Informasi Terpercaya Masa Kini

Gonjang-ganjing Aturan Pensiun Tambahan

0 20

Dimas masih tidak habis pikir dengan rencana pemerintah akan memotong lagi gaji pekerja untuk iuran pensiun tambahan. Pria yang setiap hari berkarier di sektor swasta ini menilai pemerintah seperti sudah kehabisan akal untuk mendapatkan anggaran.

Sehingga pendapatan pekerja harus diutak-atik dengan dalih untuk menyiapkan uang pensiun untuk pekerja. Dimas menegaskan langkah tersebut saat ini tidak tepat.

Kebijakan pemerintah memotong gaji karyawan untuk iuran pensiun memang belum ada waktu pasti kapan diterapkannya. Rencana itu masih menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah (PP). Yang jelas, pegawai swasta dengan besaran gaji tertentu akan diminta untuk membayar iuran tambahan selain Jaminan Hari Tua (JHT) atau Jaminan Pensiun (JP) dari BPJS Ketenagakerjaan.

“Saya lebih percaya kepada negara untuk tidak memotong apapun, toh faktanya dari zaman dahulu ketika tidak ada potongan apapun itu semisalnya, masyarakat masih bisa mempersiapkan masa tuanya,” kata Dimas kepada kumparan, Kamis (13/9).

Meski terdaftar sebagai peserta dari sederet iuran wajib yang diberlakukan pemerintah, Dimas mengaku tetap menyiapkan tabungan masa tuanya sendiri. Sehingga, menurut Dimas, pemerintah tidak perlu repot-repot memikirkan masa tua pekerja dengan memberlakukan iuran tambahan.

“Saya percaya dengan kemampuan pengelolaan keuangan saya, dan saya masih punya harapan juga suatu saat saya tidak kewalahan untuk biaya investasi pendidikan anak saya,” ujar Dimas.

Begitu juga dengan pekerja sektor swasta yang lain, Farid, yang tidak sepakat dengan wacana pemerintah untuk memotong kembali gaji pekerja sektor swasta. Sebab, kata Farid, saat ini masih banyak pekerja yang mendapatkan upah di bawah standar.

Di samping itu, banyak juga pekerja yang mengandalkan penghasilannya hanya dari satu pintu, yaitu gaji. Sehingga pemotongan gaji tambahan akan menjadi beban yang berat.

“Enggak semua pegawai yang kerja itu gajinya sesuai standar, kalau ada pemotongan lagi, kasihan juga untuk sehari-harinya itu berat. Mungkin kalau gajinya sudah di atas standar, terus punya sampingan atau apa pun itu mungkin gak masalah,” ujar Farid.

Meskipun Farid juga tidak menampik pemerintah memiliki tujuan yang baik untuk meneken kebijakan ini. Akan tetapi, dia juga melihat program-program persiapan hari tua yang telah disiapkan oleh pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan, seperti JHT juga sudah cukup untuk mengakomodir kebutuhan masa pensiun.

Di sisi lain, Farid menilai pekerja seharusnya mempersiapkan masa tuanya dengan cara masing-masing, tidak perlu diatur pemerintah dan tertuang dalam kebijakan. Misalnya dengan mengandalkan usaha atau tabungan sejak muda.

Untuk menyiapkan masa tuanya, pria berusia 42 tahun tersebut bersama istrinya telah merintis usaha dan mengikuti berbagai program iuran wajib pemerintah. Dia juga akan menggunakan uang JHT yang disetornya setiap bulan untuk membuat usaha tambahan di masa pensiun.

“Sudah nabung dan sudah ada usaha kecil-kecilan, kalau untuk program-program yang JHT itu kan saya juga ikut (dan) kalau saya (uang JHT) saya bikin usaha dibuat ke depannya rencananya begitu,” tutur Farid.

Berbeda dengan Dimas dan Farid, seorang karyawan perusahaan pelat merah, Hafidz, sepakat dengan wacana pemerintah menyiapkan pensiuan buat masyarakat. Namun sebelum itu, pemerintah harus menyelesaikan sederet pekerjaan rumah terlebih dahulu.

Menurutnya, pemerintah harus transparan dalam mengelola dana pensiun yang diraup dari program ini, misalnya pekerja dapat melihat saldo uang pensiun yang telah dikumpulkan. Hal ini tentu akan memberikan rasa aman bagi pekerja. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan pekerja dapat menerima manfaat program ini dengan mudah.

“Saya yakin kalau memang pengelolaanya transparan, penggunaannya mudah dan manfaatnya dapat dirasakan langsung pasti banyak yang setuju,” kata Hafidz, Kamis (12/9).

Asosiasi Buruh Tak Setuju Gaji Dipotong Lagi Buat Pensiun Tambahan

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban, menolak wacana pemotongan gaji untuk pensiun tambahan. Bahkan dia tengah mempersiapkan pasukan KSBSI untuk menggelar aksi penolakan. Alasannya sama seperti Farid, yaitu kondisi upah pekerja yang tidak mencukupi untuk disimpan setelah pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

“Sejak awal kami menolaknya, kami juga sudah melakukan seminar (dan) workshop dan kami akan melakukan aksi juga, alasannya karena upah yang ada sekarang ini kan tidak mencukupi untuk kami simpan, apalagi (bersifat) wajib,” kata Elly kepada kumparan, Rabu (11/9).

Menurut dia, di tengah kondisi kenaikan gaji yang hanya berkisar antara 2 hingga 3 persen setiap tahunnya, juga banyaknya agen asuransi yang tidak dapat memenuhi kewajiban kepada nasabah, pemerintah tidak seharusnya mempromosikan pemotongan gaji tambahan untuk program pensiun.

Dibanding menyiapkan program untuk masa pensiun pekerja yang menimbulkan pemotongan tambahan gaji, Elly memandang seharusnya pemerintah memastikan iklim usaha di Tanah Air dalam keadaan baik terlebih dahulu. Sebab, saat ini pekerja masih berada dalam bayang-bayang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) imbas iklim usaha yang tidak stabil.

Sehingga, menurutnya, dalam kondisi ini baik pekerja maupun pengusaha sama-sama terdampak. Elly menyoroti data Kementerian Ketenagakerjaan mengenai jumlah tenaga kerja terdampak PHK sepanjang Januari hingga Agustus 2024, yaitu sebanyak 46.240 orang.

“Sekarang itu kan pekerja ini tidak bisa lagi menyiapkan masa pensiun mereka, yang diinginkan mereka adalah mereka ada kepastian kerja dan jangan di-PHK lagi terus-menerus, sekarang kan sudah hampir 50 ribu itu (jumlah orang terdampak PHK), dan (kepastian) pesangon mereka yang mereka ambil nantinya untuk masa pensiun mereka, itu yang mereka inginkan,” terang Elly.

Di sisi lain, potongan gaji tambahan untuk program pensiun ini juga dinilai tidak tepat jika diberlakukan dalam waktu dekat di tengah beban pekerja yang bertambah seperti karena kenaikan PPN 12 persen tahun depan, menurunnya kelas menengah, hingga rendahnya daya beli masyarakat.

Berdasarkan catatan BPS, pada tahun 2024 jumlah kelas menengah di Indonesia sebesar 47,85 juta penduduk atau sekitar 17,13 persen dari total penduduk. Angka itu mengalami tren penurunan sejak 2019 yang sebesar 57,33 juta penduduk.

Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, memprediksi dengan penurunan kelas menengah ini, target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini di rentang 5,2 persen sulit tercapai. Sebab, kelas menengah berkontribusi sebesar ⅓ dari konsumsi nasional.

“Kelas menengahnya menipis maka efek ke konsumsi rumah tangga akan rendah tumbuhnya. [Pertumbuhan] ekonomi bakal sulit naik di atas 5 persen. Bahkan angka 5 persen pun sudah sangat bersyukur,” kata Bhima kepada kumparan, Sabtu (31/8).

Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy sebelumnya juga sudah mengungkapkan kalau penambahan potongan gaji untuk program pensiun akan menambah berat beban ekonomi pekerja, khususnya kelas menengah.

“Sekarang ini yang harus kita perhatikan juga kan menurunnya daya beli kelas menengah. Kalau menurunnya daya beli kelas menengah ditambah lagi dengan iuran untuk pensiun, itu saya kira terlalu berat untuk sekarang,” kata Muhadjir di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/9).

Menurutnya, fenomena turunnya populasi kelas menengah ini terjadi sebelum adanya tambahan potongan gaji pekerja. Dengan demikian, segala macam iuran tambahan yang dapat mengurangi pendapatan pekerja, harus dipertimbangkan baik-baik.

Di sisi lain, menurut Muhadjir, kondisi upah di Tanah Air saat ini juga belum pada kondisi yang baik, atau masih di bawah standar. Hal ini menjadi salah satu kendala berbagai iuran wajib yang diteken pemerintah belum dapat dilaksanakan secara maksimal.

“Sekarang jaminannya mencakup 5 untuk tenaga kerja itu, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Jaminan Kehilangan Pekerjaan, sebetulnya sudah cukup representatif asal itu dilaksanakan. Dan kita belum bisa melaksanakan secara maksimal karena kondisi gaji atau upah karyawan kita belum bagus-bagus amat,” terang Muhadjir.

Jika dilihat dari data Laporan Keuangan BPJS Ketenagakerjaan tahun 2023, jumlah peserta yang mengikuti program JHT mencapai 18,27 juta orang yang terdiri dari Bukan Penerima Upah (BPU) sebanyak 632 ribu orang dan Penerima Upah (PU) sebanyak 17,64 juta. Lalu jumlah peserta program JKP yang mencapai 13,45 juta orang.

Sementara itu, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah peserta dana pensiun per Juli 2024 mencapai angka 28,48 juta orang, terdiri dari program pensiun sukarela sebanyak 5,3 juta orang dan program pensiun wajib sebanyak 23,18 juta orang. Program pensiun wajib ini meliputi Taspen dan ASABRI termasuk THT dan AIP, lalu BPJS Ketenagakerjaan termasuk JHT dan JP.

Selain itu, munculnya wacana penambahan potongan gaji pekerja ini berdekatan dengan dengan akan diberlakukannya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan menjadi 12 persen di 2025. Tarif PPN saat ini sebesar 11 persen baru berlaku sejak April 2022.

Kenaikan PPN diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam aturan tersebut, tarif PPN bisa naik dari semula 11 persen menjadi 12 persen sebelum 1 Januari tahun 2025.

Gaji Pekerja Dipotong Lagi Buat Pensiun Tambahan Tunggu Aturan Pemerintah

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menjelaskan kebijakan program pensiun tambahan merupakan tindak lanjut dari Undang-undang nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).

“Jadi sebagaimana diatur dalam PPSK Pasal 189, jadi pemerintah akan mengharmonisasikan seluruh program pensiun sebagai upaya untuk peningkatan pelindungan hari tua dan memajukan kesejahteraan umum,” ujar Ogi saat Rapat Dewan Komisioner, Jumat (6/9).

Dalam pasal 189 ayat 4 UU PPSK disebutkan selain program jaminan hari tua dan jaminan pensiun, pemerintah dapat melaksanakan program pensiun tambahan yang bersifat wajib yang diselenggarakan secara kompetitif bagi pekerja dengan penghasilan tertentu.

Ogi mengatakan langkah ini untuk meningkatkan replacement ratio atau rasio pendapatan pekerja saat pensiun dibandingkan dengan gaji yang diterima saat bekerja. Sementara rasio pendapatan pekerja saat pensiun di Indonesia saat ini masih di bawah standar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).

“Jadi kalau dari hasil data yang ada, manfaat pensiun yang diterima oleh pensiunan itu relatif sangat kecil. Itu hanya sekitar 10-15 persen dari penghasilan terakhir yang diterima pada saat aktif,” tuturnya.

Sementara OJK menargetkan besaran perlindungan pensiun yang diterima masyarakat, yaitu sebesar 40 persen dari penghasilan terkakhir, sesuai dengan ILO.

Meski begitu, otoritas masih menunggu hasil dari PP dengan harmonisasi program pensiun. Sebab, OJK hanya memiliki kapasitas sebagai pengawas untuk melakukan program-program pensiun dan harmonisasi program pensiun. Hal ini sesuai dengan amanat undang-undang PPSK.

“Jadi isu terkait ketentuan batasan mana yang dikenakan untuk pendapatan berapa yang kena wajib itu, itu belum ada. Belum ada karena PP-nya itu belum diterbitkan,” ujar Ogi.

Leave a comment