Jepang Dinilai Joe Biden Xenofobia, Benarkah?

Mengapa perekonomian China sangat terpuruk? Mengapa Jepang mengalami kesulitan? Mengapa Rusia? Mengapa India? Karena mereka xenofobia.

Jepang Dinilai Joe Biden Xenofobia, Benarkah?

HUBUNGAN Amerika Serikat (AS) dengan Jepang menegang setelah Presiden AS, Joe Biden, menyinggung kebijakan Jepang dalam bidang imigrasi dan menyebut negara itu punya tendensi xenofobia (perasaan benci, takut, dan waswas terhadap orang asing).

Biden mengemukakan hal itu dalam sebuah pidato di acara penggalangan dana di Washington DC pada 1 Mei 2024. Pernyataan itu keluar beberapa minggu setelah Biden sempat memuji aliansi AS-Jepang dalam jamuan makan malam kenegaraan.

Dalam pidato terbaru itu, Biden juga menyebut China, Rusia, dan India punya sikap xenofobia.

“Tahukah Anda, salah satu alasan mengapa perekonomian kita tumbuh adalah karena Anda dan banyak orang lain. Mengapa? Karena kami menyambut imigran,” kata Biden.

Baca juga: Apa Itu Xenophobia dan Bagaimana Mengatasinya?

“Lihat, pikirkanlah... mengapa perekonomian China sangat terpuruk? Mengapa Jepang mengalami kesulitan? Mengapa Rusia? Mengapa India? Karena mereka xenofobia. Mereka tidak menginginkan imigran,” tambah Biden menurut transkrip resmi dari Gedung Putih.

Pemerintah Jepang merespon pernyataan Biden dengan rasa kecewa. Melalui saluran diplomatik, pemerintah Jepang memberi tahu Gedung Putih bahwa pernyataan Biden tidak didasarkan pada pemahaman yang akurat terhadap kebijakan Jepang. Banyak warga Jepang dan orang asing di Jepang juga tidak setuju dengan pernyataan Biden itu.

Bukan hanya tidak akurat, tuduhan Biden dikritik karena telah menyamakan Jepang dengan China dan Rusia, dua negara dengan kejahatan hak asasi manusia serta hubungan diplomatik yang buruk dengan Jepang.

Melihat sensitivitas dari pernyataan Biden, para pejabat Gedung Putih kemudian berupaya menetralisir situasi dengan mengatakan kepada wartawan bahwa Biden sebenarnya bermaksud menyoroti tradisi AS dalam menyambut imigran.

“Sekutu dan mitra kami tahu betul betapa Presiden ini menghormati mereka,” kata Karine Jean-Pierre, juru bicara Gedung Putih. Ia menjelaskan bahwa hubungan AS-Jepang adalah hubungan “penting” dan “abadi” yang akan terus berlanjut.

Sebenarnya itu bukan kali pertama Biden menyebut Jepang xenofobia. Pada Maret lalu, Biden juga mengatakan dalam sebuah wawancara dengan stasiun radio berbahasa Spanyol bahwa Jepang, Rusia, dan China adalah negara yang xenofobia.

Benarkah Jepang mengalami xenofobia seperti yang dikatakan Biden?

Xenofobia Pernah Terjadi di Jepang

Menurut ensiklopedia Britannica, xenofobia merupakan ketakutan dan penghinaan terhadap orang asing atau apapun yang dianggap asing, serta keyakinan bahwa individu dan budaya asing tertentu adalah ancaman terhadap identitas asli bangsanya sendiri.

Salah satu bentuk nyata xenofobia dalam sejarah adalah pemusnahan sistematis terhadap orang-orang Yahudi di era Nazi.

Dalam arti itu, Jepang memang memiliki sejarah xenofobia. Tahun 1630-an sampai dengan 1853, Jepang memiliki kebijakan sakoku atau negara tertutup. Pada era tersebut, para penguasa Jepang percaya bahwa penyebaran agama Kristen merupakan hal buruk dan dapat mengancam kekuasaan mereka.

Karena gagal memberantas agama Kristen sepenuhnya, maka petinggi Jepang mengeluarkan kebijakan guna melarang sebagian besar orang asing untuk bepergian ke Jepang. Begitu pula warga Jepang juga dilarang untuk meninggalkan negara itu, lalu kembali ke Jepang.

