Desa Wisata Sumber Gempong dan Dewi Sri di Kaki Gunung Penanggungan
Pertemuan tidak sengaja dengan Pak Sugeng (60), pensiunan guru SMP Negeri 1 Trawas, di warung/gubuk Jemblem bukanlah suatu kebetulan. Sebab dari pertemuan di sisi kiri pintu utama masuk Villa Puncak Trawas, Mojokerto, Jawa Timur, itulah travel story ini bermula. Keberadaan warung/gubuk Jemblem, diapit warung kelontong dan warung susu sapi segar.
“Kalau belum pernah ke desa wisata Sumber Gempong, eman-eman Mas. Cuma sepuluh menit dari sini. Nanti pulangnya mampir ke desa Duyung, kampung durian. Rasa duriannya dijamin jos, tidak bakal mengecewakan,” papar Pak Sugeng.
Seusai menikmati susu segar, pisang goreng, dan jemblem (cemplon) yang manis gurih, bersama Pak Sugeng, kami meluncur ke Jalan Trawas-Pandaan. Berbelok ke kiri sesuai papan petunjuk menuju Desa Wisata Sawah Sumber Gempong (DWSSG). Jalan dengan kontur cukup curam kami lewati perlahan. Terlebih jalannya tidak terlalu lebar.
“Jalan ini sering dipakai menguji kemampuan calon pendaki gunung. Makanya jalannya curam, menanjak, memanjang,” jelas Mas Agus seraya mengendalikan mobil yang terpaksa memelan karena jalan menurun tajam.
Di pos penjagaan, kami membayar tiket masuk seharga lima ribu rupiah per kepala. Begitu masuk ke area wisata, mata kami dimanjakan oleh hamparan sawah menghijau dilengkapi gubuk-gubuk tempat istirahat pengunjung.
Di kejauhan terlihat keeksotisan gunung Penanggungan disaput awan tipis. Sesekali terdengar suara “kedompreng” berasal dari potongan seng digantung berayun bersama piring kaleng, pengusir burung penggasak buliran padi.
“Tempat wisata ini hasil kerja sama Bumdes, tokoh masyarakat, dan penduduk desa Ketapanrame. Jadi sawah-sawah di sini, meskipun merupakan bagian dari objek wisata, tetap dikelola oleh masyarakat. Penanaman padi bisa berkelanjutan karena air melimpah dari umbul atau tuk Sumber Gempong,” jelas Pak Sugeng sambil tangannya menunjuk ke arah sisi kolam renang.
Sebagai tempat wisata keluarga, DWSSG dilengkapi berbagai arena permainan. Ada kereta sawah-diberi nama Kereta Sawah (KS) Argo Welirang-kolam pemandian, terapi ikan, bebek air, ayunan jantra, sepeda layang, becak terbang, dan all-terrain vehicle (ATV).
Pengunjung akan dimanjakan dengan kolam pemandian, terapi ikan, dan pondok sawah yang disediakan gratis. Bagi penyuka permainan agak ekstrim bisa mencoba sepeda layang dan becak terbang yang “dikayuh” di ketinggian dengan pemandangan sawah di bawahnya.
Pilihan lain mengitari sawah menaiki kereta KS Argo Welirang atau mengitari kolam buatan dengan bebek air. Bisa juga menaiki ATV. Fasilitas berbagai permainan tersebut dibandrol dengan harga ramah di kantong, dari sepuluh ribu sampai dua puluh lima ribu rupiah.
Saya dan Ibu Negara Omah Ampiran lebih menikmati berjalan menyusuri pematang sawah, menghampiri pondok-pondok, memandang takjub ke arah gunung Penanggungan.
Kami berhenti sejenak tepat di depan patung Dewi Sri yang terbuat dari bahan bambu setinggi tujuh meter sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran.
“Legenda Dewi Sri bukan hanya sebatas cerita. Ia menggambarkan hubungan timbal balik antara manusia, alam, dan spiritualitas dalam kehidupan masyarakat tradisional. Utamanya di Jawa,” jelas Ibu Negara Omah Ampiran.
Dalam masyarakat agraris, legenda Dewi Sri tidak hanya menceritakan soal padi, tetapi mengandung nilai moral pentingnya kerja keras, kesabaran, dan hubungan timbal balik manusia dengan alam.
Ada yang menyatakan bahwa Dewi Sri menjadi simbol identitas budaya agraris, menyatukan masyarakat dalam kepercayaan bersama. Upacara dan tradisi yang melibatkan Dewi Sri, seperti upacara panen atau sedekah bumi, menjadi sarana memperkuat rasa kebersamaan.
“Tempat wisata ini menyenangkan. Pemandangannya bagus, harga tiket masuknya murah, dan suasana pedesaannya sangat terasa dengan banyaknya gubuk-gubuk di tengah hamparan sawah,” papar Fajar Rini Dian (52), wisatawan asal Jombang, mantan pramugari salah satu maskapai penerbangan ternama di Indonesia.
Bersama rombongannya, mereka menghabiskan waktu di area terapi ikan. Sebelumnya berfoto ria di beberapa spot menarik.
Objek wisata DWSSG bukan tempat wisata biasa, bukan kaleng-kaleng, karena pada tahun 2023 meraih penghargaan Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) Terbaik Tahun 2023 yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Bagi yang ingin berlama-lama menikmati keindahaan alam DWSSG, wisatawan bisa melakukan camping dengan menyewa tenda atau menginap di guest house yang disediakan.
Tantangan ke depannya bagi pengelola adalah mengeksplore agar lebih memanjakan wisatawan, menjadi magnet kerinduan sehingga wisatawan ingin kembali berkunjung.
Hal ini setidaknya dapat ditempuh dengan memperpanjang rel kereta sawah agar bisa melintas melewati warung-warung UKM atau arena permainan lainnya. Dibuatkan jalur ATV yang lebih menantang dan memacu adrenalin.
Alternatif lain, memberbanyak wisata edukasi (tidak hanya untuk rombongan, tetapi juga perorangan atau keluarga). Wisata edukasi tersebut bisa saja berupa pengenalan terhadap nama, cara menanam, dan fungsi pepohonan di sekitar DWSSG. Toh pernah dilakukan kegiatan menanam seribu pohon di DWSSG pada awal pendiriannya.
Selain itu, anak-anak diajari bercocok tanam padi, melintasi pematang sawah, membajak, memberi makan sapi atau hewan lainnya.
Sesekali perlu juga dipentaskan kesenian tradisional Jawa Timuran. Hal ini sebagai upaya memperkenalkan dan meningkatkan kecintaan masyarakat, khususnya generasi muda terhadap kesenian tradisional.
Seperti yang dijanjikan Pak Sugeng dan Mas Agus, sepulang dari DWSSG menuju Villa Puncak Trawas, kami singgah ke desa Duyung berburu durian.
“Kita singgah ke rumah Mbak Ika. Duriannya dijamin legit,” ajak Mas Agus.
Benar saja, rumah Mbak Ika, isteri polisi, dipenuhi dengan puluhan bahkan ratusan durian yang sudah diikat dengan tali rafia berwarna biru.
Rafia itu sebagai tanda kalau buah durian itu sudah laku. Menurut cerita Mas Agus, membeli durian di sini dengan cara inden. Untungnya kami bernasib baik, masih kebagian sepuluh durian yang rasanya sungguh tak terkatakan kelezatannya. (*)