Dengan persenjataan lengkap, Ishak berada dalam satu kendaraan bersama Letkol Untung, Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), sopir, dan ajudan.
“Saya tidak dikasih tahu tujuannya ke mana, tahu-tahu mampir ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) untuk menemui Soeharto yang sedang menjaga anaknya, Hutomo Mandala Putra (Tomy) yang lagi sakit,” beber Ishak.
Ishak sendiri tidak ikut masuk ke dalam kamar di mana Tomy dirawat karena tersiram sup panas.
Namun, di perjalanan dia menguping bahwa Untung dan Abdul Latief sudah mendapat izin Soeharto untuk sebuah misi yang baru dia sadari sesudahnya.
“Baik Pak Untung dan Pak Latief itu pamitan dengan Suharto mau nyulik jenderal,” katanya dengan jelas.
Sesampainya di Lubang Buaya, Ishak diperintahkan untuk bersiaga di sebuah rumah pondok.
Kemudian menjelang tengah malam, pasukan Batalion Cakrabirawa yang lain datang berduyun-duyun.
“Saya kaget malah, pasukan-pasukan datang, ya anggota Cakrabirawa, teman-teman saya. Tahu-tahu dibagi regu untuk menculik jenderal. Saya tidak (menculik), saya ngawal Untung di Lubang Buaya,” ujar Ishak.
Masuk 1 Oktober pukul 01.00 WIB, satu per satu regu mulai bergerak untuk menculik “Dewan Jenderal”.
Selanjutnya pada pukul 03.00 WIB, para jenderal korban penculikan datang silih berganti.
Ishak menuturkan, tidak semua jenderal yang dibawa oleh prajurit Cakrabirawa dalam keadaan hidup.
“Jenderal Yani (Letjen Ahmad Yani), Panjaitan (Brigjen D.I. Panjaitan), Haryono (Mayjen Harjono) mati, dan Toyo (Brigjen Sutoyo) sudah meninggal. Yang hidup hanya tiga, Jenderal Prapto (Mayjen R. Soeprapto), Jenderal Parman (Mayjen S. Parman) dan Tendean (Lettu Pirre Tandean). Jenderal Nasution enggak ada,” kata Ishak.
“Saya kaget, saya panik malah, kok ada begini, ada apa,” sambungnya.
Baca juga: Sosok Jenderal TNI yang Melarang Penayangan Film G30S/PKI sejak 1998
Selamatkan saksi kunci polisi Soekitman
Ishak menyaksikan, para jenderal yang diculik, baik masih hidup atau sudah meninggal kemudian dijebloskan ke dalam sebuah sumur tua.
Tubuh mereka dilempar lalu ditembak dari atas secara membabi-buta.
“Saya menyaksikan langsung dengan satu polisi namanya Soekitman. Awalnya, Soekitman ini suruh dibunuh, tapi saya tahan, saya lindungi, saya bilang kamu tidak tahu apa-apa,” kata Ishak sambil memperagakan detik-detik penembakan.
Kelak, Soekitman yang diselamatkan Ishak ini menjadi saksi kunci peristiwa yang terjadi di Lubang Buaya.
Soekitman juga yang kemudian menunjukkan lokasi jasad sejumlah jenderal TNI dibenamkan dalam sumur tua lalu diuruk dan ditanam pohon pisang.
Ishak mengungkapkan, peristiwa pembantaian itu berlangsung sangat cepat.
Bahkan, sampai detik terakhir penembakan jenderal, dia masih belum percaya apa yang terjadi di depan matanya adalah nyata.
“Saya hanya sedikit tahu kalau Dewan Jenderal ini mau menggulingkan Pak Karno, sebagai pasukan pengawal presiden, Cakrabirawa berkewajiban menggagalkan itu,” terangnya.
Baca juga: 5 Fakta Film G30S/PKI, Film Wajib Era Soeharto, Disetop Jenderal TNI
Hidup sengsara 13 tahun dari penjara ke penjara
Ishak mulai sadar, bahwa dirinya sudah terjebak masuk dalam pusaran gejolak politik yang maha dahsyat.
Meski demikian, Ishak belum sepenuhnya paham skenario seperti apa yang akan menjeratnya setelah itu.
“Setelah itu lalu bubar, saya enggak tahu (Untung dan Latief) pada ke mana, saya ditinggal dengan pasukan-pasukan yang lain. Saya pulang sendiri dengan pembawa truk, sopir dan Soekitman itu tadi,” katanya.
Sesampainya di markas Cakrabirawa, tidak berselang lama datang pasukan tentara berpita putih.
Ishak dilucuti dan langsung dijebloskan ke penjara tanpa dimintai keterangan apa pun.
“Saya ditahan belasan tahun tanpa pakai persidangan apa-apa, hanya sekali dimintai keterangan jadi saksinya Untung,” ujarnya.
Selama 14 hari, Ishak ditahan di LP Cipinang.
Di sinilah neraka dunia yang dirasakan bagi pasukan Cakrabirawa yang tertangkap, tidak terkecuali Ishak.
“Saya diberi makan jagung rebus saja, tapi tidak pakai piring, langsung disebar di lantai, dituturi (dipunguti) satu-satu,” ungkapnya.
Selain itu, siksaan yang dialami selama di Cipinang juga tak bisa diceritakan dengan rinci oleh Ishak.
Dari sorot mata dan mimik muka, Ishak tampak masih menyimpan trauma akan penyiksaan saat proses interogasi di sana.
“Saya disuruh mengaku anggota ini, anggota itu, saya jawab enggak ngerti anggota, enggak ngerti partai, enggak ngerti apa-apa, gole (petugas) mukuli semaunya,” ungkapnya.
Setelah 14 hari, Ishak dan sejumlah anggota Cakrabirawa dipindah ke Salemba.
Di rutan Salemba Ishak menghabiskan 13 tahun lamanya dalam jeruji besi tanpa pernah mendapat peradilan yang layak.
“Banyak yang mati karena makanan ngga cukup, banyak juga yang mati karena disiksa. Temen-temen saya (Cakrabirawa) sudah habis, di sel banyak yang mati, dibebaskan apalagi, sudah,” kata Ishak.
Belasan tahun Ishak menempati sel berukuran 4×1 meter bersama empat rekannya.
Baca juga: Kisah Ishak Bahar Menyelamatkan Sukitman dalam G30S
Bebas dari penjara, menghadapi stigma
Ishak akhirnya dibebaskan pada 28 Juli 1977 bebarengan dengan ratusan ribu tahanan politik yang lain.
Sepulangnya dari hukuman, Ishak masih harus dihadapkan dengan stigma masyarakat.
Terlebih Ishak merupakan keluarga terhormat, putra dari seorang ulama dan pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren.
“Masyarakat tahunya saya militer, ya pada heran kenapa Pak Ishak itu anak ulama sampai ditahan di situ sebabnya apa, wong saya jebolan pondok pesantren. Jadi saya ditahan karena PKI, orang ya heran, apa sebabnya,” katanya.
Seperti eks tapol yang lain, sulit bagi Ishak mencari pekerjaan yang layak di lembaga formal.
Di masa awal dia menghirup udara bebas, Ishak rela bekerja serabutan untuk bertahan hidup.
“Umur saya baru 40-an lah waktu itu, kerja jadi buruh mencangkul, buruh menek kelapa, jual ayam, jual sayuran, jual dedak, dipikul,” katanya.
Kepingan memori peristiwa berdarah lebih dari setengah abad lalu itu masih lekat di ingatannya.
Mulai dari kali pertama bertugas sebagai pengawal presiden, wajah rekan-rekan di Cakrabirawa, hingga peristiwa G30S yang seperti mimpi buruk baginya.
“Jadi bagi saya, kejadian itu (G30S) seperti kejadian kemarin, masih ingat semua, masih membayang,” tutur Ishak.
- Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Kesaksian Eks Prajurit Cakrabirawa Saat G30S/PKI: Abdul Latief dan Untung Pamit ke Soeharto Sebelum Culik Dewan Jenderal”.