Baca juga: Tembus Rekor, 63,2 Persen Warga Jepang Merasa Tak Punya Prospek Stabilitas Ekonomi

Terlepas dari sejarah xenofobia, banyak warga Jepang mengakui bahwa Jepang saat ini tidak lagi tertutup seperti dahulu dan sama sekali tidak seperti tuduhan Biden.

Malcolm Adams, warga AS keturunan Afrika yang telah tinggal di Jepang 48 tahun mengatakan bahwa dia “dengan hormat tidak setuju dengan karakterisasi Presiden Biden terhadap Jepang sebagai xenofobia.”

“Memang benar bahwa Jepang secara historis memiliki kebijakan imigrasi yang ketat, namun penting untuk mengakui langkah signifikan yang telah diambil negara tersebut dalam beberapa tahun terakhir dalam menyambut dan mengakomodasi pekerja asing,” katanya kepada DW.

Ken Kato, pengusaha asal Tokyo, juga membantah tuduhan Biden. Ia menyebutnya “sama sekali tidak benar dan tidak adil.”

“Menurut saya Jepang adalah salah satu negara yang paling ramah di dunia, dan hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Biden.”

Beberapa Sektor di Jepang Dinilai Masih ‘Diskriminatif’

“Menggeneralisasi bahwa seluruh Jepang adalah xenofobia atau tidak ramah terhadap warga negara asing itu sama sekali tidak berdasar,” kata Teppei Kasai dari Human Rights Watch di Jepang.

Walau demikian, Kasai tidak membantah bahwa sampai saat ini masih ada beberapa “aspek tertentu” dalam masyarakat Jepang yang dapat dianggap kurang menerima orang asing.

Terdapat laporan bahwa orang-orang non-Jepang akan kesulitan menyewa properti karena sang pemilik enggan menyewakannya pada orang asing. Ada juga laporan bahwa orang-orang non-Jepang lebih sering dihentikan dan diinterogasi polisi dibandingkan orang Jepang.

 April lalu, misalnya, Jepang heboh oleh pernyataan seorang mantan inspektur polisi kepada surat kabar Mainichi.  Mantan inspektur itu mengatakan bahwa dia diberitahu untuk “menargetkan orang asing untuk diinterogasi dan memeriksa kartu registrasi penduduk asing mereka.”

Ia juga berkata bahwa ada satu bulan dalam tiap tahun saat para petugas kepolisian tidak hanya ditugaskan untuk “melakukan upaya ekstra dalam memeriksa kartu, tetapi juga menggeledah orang asing untuk mencari obat-obatan terlarang, pisau atau apa pun yang ilegal.”

Pernyataannya kemudian segera dibantah pemerintah dan pihak kepolisian Jepang.

“Penting untuk membedakan kebijakan pemerintah Jepang yang bermasalah dan apa yang dipikirkan oleh masyarakat umum,” kata Kasai, sembari merujuk pada survei pemerintah tahun 2020 yang menunjukkan bahwa 20 persen responden mengatakan, mereka terbuka untuk menerima lebih banyak pengungsi dengan sikap “proaktif”.

Di sisi lain, sebanyak 57 persen responden berkata bersedia menerima lebih banyak pengungsi dengan sikap “hati-hati”.

Perlukah Jepang Melonggarkan Kebijakan Imigrasi?

Menyebut Jepang xenophobia mungkin terlalu ekstrem. Meski begitu, tak dapat disangkal bahwa masuk ke Jepang memang lebih menantang daripada ke negara-negara lain pada umumnya.

Di tahun 2023, Jepang hanya memberikan status pengungsi kepada 303 orang dari total 13.823 pemohon. Angka ini juga sebenarnya sudah jauh lebih baik daripada tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 202 orang.

Tak jarang Jepang juga dikritik kelompok hak asasi manusia akibat sikapnya kepada pencari suaka. Tidak hanya pencari suaka, Jepang sangat ketat terkait warga negara asing yang ingin menetap secara permanen. Sebagian besar warga masih sangat anti terhadap imigrasi skala besar.

Sama seperti kebanyakan warga Jepang lainnya, Kato sepertinya juga merasa bahwa kebijakan imigrasi Jepang saat ini sudah masuk akal. Kato melihat bahwa Jepang tidak membutuhkan pekerja asing dalam jumlah besar karena dalam satu atau dua dekade, AI, robot, dan teknologi lainnya akan memecahkan masalah ketenagakerjaan di Jepang dengan sendirinya.

“Saya tidak melihat ini sebagai xenofobia; ini hanya kebijakan yang masuk akal,” kata Kato.

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow