Revisi Aturan PLTS Atap: Pelanggan Tak Bisa Ekspor Kelebihan Listrik ke PLN

Kementerian ESDM terbitkan revisi aturan PLTS Atap, pengguna tak bisa ekspor kelebihan listrik untuk kurangi tagihan. #bisnisupdate #update #bisnis #text

Revisi Aturan PLTS Atap: Pelanggan Tak Bisa Ekspor Kelebihan Listrik ke PLN

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya menerbitkan revisi peraturan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Dalam aturan terbaru, pengguna PLTS Atap tidak bisa mengekspor kelebihan listriknya untuk mengurangi tagihan listrik.

Revisi tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2024 Tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum, yang merupakan revisi dari Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021.

Dalam peraturan baru ini, skema net-metering dihapuskan sehingga kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari pengguna ke PT PLN (Persero) tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurangan tagihan listrik.

Permen ini juga menetapkan mekanisme kuota sistem PLTS atap pada sistem kelistrikan pemilik Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) untuk lima tahun.

"Kelebihan energi listrik dari Sistem PLTS Atap yang masuk ke jaringan Pemegang IUPTLU tidak diperhitungkan dalam penentuan jumlah tagihan listrik Pelanggan PLTS Atap," berikut bunyi Pasal 13 Permen ESDM 2/2024, dikutip Jumat (23/2).

Selain itu, beleid baru ini menetapkan periode pendaftaran setahun 2 kali dan kompensasi yang diberikan oleh negara pada PLN, jika biaya pokok penyediaan tenaga listrik terdampak karena penetrasi PLTS atap.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai peniadaan skema net-metering akan mempersulit pencapaian target Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa 3,6 GW PLTS atap, serta target energi terbarukan 23 persen pada 2025 d

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyebutkan dampak dari peniadaan skema ini adalah menurunnya tingkat keekonomian PLTS atap, khususnya di segmen rumah tangga yang umumnya mengalami beban puncak di malam hari.

Menurut dia, pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil akan cenderung menunda adopsi PLTS atap karena permintaan puncak listrik mereka terjadi di malam hari, sedangkan PLTS menghasilkan puncak energi di siang hari.

Tanpa net-metering, investasi PLTS atap menjadi lebih mahal, terutama jika pengguna harus mengeluarkan dana tambahan untuk penyimpanan energi (battery energy storage) yang masih relatif mahal.

“Net-metering sebenarnya sebuah insentif bagi pelanggan rumah tangga untuk menggunakan PLTS Atap. Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2 - 3 kWp untuk konsumen kategori R1," ujarnya melalui keterangan resmi, Jumat (23/2).

Untuk PLTS atap kapasitas lebih besar dari 3 MW (tiga megawatt), kata dia, Permen ini mewajibkan pengguna untuk menyediakan pengaturan basis data prakiraan cuaca yang terintegrasi dengan sistem Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA) atau smart grid distribusi milik IUPTLU.

“Peraturan ini menghilangkan kewajiban membayar biaya paralel pembangkitan listrik, yaitu biaya kapasitas dan biaya layanan darurat yang sebelumnya diterapkan ke industri - setara 5 jam per bulan," tuturnya.

Penghapusan biaya paralel ini, lanjut dia, menambah daya tarik bagi pelanggan industri, namun kewajiban penyediaan weather forecast untuk sistem lebih dari 3 MW juga akan menambah komponen biaya pemasangan.

Fabby pun menyayangkan Permen ini terlalu berpihak pada kepentingan PLN yang dapat berdampak pada terhambatnya partisipasi konsumen listrik mendukung tujuan pemerintah mengakselerasi transisi energi di Indonesia.

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow