Saat Israel Semakin Terisolasi...

Serangan udara yang menewaskan tujuh pekerja bantuan World Central Kitchen (WCK), telah membuat Israel semakin terisolasi.

Saat Israel Semakin Terisolasi...

YERUSALEM, KOMPAS.com - Serangan udara yang menewaskan tujuh staf kelompok bantuan World Central Kitchen (WCK), termasuk enam warga negara asing di Gaza telah membuat Israel semakin terisolasi.

Serangan pada Senin (1/4/2024) malam itu membuat marah beberapa sekutu terdekat Israel, dan menambah tekanan yang semakin meningkat untuk mengakhiri pertempuran.

Militer Israel telah mengakui serangan tersebut dilakukan secara keliru oleh pasukannya meminta maaf atas kematian ketujuh orang tersebut.

Baca juga: Biden: Israel Lakukan Apa yang Saya Minta Terkait Bantuan Gaza

Para pekerja bantuan dari WCK yang meninggal dunia di antaranya adalah warga negara Inggris, Australia, Polandia, warga negara ganda AS-Kanada, dan Palestina.

Namun, penjelasan Israel itu tidak banyak membantu meredakan kekhawatiran di luar negeri.

Nyatanya, opini publik yang berkembang, bahkan di negara-negara yang biasanya bersahabat dengan Israel, seperti Inggris, Jerman, atau Australia, telah menentang kampanye Israel di Gaza.

Presiden Joe Biden, yang mendapat tekanan dari para pendukungnya sendiri untuk mengakhiri pertempuran, mengatakan bahwa ia sangat marah dengan serangan konvoi tersebut.

Pada Kamis (4/4/2024), setelah melakukan pembicaraan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Gedung Putih menuntut langkah-langkah konkret dan terukur untuk mengurangi korban sipil dan mengatakan dukungan AS di masa depan akan ditentukan oleh tindakan Israel.

Pada hari Jumat (5/4/2024), Netanyahu dilaporkan memerintahkan pembukaan kembali penyeberangan Erez ke Gaza utara dan penggunaan sementara pelabuhan Ashdod di Israel selatan serta peningkatan akses bantuan Yordania melalui penyeberangan Kerem Shalom di Gaza selatan.

Dengan kondisi Gaza yang hancur, sebagian besar dari 2,3 juta penduduknya telah dipaksa meninggalkan rumah mereka dan kini bergantung pada bantuan untuk bertahan hidup.

Baca juga: PM Netanyahu Nyatakan Israel Kini Bertindak Melawan Iran

Situasi ini bahkan terjadi di bulan suci ketika umat Islam di seluruh dunia biasanya akan mengonsumsi makanan khas Ramadhan untuk berbuka puasa setelah matahari terbenam.

"Kami memiliki beberapa harapan sebelum Ramadhan, namun harapan itu lenyap pada malam sebelum bulan puasa dimulai," ujar Um Nasser Dahman (33), sebagaimana dikutip dari Reuters.

Dia kini tinggal bersama keluarganya yang terdiri dari lima orang di sebuah tenda di kota Rafah, tempat di mana lebih dari separuh penduduk Gaza kini berlindung.

"Kami dulu cukup berkecukupan sebelum perang, tetapi kami menjadi tergantung pada bantuan yang terbatas dan kerabat kami," katanya, melalui pesan singkat kepada Reuters.

Bahkan sebelum serangan terhadap konvoi tersebut, Israel telah diisolasi secara diplomatik.

Majelis Umum PBB seperti diketahui telah berulang kali menyerukan gencatan senjata kemanusiaan, dan Israel berada di bawah tekanan besar untuk meningkatkan pengiriman bantuan di Gaza, di mana kelompok-kelompok bantuan mengatakan bahwa kelaparan sudah dekat.

Namun, yang terjadi, Israel memutuskan untuk terus melancarkan pertempuran di sejumlah wilayah Gaza, terutama di bagian utara dan tengah.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sejauh ini menolak tekanan untuk mengubah arah.

Dia bersikeras Hamas tetap menjadi ancaman eksistensial bagi Israel yang harus dihancurkan sebelum perdamaian yang langgeng dapat kembali.

Baca juga: Biden ke Netanyahu: Lindungi Warga Sipil di Gaza atau Kebijakan Bantuan AS Akan Berubah!

"Kemenangan sudah dalam genggaman. Sudah sangat dekat, dan tidak ada yang bisa menggantikan kemenangan," katanya kepada delegasi anggota Kongres Partai Republik di Yerusalem pada Kamis.

Dia memohon lebih banyak dukungan anggaran, beberapa jam sebelum panggilan dengan Biden.

Tekanan di dalam negeri Israel

Publik Israel sebagian besar terus mendukung tujuan perang untuk menghancurkan Hamas dan membawa pulang 134 sandera yang masih ditahan di Gaza.

Namun, Netanyahu sendiri menghadapi gerakan protes yang terus meningkat dan tuntutan untuk pemilihan umum baru yang menurut jajak pendapat menunjukkan bahwa ia akan kalah telak.

"Saya merasa sangat yakin bahwa semua pihak di luar Israel yang menyerukan gencatan senjata tidak memahami situasi di sini. Kami telah mengalami begitu banyak serangan dan invasi dan kami akan tetap berdiri sebagai negara Yahudi yang demokratis," ujar Wendy Carol.

Meski begitu, sosok penulis berusia 73 tahun dan pendiri perusahaan start-up dari Yerusalem itu, berkata: "Saya tidak mempercayai perdana menteri Netanyahu. Dia adalah kekuatan yang memecah belah bangsa ini dan banyak sekali orang yang merasa seperti itu, dari semua latar belakang".

Sementara perundingan damai telah berlangsung, harapan akan adanya terobosan yang dapat menjamin jeda dalam pertempuran dan memungkinkan kembalinya para sandera telah berulang kali kandas dan para pemimpin Hamas mengatakan mereka dapat terus bertempur lebih lama lagi.

Baca juga: Warga Israel Turun Lagi ke Jalan, Protes Pemerintahan Netanyahu

"Enam bulan telah berlalu dan Brigade Al-Qassam masih mampu mempertahankan perlawanan terhadap tentara penjajah Zionis," kata pejabat senior Hamas, Sami Abu Zuhri.

Perang Gaza pecah setelah serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober. Menurut data Israel, serangan itu menewaskan sekitar 1.200 orang atau jumlah korban jiwa terburuk dalam satu hari dalam sejarah Israel.

Sementara, serangan Israel sebagai balasan menewaskan jauh lebih banyak orang, yakni mencapai lebih dari 33.000 orang menurut Kementerian Kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas. 

Besarnya jumlah korban jiwa telah menyebabkan meningkatnya kekhawatiran global dan tuntutan untuk menghentikan serangan Israel di Gaza.

“Saya yakin perang akan berakhir. Tapi kapan?" ucap Um Nasser Dahman di Gaza.

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow